Pemimpin Bangsa yang Terlupakan

 
bagikan berita ke :

Selasa, 01 Maret 2011
Di baca 12321 kali

Sebelum sampai pada sambutan Wakil Presiden, acara peringatan sempat berubah menjadi penuh haru. Terutama ketika Farid Prawiranegara, salah seorang putra Sjafruddin, menceritakan masa-masa sulit hidup keluarganya pada awal 1960-an. Ketika itu sang ayah masih berada dalam tahanan Pemerintahan Soekarno sehingga seluruh anggota keluarga sempat menumpang ke rumah kerabat dan sahabat.

Keluarga Sjafruddin akhirnya mendapat pertolongan pasokan bahan pokok dan tempat tinggal dari Leimena dan Soebandrio. "Kendati ayah dan mereka berbeda pandangan, mereka tetap sahabat dan saling menolong. Ini adalah suri tauladan," tutur Farid dengan suara tercekat. Ia lantas bercerita, bahkan akhirnya Presiden Soekarno sendiri juga turut membantu memberikan dua mobil Mazda untuk keluarga itu.
Sjafruddin Prawiranegara memang tokoh penting yang masih menjadi sumber perdebatan dalam sejarah Republik Indonesia. Ia berjasa besar saat memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari Bukittinggi, 19 Desember 1948- 13 Juli 1949. Saat itu Belanda melakukan agresi militer kedua dengan menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap para pemimpin RI, termasuk Soekarno-Hatta dan separuh anggota kabinet.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda.  Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, berlangsung sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, Sjafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun  1949-1950.

Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang senilai Rp 5 ke atas. Kebijaksanaan moneter kontroversial itu dikenal dengan julukan Gunting Sjafruddin. Kebijakan itu mengatur  bahwa uang merah atau uang NICA dan uang De Javasche Bank pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Sejak 22 Maret hingga 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi.

Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku sebagai alat pembayaran, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara dengan nilai cuma setengah dari nilai semula. Masa berlaku obligasi ini empat puluh tahun dengan bunga 3% setahun. Gunting Sjafruddin juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).

Saking jujurnya, Sjafruddin tidak menceritakan rencana kebijakan ini kepada siapapun termasuk istrinya. "Akibatnya, setelah pemotongan uang, Sjafruddin harus meminjam uang untuk menutup biaya hidup. Gajinya sudah tak cukup lagi. Ini adalah suri tauladan yang luar biasa bagi para pejabat publik di masa sekarang," tutur Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution yang menyampaikan sambutan sebagai tuan rumah.

Setelah itu, Syafruddin menjabat sebagai Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, pada tahun 1951. Setelah upaya nasionalisasi berjalan mulus, Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama pada 1953. Uoaya transisi ini adalah jasa yang luar biasa seorang Sjafruddin.

Jasa Sjafruddin seolah hendak dilupakan dari sejarah karena keterlibatannya dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang dideklarasikan pada 15 Februari 1958. Sjafruddin menjabat sebagai Perdana Menteri PRRI merangkap Menteri Keuangan,

Pemerintah pusat menganggap gerakan ini sebagai pemberontakan dan mengirim tentara untuk memadamkannya. Pada Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir. Pemerintah pusat memberikan amnesti dan abolisi kepada semua orang yang terlibat melalui Keputusan Presiden RI No.449/1961.

Sjafruddin menghabiskan masa tua dengan berdakwah. Namun bekas tokoh Partai Masyumi ini sempat dilarang naik mimbar pada masa Orde Baru karena turut menandatangani Petisi 50.

Wakil Presiden Boediono menyimpan kesan yang sangat dalam mengenai Sjafruddin yang ia nilai sebagai seorang pemimpin yang pragmatis, rasional, dan tidak dogmatis dalam melaksanakan tugasnya. "Beliau adalah pemimpin yang memegang prinsip tapi juga bisa menjalankan tugas di dunia nyata," tutur Wapres menyampaikan kekagumannya..

Sebagai seorang ekonom, Wapres sangat dalam mempelajari perdebatan antara Sjafruddin, yang waktu itu menjadi Pemimpin bank Sentral dengan  Sumitro Djojohadikusumo yang menjabat sebagai Menteri Keuangan. Perdebatan pada tahun 1952 ini benar-benar dapat menjadi referensi mengenai dasar-dasar  pemikiran mengenai strategi pembangunan ekonomi Indonesia.

Topik pertama perdebatan adalah mengenai Program Benteng untuk menguatkan pribumi. Topik kedua, seberapa jauh pemerintah bisa mendorong pembangunan dengan defisit, Di sini Sjafruddin berada pada sisi yang hati-hati konservatif. Sebaliknya, Sumitro berada pada sisi yang berani. Dua-duanya bisa benar, tergantung pada situasi dan sudut pandang melihatnya.

Berbagai argumentasi Sjafruddin dalam perdebatan itu juga masih relevan hingga sekarang. Misalnya, bagaimana kita sebaiknya mengutamakan pembangunan pada pengolahan sumber alam. Ini masih tetap relevan bagi kita semua, bagi yang belajar ekonomi maupun yang mengamalkan ilmu ekonomi sebagai praktisi.

Hal lain yang tak kalah relevan, dalam pandangan Wapres, adalah perhatian Sjafruddin pada pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Pada 1966 Sjafruddin menggoreskan pemikirannya secar jernih dalam sebuah tulisan Membangun Kembali Ekonomi Indonesia. Di situlah Sjafruddin menegaskan pentingnya mengutamakan kualitas sumberdaya manusia. "Manusia yang harus didahuukan, bukan kapital, " kata Wapres.

Sjafruddin juga punya pandangan menarik mengenai riba. Wapres menceritakan, dalam pemikiran Sjafruddin, riba bukanlah berarti sempit yang hanya merujuk pada bunga. Menurut pemikiran Sjarifuddin,  jika seseorang mengambil keuntungan yang berlebihan itu adalah riba.

Melihat berbagai jasa yang luar biasa, Sjafruddin memang layak mendapat penghargaan. Beberapa kalangan memang sudah mengusulkkan Sjafruddin mendapatkan kehormatan sebagai Pahlawan Nasional. Dalam istilah Ketua Peringatan Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara A.M. Fatwa, "Kita harus berdamai dengan sejarah."

Menanggapi usulan ini, Wapres meminta semua pihak untuk menyerahkan penetapan gelar kepada Pemerintah yang akan memprosesnya sesuai ketentuan. Sebab, ada hal yang jauh lebih penting lagi. "Bagaimana caranya agar suri tauladan dari Beliau bisa kita amalkan dan kita tiru dalam kehidupan sehari-hari. Itulah penghormatan kita yang terbesar kepada Sjafruddin Prawiranegara," tutur Wapres.
Sumber:
http://www.wapresri.go.id/index/preview/berita/1103
Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
55           23           7           4           42