Dialog Presiden - Silaturahmi dengan Para, Jakarta, 18 Agustus 2016

 
bagikan berita ke :

Kamis, 18 Agustus 2016
Di baca 1234 kali

DIALOG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SILATURAHMI DENGAN PARA TELADAN NASIONAL

ISTANA NEGARA, JAKARTA

18 AGUSTUS 2016




Presiden:

Saya minta 1 atau 2 yang dari terpencil. Ada enggak? Yang jauh dari Jakarta ada? Yang pulau terpencil, yang jauh.


Sebentar. Belum saya suruh, itu dari mana? Kok tunjuk jari tadi ini? Coba, dari mana?


Audiens 1:

NTT.


Presiden:

NTT. Kabupaten mana?


Audiens 1:

Timor Tengah Selatan.


Presiden:

Timor Tengah Selatan, TTS.


Yang lain yang terpencil lagi mana? Di mana?


Audiens 2:

Jayapura.



Presiden:

Jayapura. Jayapura itu kota. Kotanya bagus sekali, modern.


Ya terus.


Audiens 3:

Jayapura.


Presiden:

Jayapura? Jayapura itu kota besar, bagus. Di mana?


Audiens 4:

Nduga.


Presiden:

Nduga, oke.


Ya coba yang NTT dulu, yang TTS tadi, Timor Tengah Selatan. Ya maju ke sini saja.


Ini manggilnya Pak Ola gitu atau Pak Salom? Jangan jauh-jauh. Dekat sayalah. Ya dikenalkan dulu.


Audiens 1:

Nama saya Absalom Ola, dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kecamatan Nunbena. Saya adalah Kepala Sekolah SD Berdedikasi di daerah 3T


Presiden:

Kepala Sekolah SD. Kalau dari Kupang ke TTS, itu berapa jam? Naik apa?




Audiens 1:

Kalau dari Kupang ke kabupaten, ke ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, itu 5 jam dengan mobil.


Presiden:

5 jam? Terus dari kabupaten, dari kota ke kecamatan, berapa jam lagi?


Audiens 1:

Dari ibu kota kabupaten ke ibu kota kecamatan, itu dengan mobil 5 jam lagi.


Presiden:

5 jam lagi.


Audiens 1:

Terus dari ibu kota kecamatan ke tempat tugas saya, itu berbatasan dengan negara Timor-Leste. Jalan dengan sepeda motor kalau musim kemarau, itu 10 jam. Itu pakai sepeda motor. Kalau musim hujan,....


Presiden:

Sebentar, sebentar. Itu tadi di musim kering 10 jam?


Audiens 1:

Iya, Bapak, dengan sepeda motor.


Presiden:

Benar?


Audiens 1:

Benar, Pak.


Presiden:

Itu sepeda motornya dituntun atau dinaiki? Dinaiki? Jauh banget.


Ya itulah memang Indonesia. Kita harus sadar. Negara kita itu 17.000 pulau, 17.000 pulau.


Banyak yang tidak membayangkan itu. Saya, kalau bercerita ke kepala negara lain, saya sampaikan 17.000 pulau, itu semuanya geleng-geleng semuanya. “Bagaimana mengelolanya, Presiden Jokowi?” “Ya dikelola dengan baik.”


Nyatanya ya berjalan. Sudah 71 tahun kita merdeka, dan dalam keadaan kondisi yang baik.


Dua per tiga Indonesia adalah air. Kita harus sadar itu. Itu ceritanya tadi.


Kalau dari Atambua ke TTS, itu masih berapa jam kalau naik mobil?


Audiens 1:

Dari TTS ke Atambua, Kabupaten Belu, itu 8 jam kalau dengan mobil.


Presiden:

Oh dengan mobil 8 jam. Kalau ke Mato'ain?


Audiens 1:

Ke Mota'ain, itu 8 jam juga.


Presiden:

Dari TTS ini, ada sebelah mana itu?


Audiens 1:

Kalau dari TTS ke tempat tugas saya, ke bagian barat.


Presiden:

Ke bagian barat? Oke.


Terus, kalau dari rumah ke sekolah, itu berapa jam, Pak?


Audiens 1:

Kebetulan tempat tinggal ada di kompleks sekolah. Jadi, saya juga bukan orang asli di situ. Saya juga dari kecamatan lain, yang pergi mengabdi di sekolah itu.


Dan tempat tinggal itu, kami ada, jumlah guru ada 6 orang, dan pegawai negeri hanya kami 2 orang, sedangkan honor ada 4 orang. Dan dari pemerintah, kami tinggal di kompleks sekolah, tidak boleh tinggal di luar kompleks sekolah karena nanti mengganggu pada saat proses belajar-mengajar.


Presiden:

Kesulitannya apa sih mengajar di SD-nya Pak Absalom?


Audiens 1:

Kesulitan yang saya hadapi di tempat tugas saya adalah sarana, prasarana.


Presiden:

Apa itu?


Audiens 1:

Gedung sekolah atau ruang belajar, juga bus transportasi.


Presiden:

Sebentar, sebentar. Gedungnya itu sudah tembok, atau masih papan, atau masih dari bambu? Kemudian meja-kursinya anak sudah kayu atau masih yang lain?


Audiens 1:

Sementara ini ada 2 unit gedung yang sudah permanen yang itu dibantu oleh pemerintah daerah.


Presiden:

Dua kelas?


Audiens 1:

Dua kelas, 2 ruang belajar, sedangkan tempat duduk siswa adalah menggunakan kursi dan meja. Itu pengadaan dari Dana BOS.


Presiden:

Bapak-Ibu membayangkan ndak kira-kira, di SD yang kepala sekolahnya Pak Absalom ini? Dari Kupang tadi, berapa jam?


Audiens 1:

Delapan jam.


Presiden:

Delapan jam dari Kupang ke kota/kabupaten tadi yah? Masih berjalan lagi ke kecamatan naik sepeda motor 10 jam, benar ya? Kalau hujan—tadi belum diterangkan—kalau hujan, berapa jam? Tadi kan pas kering.


Audiens 1:

Kebetulan sekolah saya itu diapit oleh 4 sungai besar yang barak hulu dari Gunung Mutis. Itu gunung yang tertinggi di Pulau Timor.


Dan kalau musim hujan, saya tidak bisa melewati dengan sepeda motor tapi berjalan kaki sampai 3-4 hari baru sampai tempat tugas. Dan kalau saya belum sampai lalu hujan di hulunya, maka saya bermalam 1-2 malam setiap sungai. Itu pun tidak bisa diseberangi oleh orang. Ketika sungai atau air sudah surut, baru orang bisa seberangkan saya ke tempat tugas saya.


Itu, kalau saya bermalam di pinggir sungai, itu 2-3 malam kalo musim darat atau musim bulan Januari sampai Februari.


Presiden:

Ya terima kasih, Pak Salom. Sudah.


Bisa membayangkan ya? Betapa negara kita ini sangat-sangat luas sekali. Saya, kalau pergi ke daerah itu, naik mobil sampai berjam-jam itu.


Ada senangnya kalau ketemu dengan yang berprestasi dan dengan rasa optimis seperti Pak Salom. Tapi kadang-kadang saya juga sedih kalau ada keluhan-keluhan yang keliatannya berat sekali. Harus dicarikan jalan keluarnya. Tapi kita harusnya begini, insya Allah bahwa setiap tantangan itu pasti ada jalan keluarnya.


Oleh sebab itu, kenapa sekarang ini infrastruktur itu menjadi prioritas, infrastruktur itu menjadi fokus pekerjaan kita? Karena ya tadi seperti yang diceritakan tadi. Kalau hujan, kalau enggak hujan seperti apa.


Memang kondisi di daerah perlu sebuah akselerasi, percepatan agar pembangunan infrastruktur itu betul-betul bisa kita lakukan. Tanpa itu, Bapak-Ibu dan Saudara sekalian, bayangkan misalnya di desanya Pak Absalom tadi ada produksi jagung yang banyak tetapi membawa ke kotanya enggak bisa. Ya untuk apa?


Banyak sekali kasus-kasus yang seperti itu. Ada di sebuah daerah, bagus untuk ditanam sayur. Tapi untuk masuk ke kota butuh 10 jam. Ya sayurnya udah busuk.


Ya hal-hal seperti ini yang kita kadang-kadang keseringan di Jakarta itu enggak bisa merasakan. Kenapa saya ke daerah, ke daerah, ke daerah, ke daerah terus? Ya karena saya ingin melihat langsung bahwa kondisi-kondisi seperti yang diceritakan Pak Absalom tadi memang masih banyak sekali.


Silakan. Ini yang dari mana tadi? Nduga. Silakan.


Saya cerita ya. Nduga ini adalah kabupaten yang, kalau kita dari Wamena ke Nduga, itu hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik heli. Kalau jalan kaki berapa? 3-4 hari ? Benar?


Audiens 2:

Benar, 3-4 hari.


Presiden:

3-4 hari. Karena saya belum pernah, jadi saya tanya. Saya belum pernah jalan kaki dari Wamena ke Nduga, tapi saya pernah ke Nduga lewat helikopter. Saya pernah.


Dan saya lihat dari atas, ini memang waduh. Saya enggak bisa membayangkan penduduk dari Nduga itu baru ke Wamena, belum dari Wamena menuju ke Jayapura.


Dan Nduga—saya lihat dari atas—itu dulu adalah daerah yang diberi warna merah karena masalah keamanannya. Saya waktu itu juga mau ke Nduga dengan Panglima TNI. Saya diingatkan oleh Panglima, "Bapak, kalau bisa, tidak usah ke Nduga dulu." "Kenapa?" Ya alasan ini, ini, ini, ini. “Ndak, saya mau ke Nduga.”


Saya, kalau dilarang itu, biasanya malah. Bukan dilarang, melainkan diberi “Kondisi ini, ini, ini.” “Coba, saya mau lihatlah.” Tapi setelah sampai di sana.


Coba diceritakan Nduga itu seperti apa? saya sudah ke sana, tapi mungkin cerita dari dikenalkan dulu namanya.


Audiens 2:

Perkenalkan nama saya Alvionita Kogoya. Saya berasal dari Nduga, Papua. Saat ini saya kelas 10.


Jadi, Nduga itu masih sangat pedalaman. Kita di sana, dulu saya sekolah SD-nya di bawahnya tanah. Tidak ada alasnya. Terus gurunya itu cuma 1. Sekolah kami itu dari kayu dan sudah lama sekali.


Terus di sana, kalau kita mau mengunjungi keluarga atau saudara di tempat lain, kita harus berjalan kaki satu hari penuh.


Presiden:

Bisa bayangkan apa Nduga seperti yang disampaikan Alvioni tadi? Seperti apa? Betul-betul hutan belantara betul. Dan kota/kabupatennya itu belum ada aspalnya. Aspal saja belum ada. Sudah bisa bayangkan? Kalau ada layar, tadi saya beri gambar.


Coba diberikan yang lain. Di Nduga itu seperti apa, biar bisa dibayangkan?


Audiens 2:

Seperti yang tadi Bapak bilang, kita di sana belum ada aspal. Jadi, ke mana-mana itu kita semua jalan kaki. Enggak ada motor. Jalan juga enggak ada. Pokoknya, masih di kampunglah


Presiden:

SD-nya di Nduga. Terus SMP-nya di mana?


Audiens 2:

SMP-nya di Surya Institute. Jadi, ada kerja sama. Jadi saya pindah ke Surya Institute.


Presiden:

Di mana itu?


Audiens 2:

Di Tangerang, Gading Serpong.


Presiden:

Di Tangerang, oke.


Jadi, tahun ini saya sudah janji: jalan dari Wamena menuju ke Agas lewat Nduga nanti ya, kemudian nanti masuk ke Merauke, moga-moga akhir tahun ini—ini dikerjakan, dikebut sama Kementerian PU dan dari TNI—insya Allah sudah kebuka, belum diaspal tapi kebuka dulu jalannya, karena medannya berat sekali. Dan setelah kebuka, baru aspalnya nanti masuk.


Nah nanti baru saya mau—enggak tahu naik mobil atau naik truk—dari Merauke menuju ke Nduga, menuju ke Wamena. Saya mau coba. Saya sudah janjian dengan Panglima TNI.


Kira-kira nanti, kalau ada jalan lewat dari Agas ke Nduga ke Wamena, kejadiannya akan seperti apa menurut Alvioni?


Audiens 2:

Apa, Pak?


Presiden:

Kalau ada jalan ya, jalan aspal dari Agas ke Nduga, kemudian naik ke Wamena, kejadiannya akan seperti apa? Akan ada kejadian apa? Dugaanmu apa?


Audiens 2:

Terlalu cape, terlalu lama. Maksudnya, itu kayaknya terlalu jauh.


Presiden:

Rakyat akan dapat apa kalau jalannya terbuka seperti itu? Sekarang kan enggak ada jalan, hutan belantara. Dari Nduga ke Wamena kan jalan kaki 4 hari, 5 hari ya kan?


Terus ini kan jalannya baru disiapkan, dikerjakan. Dan saya harapkan akhir tahun ini terbuka jalan itu ya. Terus di aspal. Terus jalannya jadi. Terus mobil, atau sepeda motor, atau truk, atau apa pun itu bisa dari Wamena menuju ke Nduga, menuju ke Agas, menuju ke Merauke.


Akan ada kejadian apa kalau sudah bisa terbuka seperti itu menurut Alvioni?


Audiens 2:

Ya jadi bagus.


Presiden:

Bukan gitu. Jadi ya, kalau nanti terbuka—kamu dari Tangerang ya kan—Alvioni dari Tangerang, pulang lewat Jayapura, naik ke Wamena. Dari Wamena itu, bisa langsung turun naik mobil atau naik angkutan ke Nduga. Gitu lo ceritanya tadi ya kan.


Atau mau turun langsung ke Merauke. Nah dari Merauke ke Agas, naik ke Nduga, bisa pake—enggak tahu—sepeda motor, atau naik angkutan, atau naik mobil, bisa dilakukan


Audiens 2:

Iya, Pak.


Presiden:

Bayangkan ya?


Audiens 2:

Iya baik.


Presiden:

Itu.


Kemudian apa yang akan terjadi? Yang terjadi sekarang adalah, kalau nanti itu terbuka, sekarang ini di Wamena harga semen—di sini harga semen kan hanya 70.000—di Wamena harga semen itu bisa sampe 800.000, di Wamena sampai 1.000.000. Satu sak semen bisa 800.000-1.000.000. Itu baru di Wamena. Kalau ke atas lagi, ke Puncak, itu bisa sampai 2,5 juta per sak.


Itu yang harus diselesaikan. Ini ada ketimpangan, ada ketidakadilan. Inilah yang dalam proses kita selesaikan, hal-hal seperti ini.


Bensin, tahu harga di Wamena berapa?


Audiens 2:

Satu liternya 100.000, satu jerikennya.


Presiden:

Kira-kira 60-an ribu. Di sini berapa? 7.000 ya kan? Bayangkan. Belum yang lain-lain.


Ya udah. Terima kasih, Alvioni.


Inilah sekali lagi bayangkan betapa sangat luas dan besarnya negara kita. Itu, kalau ditarik, bentangannya itu dari London sampai Istanbul. Kalau kita terbang—saya kemarin waktu meresmikan bandara di Aceh, di Bener Meriah di Aceh Tengah itu, Bener Meriah—saya bayangkan. Kalau terbang langsung dari Bener Meriah itu atau dari Banda Acehnya langsung ke Wamena, itu butuh waktu mungkin—itu pakai pesawat ya—bisa 10-11 jam, 11 jam. Bayangkan. 11 jam itu, kalau dari sini, udah hampir sampai di Eropa itu.


Negara kita ini sangat luas sekali. Dan kita patut bersyukur bahwa persatuan, kesatuan kita itu terus kita jaga sampai saat ini.


Ada satu lagi coba yang merasa terpencil. Yang saya lihat memang yang terpencil, yang pernah saya lihat itu ya di tempatnya Alvioni. Di Nduga itu, betul-betul aspal aja enggak ada. Jalan menuju ke situ aja enggak ada. Jalan kaki ke tempat terdekat aja 4 hari.


Patut bersyukur dari Nduga ada yang sekarang di Surya di Tangerang.


Coba satu lagi. Dari mana? Maluku Tenggara. Maluku Tenggara di mana?


Oh iya sini coba. Tadi Alvioni tadi memenangkan apa? Olimpiade Matematika. Di mana? di China, di Indonesia. Oh ya, selamat ya.

Presiden:

Ini Pak?


Audiens 3:

Pak Abner.


Presiden:

Pak Abner ini apa?


Audiens 3:

Perawat.


Presiden:

Perawat di?


Audiens 3:

Di Kabupaten Maluku Tenggara, Puskesmas Tanimbar Kei.


Presiden:

Sini, agak dekat sini udah.


Perawat di Puskesmas?


Audiens 3:

Puskesmas Pembantu Tanimbar Kei.


Presiden:

Coba dijelaskan. Tanimbar Kei itu, kalau dari Jakarta kita mau ke tempatnya Pak Abner itu, dari sini naik pesawat ke mana?


Audiens 3:

Jadi, dari Jakarta kita ke Makassar dulu, terus ke Ambon.


Presiden:

Makassar transit, ke Ambon. Ya terus.


Audiens 3:

Transit ke Ambon, lalu transit ke Kabupaten Maluku Tenggara.


Presiden:

Dari Ambon ke Maluku Tenggara, naik?


Audiens 3:

Bisa naik pesawat, dan juga bisa naik kapal.


Presiden:

Kalau naik pesawat, berapa jam? Kalau naik kapal, berapa jam?


Audiens 3:

Kalau dengan pesawat dari Ambon ke Maluku Tenggara, itu 1,5 jam. Kalau pakai kapal, sekitar 2 hari baru bisa sampai ke Kabupaten Maluku Tenggara.


Presiden:

Naik kapal 2 hari. Anda bayangkan, naik kapal 2 hari. Kita bayangkan.


Saya naik kapal 2 jam, 3 jam ya pasti, kalau di dalam, ya pasti mabuk. Tapi, kalau di luar, kena angin, enggak mabuk. 3 jam, 4 jam masih beranilah. Tapi, kalau 2 hari, saya enggak kuat.


Berarti dari Ambon, kalau naik kapal, 2 hari? Ini pindah-pindah kapal atau langsung?


Audiens 3:

Tidak pindah-pindah, langsung.


Presiden:

Terus pekerjaan Pak Abner apa? Di sana, perawat tuh berarti ngapain gitu?


Audiens 3:

Pekerjaan saya, saya bertugas di Puskesmas Pembantu Tanimbar Kei, dengan jarak tempuh dari Kabupaten Maluku Tenggara ke tempat tugas saya sekitar 250 km.


Presiden:

Dari?


Audiens 3:

Dari Kabupaten Maluku Tenggara ke tempat tugas saya, Pak.


Presiden:

Berapa kilometer?


Audiens 3:

Sekitar 250 km.


Presiden:

Berapa jam? Berapa hari itu? Naik apa?


Audiens 3:

Dengan motor, kalau dalam kondisi alam yang teduh, itu sekitar 5-6 jam naik motor. Kalau dalam kondisi ombak atau angin, sekitar 5-12 jam.


Presiden:

Kalau pas ada ombak, 12 jam.


Ombaknya kecil atau gede?


Audiens 3:

Ada yang kecil, ada yang gede.


Presiden:

Terus di puskesmas itu, yang banyak yang sakit apa?


Audiens 3:

Di sana yang setiap bulan itu, kasus yang paling terbanyak adalah ISPA, hipertensi.


Presiden:

Hipertensi?


Audiens 3:

Iya.


Presiden:

Kebanyakan makan kambing apa? Kenapa? Kok banyak yang hipertensi? Itu kenapa ya?


Audiens 3:

Begini, Pak, izinkanlah saya untuk menceritakan sedikit. Kita di sana itu airnya itu selobar.


Presiden:

Apa itu? Airnya apa?


Audiens 3:

Jadi istilahnya: ke laut, mandi air garam. Ke darat, juga minum air garam.



Presiden:

Oh, ini jadi kebanyakan garam.


Audiens 3:

Iya. Kemungkinan besar seperti itu, Pak.


Presiden:

Terus.


Audiens 3:

Terus yang hipertensi, ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Atas).


Presiden:

Terus yang sakit-sakit yang lain enggak ada? Malaria gitu ada enggak ya?


Audiens 3:

Ada juga tapi hanya malaria klinis karena kita tidak mempunyai ini. Ketika ada malaria, kita rujuk ke Rumah Sakit Tanimbar


Presiden:

Oh, terus berarti misalnya ada yang sakit berat di puskesmas, harus dibawa ke rumah sakit. Di mana itu tempatnya?


Audiens 3:

Jalurnya itu: dari pustu kita rujuk ke puskesmas, terus dari puskesmas kita rujuk ke pusat rujukan regional seperti Rumah Sakit Umum Karel Sadsuitubun-Langgur.


Presiden:

Di mana itu rumah sakitnya?


Audiens 3:

Di Kabupaten Maluku Tenggara.


Presiden:

Oh, di Kabupaten.


Kalau pas ada yang sakit, mau dibawa ke kabupaten, ombaknya besar, itu bagaimana?


Audiens 3:

Begini, Pak, saya ditunjuk oleh Kabupaten Maluku Tenggara mengikuti seleksi perawat teladan di Provinsi Maluku. Ternyata saya lolos dengan judul makalah saya adalah Penanganan Gawat Darurat Melalui Telemedicine. Dalam artian bahwa setiap ada kasus kegawatdaruratan, saya berkomunikasi dengan dokter, kira-kira tindakan apa yang harus saya buat ketika ada kasus kegawatdaruratan.


Presiden:

Oh gitu ya.


Ini yang juga nanti akan kita kembangkan di Papua. Jadi, sistem IT, sistem informasi, sistem online ini yang nantinya akan memberikan panduan yang dikerjakan di sistem pusat, sehingga dokter atau perawat yang ada di daerah-daerah terpencil itu bisa melakukan tindakan darurat dulu sebelum dibawa ke rumah sakit.


Ada yang mau diceritakan lagi enggak?


Audiens 3:

Ya ada satu. Pak, sebelum saya diutus oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tenggara untuk mengikuti seleksi perawat teladan—ketika saya mengikuti seleksi di Ambon, saya lolos dan saya pulang ke tempat tugas saya—dari masyarakat dan juga pejabat menyampaikan kepada saya bahwa “Tolong sampaikan ucapan terima kasih seluruh masyarakat Tanumbar Kei kepada Bapak Presiden dan Wakil Presiden. Kami masyarakat Tanimbar Kei telah mendapat bantuan dari pusat, lewat Kementerian ESDM, berupa lampu tenaga surya.”


Presiden:

Lampu tenaga surya.


Audiens 3:

Sehingga masyarakat sangat bersyukur bahwa, sekalipun kami di desa, tetapi mungkin desa kami juga sudah seperti Jakarta karena ada penerangan.


Presiden:

Ya sudah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Silakan kembali.


Kita bisa membayangkan ya pulau-pulau terpencil kita, kabupaten-kabupaten terpencil kita, kecamatan-kecamatan yang terpencil, yang ini membutuhkan perintis-perintis, membutuhkan kerja keras kita semuanya, membutuhkan perjuangan kita semuanya agar persoalan-persoalan yang ada negara kita satu per satu itu bisa kita selesaikan.


Saya ingin menyampaikan. Bayangkan, kita sudah 71 tahun. Sandang, papan, sama perumahan ini yang pokok. Yang sandang menurut saya saat ini sudah enggak terdengar masalah, yang sandang.


Tapi yang pangan, sudah 71 tahun merdeka sampai sekarang ini, yang namanya urusan pangan itu belum bisa kita selesaikan. Perumahan juga belum bisa kita selesaikan. Inilah saya kira pekerjaan besar kita ke depan, yang memerlukan penanganan yang serius, penanganan yang fokus, penanganan yang prioritas sehingga ini betul-betul bisa kita selesaikan dengan baik.


Pangan, kita ini punya daratan yang subur. Kenapa kita masih? Karena, pertama menurut saya, kita tidak fokus, kita tidak menyelesaikan dengan skala prioritas yang tinggi di situ sehingga lolos-lolos terus, sehingga sampai sekarang belum terselesaikan.


Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan saya mengajak Bapak-Ibu dan Saudara-saudara sekalian untuk menjadi teladan bagi masyarakat. Tularkan semangat yang Saudara-saudara miliki untuk baik lingkungan terkecil, kemudian di lingkungan kabupaten, dan untuk anak bangsa yang lain. Sebarkan semangat Indonesia harus maju, Indonesia harus menjadi bangsa pemenang.


Sekali lagi terima kasih atas semua yang telah Bapak-Ibu dan Saudara-saudara berikan kepada bangsa dan negara. Selamat berkarya. Selamat bertugas. Teruskan karya nyata untuk bangsa dan negara kita, Indonesia. Terima kasih.


Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden