Pembenahan Pasokan Daging Sapi Melalui Sistem Logistik Nasional

 
bagikan berita ke :

Senin, 10 Juni 2013
Di baca 1393 kali

Data terbaru hasil Sensus Pertanian 2013 (SP-2013) secara resmi belum diumumkan. Namun, saat ini sudah beredar berita yang menyebutkan populasi sapi potong hanya 12- 12,5 juta ekor.  Penurunan populasi itu ditengarai akibat pemotongan sapi secara besar-besaran sebagai dampak harga daging sapi yang bertahan relative tinggi . Sementara itu proyeksi kebutuhan daging sapi tahun 2013 dari Kementerian Pertanian adalah sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6%) harus diimpor. Adapun rincian impor tersebut terdiri dari 32 ribu ton dalam bentuk daging sapi beku dan 267 ribu ekor sapi bakalan yang setara dengan 48 ribu ton daging sapi.

Data yang disampaikan Kementerian Pertanian  tersebut menggambarkan bahwa potensi pemenuhan penyediaan daging sapi dari dalam negeri cukup besar meskipun belum mampu mencukupi seluruhnya.  Fenomena tingginya harga daging sapi di Pulau Jawa, khususnya Jabodetabek dalam beberapa bulan terakhir ini, menunjukkan  adanya indikasi ketimpangan pada  sistem pasokan daging sapi di Indonesia.

Sebaran populasi ternak sapi  dan sebaran konsumsi daging sapi menurut data BPS menurut propinsi tidak merata.  Di Indonesia terdapat perbedaan tingkat konsumsi daging oleh masyarakat antara daerah satu dengan lainnya.  Masyarakat di kawasan Indonesia Barat (Sumatera dan Jawa) memiliki tingkat konsumsi daging sapi tinggi, sementara itu populasi ternak sapi  menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan dalam jumlah cukup besar berada di kawasan Indonesia Timur, seperti di Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan Jawa Timur, yang justru tingkat konsumsinya rendah.

Sebagai contoh, Provinsi NTT menempati urutan empat populasi sapi potong terbesar di Indonesia. Perkembangan populasi ternak di NTT diprediksi akan terus meningkat setiap tahun, dengan penambahan populasi terbanyak terdapat pada jenis ternak sapi. Pada tahun 2012, jumlah populasi ternak sapi sebanyak 814.450 ekor, sedangkan pada Januari 2013 meningkat menjadi 817.708 ekor. Angka itu diprediksi akan terus meningkat seiring dengan sejumlah langkah konkret di lapangan dalam pengembangan peternakan di NTT.  Di sisi lain kebutuhan pasokan daging sapi untuk keperluan konsumsi masyarakat di NTT  relatif rendah, karena jumlah penduduknya memang jauh lebih sedikit dibandingkan pulau Jawa.  Kelebihan potensi populasi sapi potong yang cukup besar tersebut sulit untuk disalurkan ke pulau Jawa,  yang masih membutuhkan tambahan pasokan cukup besar, akibat kendala logistik yang berpengaruh pada harga jual yang tinggi saat tiba di tangan konsumen. Secara ekonomis, akan lebih murah mengimpor daging sapi atau bakalan sapi dari Australia dibandingkan mendatangkannya dari NTT. Biaya logistik yang tinggi  menyebabkan daya saing produk Indonesia, termasuk daging sapi, menjadi lebih rendah dibandingkan dengan produk sejenis yang dihasilkan negara-negara pesaing.

Pasokan daging sapi dari daerah produsen menuju daerah konsumen menjadi tersendat sebagai akibat dari kendala logistik, khususnya sistem transportasi angkutan ternak yang masih belum memadai. Seperti sampai saat ini, pengangkutan ternak dari NTT masih menggunakan truk atau kapal barang biasa yang berbarengan dengan penumpang. Kondisi ini sangat berbeda dengan Australia, negara pemasok utama sapi hidup ke Indonesia, yang menyediakan angkutan khusus untuk ternak. 

 

Pembenahan  Sistem Logistik Nasional

Memperhatikan kondisi tersebut, tampaknya agar permasalahan daging sapi dapat segera dipecahkan maka salah satu upaya yang perlu dan mendesak dilakukan adalah pembenahan terhadap sistem logistik nasional. Upaya ini diharapkan akan berdampak langsung terhadap perbaikan distribusi daging sapi nasional, sehingga penyaluran komoditas daging sapi antar daerah di Indonesia dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Sistem logistik nasional Indonesia saat ini relative belum efisien sehingga menyebabkan biaya logistik tinggi. Kondisi ini berdampak negative pada komoditas perdagangan, baik yang distribusikan di dalam negeri maupun dari atau ke luar negeri melalui ekspor – impor. Komoditas daging sapi tidak luput dari masalah ini sehingga salah satu faktor penyebab tingginya harga daging sapi akhir – akhir ini ditengarai juga akibat dari biaya logistik yang tinggi. Biaya logistik di Indonesia mencapai 24,64% dari PDB Indonesia pada tahun 2011. Padahal biaya logistik di Amerika Serikat hanya sebesar 9,9%, Jepang sebesar 10,6%, dan Korea Selatan sebanyak 16,3%.  Bahkan, menurut hasil survei Logistics Performance Index (LPI) oleh Bank Dunia tahun 2012, Indonesia menempati peringkat 59, atau berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Saat ini, biaya angkutan antar pulau seringkali jauh di atas biaya angkutan impor dari negara lain.  Misalnya,  ongkos pengiriman satu kontainer ukuran 40 feet dari Padang, Sumatera Barat ke Jakarta mencapai US$ 600. Padahal, ongkos kirim kontainer berukuran sama dari Jakarta ke Singapura, yang jaraknya lebih jauh, hanya sebesar US$ 185. 

Biaya logistik yang tinggi juga terjadi di wilayah Indonesia Timur. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya jaminan muatan balik dari wilayah timur bagi angkutan kargo (backhaul). Ini mengakibatkan ongkos angkut dari dan ke wilayah timur Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dari dan ke wilayah barat Indonesia. Kondisi ini  mengakibatkan terjadinya disparitas harga yang tinggi antara wilayah barat dan timur. Padahal, terkait masalah pasokan daging sapi, wilayah timur Indonesia memiliki populasi serta potensi sapi potong yang cukup besar dan prospektif.

Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah dengan para pemangku kepentingan tengah berupaya untuk mengatasi permasalahan distribusi dan logistik daging sapi untuk menurunkan harga dan mendorong peningkatan konsumsi daging sapi.  Pemerintah terus berperan aktif dalam mengembangkan sistem logistik nasional. Upaya ini bertujuan untuk memperlancar konektivitas antar daerah dan antar simpul – simpul logistik yang dilakukan melalui revitalisasi pasar tradisional, pembangunan pusat distribusi regional, serta pembangunan jaringan logistik antar simpul – simpul logistik di setiap koridor ekonomi, sebagaimana dipetakan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sampai saat ini, Kementerian Perdagangan melalui Tugas Pembantuan telah merevitalisasi 461 unit pasar tradisional dan lima Pusat Distribusi Nasional/Provinsi dengan dana lebih dari Rp 2 triliun. Program lain yang dilakukan yaitu secara aktif mendorong pembentukan dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, optimalisasi Cikarang Dry Port, serta mendorong penetapan pelabuhan hub internasional di Kuala Tanjung untuk kawasan barat dan Bitung untuk kawasan timur Indonesia.

Upaya tersebut merupakan perwujudan nyata dari Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Peraturan ini secara jelas merumuskan Visi Logistik Indonesia 2025 yaitu: “Terwujudnya Sistem Logistik yang terintegrasi secara lokal, terhubung secara global untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan rakyat (locally integrated, globally connected for national competitiveness and social welfare)”.

Terintegrasi secara lokal (locally integrated), diartikan bahwa pada tahun 2025 seluruh aktivitas logistik, termasuk sektor daging sapi, di Indonesia mulai dari tingkat pedesaan, perkotaan,sampai dengan antar wilayah dan antar pulau beroperasi secara efektif dan efisien, dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi secara nasional dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Khusus untuk komoditas daging, dengan visi terintegrasi secara lokal ini diharapkan akan mendorong terwujudnya ketahanan dan kedaulatan komoditas daging sapi nasional yang ditandai dengan tercapainya swasembada daging sapi.

Sedangkan, terhubung secara global (globally connected) diartikan bahwa pada tahun 2025, Sistem Logistik Nasional akan terhubung dengan sistem logistik regional (ASEAN) dan global melalui Pelabuhan Hub Internasional. Dalam hal ini termasuk fasilitasi kepabeanan dan fasilitasi perdagangan, jaringan informasi, serta jaringan keuangan sehingga pelaku dan penyedia jasa logistik nasional, termasuk komoditas daging sapi, dapat bersaing di pasar global. Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global dilakukan melalui integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang terdiri atas jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan yang didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik. Jaringan sistem logistik domestik dan keterhubungannya dengan jaringan logistik global secara baik akan menjadi kunci sukses ketersediaan pasokan berbagai komoditas, termasuk daging sapi, baik  dari aspek kuantitas, kualitas, maupun harga. Kondisi ini sangat diperlukan mengingat persaingan tidak hanya antar produk, antar perusahaan, namun juga antar jaringan logistik dan rantai pasok bahkan antar negara.

Pengembangan sistem logistik nasional, khususnya di sektor daging sapi, bukanlah perkara mudah seperti membalik telapak tangan. Diperlukan dukungan peran aktif berbagai sektor terkait untuk mewujudkannya.  Pelibatan Perum BULOG dalam impor daging sapi merupakan salah satu upaya yang ditempuh untuk memperbaiki distribusi dan mendorong peningkatan konsumsi daging sapi di seluruh tanah air.  Penugasan ini  berimplikasi pada penataan infrastruktur logistic, termasuk di dalamnya sarana transportasi hingga sarana penyimpan daging beku (cold storage) yang dikelola oleh BULOG.  Untuk mengurangi lamanya waktu tempuh pengangkutan sapi hidup maupun daging beku dari wilayah pemasok (Sulawesi Selatan, Jateng, Jatim, NTT, NTB) perlu adanya kerjasama aktif Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, PT PELNI dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pembenahan sarana transportasi laut untuk angkutan ternak,  perbaikan jalan darat untuk kelancaran truk, dan penyederhanaan sistem administrasi terkait retribusi.  Sementara itu, untuk menjamin tersedianya pasokan dari dalam negeri diperlukan sinergi yang solid antara Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Pemerintah Daerah¸Perguruan Tinggi dan  pihak Swasta.  Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan di berbagai bidang secara bertahap namun serentak dan sinergis dalam jangka panjang yang secara menyeluruh melibatkan peran aktif Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran, optimisme, kerja sama, dan kerja keras dari semua pemangku kepentingan guna menciptakan sinergi untuk mencapainya.  

 

Oleh:

Dr. Harianto, MS.

SKP Bidang Pangan dan Energi 

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           0           0           0           0