Demokrasi Kita Harus Menghasilkan Kesejahteraan Rakyat

 
bagikan berita ke :

Jumat, 20 Agustus 2010
Di baca 11616 kali


Pada Oktober nanti peserta PPRA XLIV akan mengikuti sebuah seminar yang bertema Revitalisasi Industri Strategis guna Pembangunan nasional Jangka Panjang. "Tapi, saya akan bicara tentang sesuatu yang lebih luas, tak hanya tentang teknologi," kata Wapres yang membuka uraiannya dengan kilas balik sejarah masa Perang Dunia II. Rahasia kemenangan Amerika Serikat dalam perang itu, menurut Wapres kekuatan ekonomi dan industrinya yang luar biasa. Industri yang semula memproduksi barang-barang konsumsi biasa dengan cepat bisa berubah menjadi alat produksi mesin-mesin perang yang pada akhirnya menentukan hasil akhir pertempuran.

Tapi, itu baru satu sisi. Wapres menyebutnya sebagai sisi hardware alias piranti keras. Di banyak perang yang lain, penentunya justru bukan kekuatan teknologi atau industri melainkan sistem sosial suatu bangsa. "Contohnya Vietnam. meski kalah dalam hal teknologi tapi Vietnam mempunyai pengorganisasian lapangan dan sistem sosial yang ulet dan ini terbukti menjadi faktor penentu kemenangan dalam Perang Vietnam," tutur Wapres. Sistem sosial inilah yang masuk dalam kategori software atau piranti lunak sebuah bangsa. Bahkan untuk konflik tertentu, software itu yang lebih menentukan. Ini adalah kekuatan sosial politik yang menyatukan bangsa itu. Organisasi sosial yang tahan dan ulet.

Kedua aspek inilah yang sekarang harus kita perhatikan untuk memperkuat ketahanan Bangsa Indonesia. Sebab, acapkali ketahanan suatu bangsa justru lebih banyak mendapat rongrongan dari dalam ketimbang ancaman dari luar. Suatu kebudayaan sangat mungkin runtuh karena rongrongan dari dalam ini. Dalam sejarah, banyak peradaban yang sudah mencapai puncaknya kemudian kolaps karena rongrongan dari dalam. Itu misalnya terjadi di Romawi atau Mesir. Semuanya runtuh karena ada proses yang menggerogoti dari dalam.

Wapres lantas mengingatkan, pada negara yang masih membangun sistem seperti negara kita, bahaya ini terasa lebih besar. Software ini perlu kita perkuat. "Kita tak boleh berpuas diri dalam 10 tahun ke depan ini. Jangan hanyut karena berbagai pujian tentang Indonesia, karena banyak hal yang harus kita konsolidasikan," kata Wapres.

Potensi rongrongan yang paling serius adalah jika para elite bangsa hanyut bermain politik ala demokrasi di negara-negara yang sudah mantap sistemnya. Sementara, demokrasi Indonesia yang masih muda belum memiliki aturan main dan sistem yang kokoh. Sebaiknya, para elite bangsa bersepakat untuk memantapkan dulu aturan dan sistem demokrasi sebelum bermain secara penuh. "Komitmen semacam ini harus ada. Kalau kita menemukan ada lubang, mari  kita benahi dulu bukannya memanfaatkan lubang  itu untuk kepentingan kelompok," tutur Wapres.

Komitmen seperti ini seharusnya bisa terlaksana karena Indonesia sudah punya pengalaman panjang dalam bereksperimen dengan demokrasi. Kita memilih demokrasi bukan karena kebetulan, melainkan karena sudah mempunyai sejarah yang panjang. Dulu, kita pernah memakai sistem demokrasi tapi sistem itu gagal memberi manfaat. Waktu itu, demokrasi tidak menghasilkan Pemerintahan yang efektif. Akibatnya, tidak ada pula kebijakan negara yang efektif. Akhirnya ada kekecewaan dan terjadi delegitimasi. Demokrasi pun runtuh digantikan tawaran sistem baru, Demokrasi Terpimpin yang pada akhirnya juga gagal memberikan manfaat kepada rakyat sehingga mengalami delegitimasi dan runtuh.

Berikutnya, Orde Baru relatif berusia cukup panjang, karena bisa memberi sesuatu. Harus kita akui ada perbaikan kesejahteraan. Ada perbaikan indeks pembangunan manusia. Tapi, orang juga ingin keadilan dan kebebasan kebebasan untuk turut serta menentukan nasib bangsa. Tuntutan  akan keadilan dan kebebasan ini tak terpenuhi. Walhasil, Orde Baru runtuh karena ada krisis yang memicunya.
Kini kita kembali ke demokrasi. Kali ini, sistem ini harus berhasil agar tidak kembali lagi ke siklus lama yang berputar-putar. Sayang jika kita kembali membuang waktu. Jika kita masuk ke siklus eksperimen yang gagal dan terus berulang kita akan masuk dalam vicious cycle.Sebaliknya, kita harus mencapai sebuah virtuous cycle, ada perbaikan yang terus-menerus sehingga sistem demokrasi kita menjadi semakin berkualitas dan menghasilkan Pemerintahan yang efektif. "Ini adalah lingkaran surga," tutur Wapres.

Dalam proses mengkonsolidasikan demokrasi, dalam pandangan Wapres, kita menghadapi dua kelompok risiko. Pertama, jika proses demokrasi macet dan tidak menghasilkan pemerintahan yang bisa bekerja. Ini tetap demokrasi, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Contohnya adalah demokrasi pada tahun 50-an yang menghasilkan pemerintahan yang  tidak efektif. Ini akhirnya menjadi sebuah sistem yang disfungsional. "Memakai ibarat penyakit, ini adalah penyakit akut." kata Wapres.

Sedangkan kelompok risiko kedua, karakteristiknya tidak terlaku kentara. Yang terjadi bukanlah sebuah sistem demokrasi yang disfungsional melainkan mengalami degenerasi. Ada penurunan kualitas secara bertahap dalam jangka waktu yang sangat panjang. Penggerogotan kualitas ini bertahan lama, bisa mencapai 10 tahun. "Ibaratnya, ini penyakit kronis. Ia bisa tak terlihat dan sebabnya macam-macam. Kita tak merasa, tapi sampai pada waktu tertentu kita langsung melihat sesuatu yang berat," tutur Wapres.

Maka, kita semua harus belajar dari sejarah agar tidak mengulangi kesalahan seperti itu. Wapres lalu mengidentifikasi tiga sebab menurunnya kualitas demokrasi yang harus kita hindari sekuat tenaga. Yang pertama adalah korupsi dalam arti luas, bukan sekadar mengambil uang. Ini adalah penyalahgunaan kewenangan publik untuk tujuan privat. "Yang paling parah jika pemegang kepentingan publik mempunyai kepentingan privat, pribadi dan kelompoknya yang campur aduk. Kalau ini terjadi, kita akan mengarah pada penurunan kualitas demokrasi," kata Wapres.

Sebab kedua yang tak kalah berbahaya adalah politik uang alias money politics. Praktik buruk ini menggerogoti proses demokrasi langsung pada akarnya. Seharusnya, penyampaian aspirasi rakyat berupa proses penjaringan agar suara rakyat itu tercermin dalam kebijakan publik. Jika ada money politics, unsur ini akan hilang.

Kendati dia sendiri seorang ekonom, Wapres menolak keras masuknya mekanisme pasar dalam praktik berdemokrasi. "Semuanya akan rusak." tutur Wapres dengan nada prihatin. Sebab politik uang membuat proses demokrasi bukan lagi sebuah proses menterjemahkan kedaulatan rakyat pada kebijakan negara. Ini jelas menggerogoti proses demokrasi yang paling dasar. "Saya ekonom, percaya mekanisme pasar di berbagai bidang, tapi saya tidak akan mendukung proses mekanisme pasar dalam demokrasi. Jika itu terjadi roh demokrasi akan hilang. Jika ada money politics, tahap demi tahap semuanya akan merosot," kata Wapres.

Sedangkan persoalan ketiga yang harus kita waspadai adalah, politisasi birokrasi. Pusat proses kebijakan negara dan pelaksanaannya adalah birokrasi. Jika birokrat turut bermain politik, seluruh bangsa akan berada dalam kesulitan. Jika ada tarik menarik antara kepentingan politik dan birokrasi, kita akan sangat repot. Ini sebabnya reformasi birokrasi adalah pekerjaan besar yang sangat penting dan harus berhasil.

Tiga hal inilah yang bisa menimbulkan risiko penurunan kualitas demokrasi, yang pada akhirnya menimbulkan delegitimasi. Jika satu bangsa masuk dalam putaran eksperimen yang gagal secara terus menerus, ia akan masuk dalam eternal cycle. Energi kita akan habis berputar di tempat yang sama. "Alangkah berdosanya kita jika membiarkan bangsa kita masuk ke dalam eternal cycle atau vicious cycle," kata Wapres.

Mengenai hardware, kita memang harus memperhatikan industri. Tapi yang sangat krusial, Wapres berpesan, bangsa Indonesia jangan sampai melupakan masalah ketahanan pangan. Negara seperti kita tidak boleh mengandalkan pangan dari luar. Apalagi kita sebetulnya juga punya segalanya. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berswasembada pangan. Ini ketahanan paling penting dalam situasi perang maupun damai.

Tentu, tidak berarti semua harus berasal dari dalam negeri. Menutup diri hanya akan membuat kita terbelakang terus dalam pergaulan internasional. Wapres menegaskan, dalam bergaul dengan negara-negara lain di dunia harus ada pertukaran. Produk kita  yang efisien kita tingkatkan terus dan bisa kita jual. Sebaliknya untuk produk yang tidak bisa kita hasilkan secara efisien kita beli yang tidak efisien. "Tapi kalau soal pangan, kalau perlu kita harus surplus, ini lebih aman," tutur Wapres.

Khusus mengenai industri pertahanan dan strategis, Wapres meminta perhatian atas tiga hal. Yang pertama, kita harus mencocokkannya dengan kebutuhuan. Proses ini harus selektif agar kebutuhan kita terpenuhi. Dan yang tak kalah penting, industri atau hardware harus terus kita sesuaikan dengan software tadi. Ketiga, "Apapun yang kita lakukan jangan terperangkap dalam proses KKN. Begitu ada KKN, apa pun yang kita lakukan, program itu akan gagal," tutur Wapres.

alam kesempatan itu Wapres juga menjawab tiga pertanyaan dari peserta mengenai pengembangan korvet nasional, hubungan demokrasi dan pendapatan per kapita, serta pengembangan energi nuklir. Mengenai industri perkapalan, Wapres berpesan bahwa yang tak kalah penting adalah industri yang bisa mendukung jalur pelayaran antar pulau. "Inter-island shipping ini sangat penting," tutur Wapres yang lantas mempersilakan Menko Polhukam Djoko Suyanto untuk menambahkan beberapa pandangan mengenai proyek korvet Nasional.

Djoko menegaskan bahwa proyek Korvet Nasional akan tetap jalan terus. Apalagi sejak dua tahun lalu sudah ada perubahan ketentuan yang memudahkan pelaksanaan dan pembiayaan proyek pertahanan yang strategis dan berjangka panjang. "Ini masih akan kita teruskan, tak hanya di PT PAL, tapi juga pembuatan panser di Pindad atau pembuatan peralatan lain di PT Dirgantara Indonesia. Kita akan tetap berpegang pada program itu," tutur Djoko.

Mengenai masa depan demokrasi di Indonesia dalam konteks pendapatan per kapita yang masih rendah, Wapres menyampaikan optimismenya. Wapres menyampaikan hal ini sebagai respon atas pemikiran Fareed Zakaria yang menegaskan bahwa negara dengan pendapatan per kapita yang masih rendah akan sulit menjalankan demokrasi. "Indonesia pasti bisa. Contohnya banyak, demokrasi berlanjut di sebuah negara dengan income per capita rendah. India, misalnya. Saya kira Indonesia bisa. Jika kita punya komitmen pasti bisa, " kata Wapres.

Yang terpenting adalah, demokrasi kita harus menghasilkan pemerintahan yang efektif dan menciptakan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. "Saya tidak pesimistis sama sekali. Memang sulit mempunyai sistem demokrasi sekaligus pemerintahan efektif, tapi ini tergantung pada elite bangsa. Ingin main terus atau berkeinginan memantapkan demokrasi sekaligus menciptakan pemerintahan yang efektif," kata Wapres.

Menangapi pertanyaan tentang teknologi nuklir, Wapres menegaskan bahwa nuklir adalah teknologi yang tidak bisa tidak harus kita kuasai. "Kita jangan terlena karena sumberdaya alam yang melimpah. Ke depan sangat jelas ada kebangkitan kembali reaktor nuklir untuk listrik. Ini harus kita pelajari. Memang, nuklir ada risikonya, tapi semua juga berisiko. Batubara pun berisiko. Kapan kita membangun reaktor nuklir, saya belum bisa memberikan tahun yang pasti. Tapi apa yang bisa kita lakukan untuk memperkuat kemampuan kita, harus tetap kita lakukan. Pada saatnya akan kita sepakati. Ini adalah cita-cita kita," kata Wapres menutup penjelasannya. Setelah beramah-tamah Wapres Boediono berfoto bersama dengan seluruh peserta di tangga depan istana. (Bey Machmuddin)

Sumber:

http://www.wapresri.go.id/index/preview/berita/575

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
17           13           11           9           21