Oleh:
Eddy Cahyono Sugiarto
(Asdep Humas Kemensetneg)
“Tidak ada lagi kerja linier, tidak ada lagi kerja rutinitas, tidak ada lagi kerja monoton, tidak ada lagi kerja di zona nyaman, kita harus berubah, membangun nilai-nilai baru dalam bekerja, cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kita harus terus membangun Indonesia yang ADAPTIF, Indonesia yang PRODUKTIF, dan Indonesia yang INOVATIF, Indonesia yang KOMPETITIF.”
(Pidato Presiden Joko Widodo bertajuk “Visi Indonesia” di Sentul, 14 Juli 2019)
Indonesia sebagai bagian dari lingkungan global tentunya tak dapat lepas dari segala perubahan dan perkembangan yang terus terjadi setiap saat. Arus deras globalisasi akan terus mewarnai dinamika relasi antar bangsa, yang tentunya akan membawa pengaruh pada segala aspek kehidupan bernegara pada bangsa-bangsa di dunia, baik pada tatanan ekonomi politik dan sosial dan budaya.
Lingkungan geostrategis global yang bergerak begitu dinamis, menuntut Indonesia untuk segera beradaptasi dengan segala perubahan yang cepat, penuh risiko, kompleksitas, dan kejutan. Hal ini menuntut upaya yang sungguh-sungguh dalam memacu laju reformasi birokrasi, melalui transformasi mind set dari zona nyaman ke zona kompetisi, mendorong terciptanya dynamic governance dalam mengimbangi perubahan yang semakin cepat, dan persaingan global yang semakin tajam pada berbagai sendi kehidupan, sebagai konsekuensi runtuhnya konsepsi ruang dan waktu antara berbagai negara bangsa di dunia.
Arus deras globalisasi telah mngubah lanskap dunia menjadi kampung global (global village), perubahan strategi yang diambil suatu negara dalam memenangkan persaingan global akan memberikan “resonansi” ke bagian dunia lainnya, terjadi aliansi-aliansi strategis antar negara, yang suka atau tidak suka akan berimplikasi terhadap negara lainnya hal ini menjadikan peran birokrasi dalam mendukung peningkatan daya saing menjadi penting.
Mencermati perkembangan pada dekade terakhir ini, sejatinya Indonesia sebagai negara dan bangsa, telah jauh masuk ke dalam global village, ditandai dengan telah meratifikasi perjanjian perdagangan bebas baik untuk APEC (Asia Pacific Economic Coorperation) dan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), pemberlakuan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) sebagai kesepakatan pasar tunggal Asia Tenggara serta dampak perang dagang Cina dan Amerika terhadap ekonomi Indonesia dan kawasan regional.
Keterlibatan dalam global village ini sudah barang tentu menuntut adanya perubahan paradigma dalam menyikapi perubahan yang terjadi dengan cepat guna memenangkan persaingan global, utamanya dalam meningkatkan daya saing, dengan menjadikan teori keunggulan kompetitif (competitive advantage theory) sebagai paradigma utama memenangkan persaingan global.
Keunggulan kompetitif, sebagaimana pemikiran yang digagas oleh Prof. Michael Porter dari Harvard University pada pertengahan 1985, seyogyanya menjadi dasar baru bagi kita dalam peningkatan daya saing, karena terbukti memiliki konstribusi dalam memacu kemajuan ekonomi negara-negara dunia, seperti China, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan juga Korea Selatan.
Pengalaman di Cina, restrukturisasi organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan agar fungsi birokrasi berjalan dengan efisien (UN, 1997). Cina, melalui reformasi administratifnya, berhasil membuat perubahan pada organisasi pelayanan publik dalam merevitalisasi fungsinya, memperkuat fungsi makroplanning, dan manajemennya.
Selain itu, Amerika Serikat beberapa abad yang lalu telah menyadari pentingnya melakukan perubahan terhadap sistem birokrasi negara tersebut. banyaknya imigran yang datang untuk bekerja dapat berdampak negatif bagi masyarakat, sehingga para birokrat membuat kebijakan publik menjadi lebih terarah dan berpihak pada masyarakat (Haning, 2015).
Reformasi birokrasi yang dilakukan di berbagai Negara seperti di Amerika Serikat pada masa Pemerintahan Presiden Bill Clinton dikenal dengan istilah reinventing government yang dipopulerkan oleh Osborne dan Gaebler (1992), sebagai langkah strategis mentransformasikan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pengelolaan sector public.
Di Eropa yang diperkenalkan oleh Pollitt dan Bouckaert dengan isitilah Neo-Weberian State (NWS) digagas dalam bentuk penguatan peran Negara dalam pelayanan birokrasi dengan prinsip mengutamakan hubungan warganegara dan negara (citizenstate) untuk memenuhi hak-hak dasar warga.
Demikian pula di Hong Kong, dalam merespon tantangan ekonomi post-industri dan pasca lepasnya dari Inggris, negara ini berupaya meningkatkan kapasitas administrasinya sehingga reformasi administrasi menjadi agenda utamanya.
Dari berbagai langkah stategis yang dilakukan oleh beberapa negara tersebut dapat diambil pelajaran berharga bahwa peningkatan daya saing bangsa guna menuju pada kemajuan sangat tergantung dari upaya memperbaiki performance kualitas pelayanan publik guna meningatkan daya saing dan produktivitas bangsa.
Daya saing dan produktivitas hanya dapat diraih bila kita konsisten dan fokus pada penyederhanaan sistem birokrasi dan manajemen, rekayasa dan inovasi teknologi, peningkatan kompetensi SDM, dan peningkatan budaya produktif. Semua ini menjadi prasyarat guna menjawab tantangan dalam mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan kesenjangan.
Memacu reformasi birokrasi menjadi salah satu strategi yang sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan daya saing bangsa Indonesia, peningkatan kualitas pelayanan dengan birokrasi yang efesien melayani akan menumbuhkan iklim investasi agar ekonomi tetap tumbuh dan mampu menciptakan lapangan kerja.
Dalam perkembangan terakhir meskipun indek peringkat daya saing Indonesia berdasarkan pemeringkatan bertajuk IMD World Competitiveness Ranking 2019, tercatat naik 11 poin ke peringkat 32 dunia pada tahun 2019, namun masih dibawah Singapura dan Hong Kong pada pucuk peringkat global, daya saing Indonesia juga kalah dari Malaysia, yang bertahan di posisi 22 dunia dan Thailand yang berada pada posisi 25, naik 5 peringkat dari posisi 30 pada tahun 2018 lalu.
Indek daya saing memiliki korelasi yang sangat signifikan dengan upaya mempersiapkan birokrasi adaftif dan responsif terhadap perkembangan global, negara tetangga kita Singapura, Swiss, Norwegia, Kanada, dan Finlandia adalah contoh negara maju yang mengandalkan birokrasinya sebagai katalis pembangunan, ujung tombak layanan publik, dan penunjang daya saing negaranya. Negara-negara tersebut pada 2017 adalah negara berperingkat tertinggi dalam Government Effectiveness Index (GEI).
Reformasi Birokrasi untuk Indonesia Maju
Kita patut bersyukur Reformasi Birokrasi merupakan salah satu dari lima sasaran prioritas dalam visi dan misi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, yang digagas sebagai jalan perubahan menuju pada sebuah negara yang lebih produktif, yang memiliki daya saing, yang memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan-perubahan. Hal ini sekaligus menunjukkan keberlanjutannya dengan komitmen yang tinggi untuk memastikan Reformasi Birokrasi dapat menjadi faktor pengungkit peningkatan investasi dan daya saing.
Langkah strategis dalam memacu Reformasi Birokrasi dipastikan akan terus dikawal secara langsung oleh Presiden RI, khususnya terkait reformasi struktural, untuk memastikan birokrasi dibuat lebih sederhana, lincah, dan bergerak cepat. Tak hanya secara struktural, Presiden juga menyampaikan perlunya perubahan pola pikir (mindset) birokrasi yang adaptif, produktif, inovatif, dan kompetitif. Tentunya guna mengukur kesuksesan dari reformasi tersebut perlu disertai dengan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk mewujudkan visi Indonesia maju.
Selama lima tahun terakhir, berbagai upaya terus dilakukan untuk mewujudkan reformasi birokrasi, diantaranya dengan melakukan deregulasi, memangkas birokrasi, mempermudah perizinan, meningkatkan kemudahan berinvestasi (ease of doing business) di Indonesia, serta membangun birokrasi yang transparansi, akuntabel, efektif dan efesien sehingga daya saing dapat terus ditingkatkan.
Komitmen Pemerintah dalam mempercepat reformasi birokrasi juga tercermin dari penerapan good governance dan pemerintahan yang berbasis elektronik (e-governance). Dengan sistem tersebut, negara hadir dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.
Penerapan e-governance yang pada intinya merupakan digitalisasi data dan informasi seperti e-budgeting, e-project planning, system delivery, penatausahaan, e-controlling, e-reporting hingga e-monev serta aplikasi custom lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tupoksi organisasi. E-gorvernance sejatinya merupakan perwujudan reformasi birokrasi yang konstektual sebagai antithesis reformasi birokrasi prosedural (dokumen-dokumen administratif, absensi dan tunjangan kinerja).
Penerapan e-governance dengan membangun dashboard kepemimpinan pada masing-masing unit kerja akan berperan dalam mengukur performance pekerjaan yang dilaksanakan, siapa pelaksananya, dan waktu pelaksanaan. Hasilnya akan dijadikan penilaian kinerja yang berimbas pada pemberian reward.
Berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut kembali akan dipacu akselerasinya dalam 5 tahun mendatang, Reformasi Birokrasi tidak hanya sekedar birokrasi profesional yang mampu melayani rakyat, tapi secara on top menjadi faktor determinan dalam meletakkan fondasi yang diperlukan bangsa untuk memenangkan persaingan global. Birokrasi ke depan harus mampu memberi kemudahan untuk mendukung produktivitas seluruh lapisan masyarakat agar dapat melaju jauh, lebih maju dan sejahtera.
Kita tentunya berharap dalam mewujudkan visi tersebut, terjalin sinergi dari pemerintah pusat dan daerah serta komitmen semua pihak untuk berubah ke arah yang lebih baik. Karena reformasi birokrasi merupakan salah satu kunci dalam mewujudkan kemajuan Indonesia di tengah gempuran persaingan global.
Kita secara bersama-sama perlu terus melakukan pembenahan terhadap orientasi dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Orientasi dan akuntabilitas kinerja seluruh instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah, yang tidak boleh lagi hanya puas dengan indikator proses seperti berapa besar serapan anggaran, bagaimana opini terhadap laporan keuangan, serta hal lain yang bersifat prosedural. Indikator kinerja birokrasi (khususnya di kementerian teknis dan pemerintah daerah) ke depan harus berubah dari indikator proses dan output based menjadi outcome dan impact based.
Sebagai alat control diperlukan aktivasi dashboard kepemimpinan pada berbagai level manajemen pemerintahan menjadi satu keniscayaan sebagai tools bagi pemimpin organisasi pada berbagai tingkatannya dalam pengendalian perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sekaligus mengukur kinerja organisasi dan perseorangan.
Selain itu, kinerja organisasi pada berbagai levelnya dapat lebih difokuskan pada upaya untuk mewujudkan outcomes (hasil), sehingga setiap individu pegawai memiliki kontribusi yang jelas terhadap kinerja unit kerja terkecil, satuan unit kerja di atasnya hingga pada organisasi secara keseluruhan.
Kita tentunya berharap pemimpin birokrasi pada berbagai level tingkatannya, baik di pusat maupun di daerah, memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama untuk mewujudkan shared vision melalui keteladanan dan kemampuan dalam mengayuh perubahan, dengan terus mengembangkan inovasi dan kreatifitas dengan melibatkan seluruh komponen organisasi dan membangun budaya organisasi yang kondusif dalam meningkatkan daya saing, sehingga Reformasi Birokrasi yang dipacu mampu menggerakkan investasi, menciptakan lapangan kerja dan memastikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dalam menghantarkan Indonesia menjadi negara maju. Semoga.