Presiden Jokowi: Kurs Rupiah-Dolar Bukan Lagi Tolok Ukur yang Tepat

 
bagikan berita ke :

Selasa, 06 Desember 2016
Di baca 738 kali

"Kita selama bertahun-tahun selalu melihat dolar dan rupiah. Menurut saya, kurs rupiah dan dolar bukan lagi tolok ukur yang tepat. Kurs yang relevan adalah kurs rupiah melawan mitra dagang terbesar kita," terangnya.

 

Dilansir dari Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, penguatan kurs dolar AS sebenarnya hanya mencerminkan kebijakan ekonomi negara Paman Sam tersebut, bukan mencerminkan negara-negara lain. Saat  terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat beberapa waktu lalu, kurs mata uang sebagian besar negara-negara di dunia pun ikut melemah bila dibandingkan dengan dolar AS.

 

"Dengan terpilihnya Donald Trump jadi presiden Amerika Serikat, praktis semua mata uang di dunia melemah terhadap dolar Amerika, bukan hanya rupiah. Bahkan menurut saya, rupiah relatif stabil dibanding mata uang lainnya," ujar Presiden.

 

Menurut Presiden, persepsi yang biasa dijadikan acuan tersebut tak dapat dilanjutkan. Sebab, Amerika Serikat sendiri hanya berkontribusi sebesar 9 hingga 10 persen dari total perdagangan Indonesia. Masih banyak negara-negara mitra dagang lainnya yang justru memiliki kontribusi lebih.

 

"Kalau Tiongkok terbesar, ya harusnya Rupiah-Renminbi. Kalau Jepang, ya kursnya kurs Rupiah-Yen. Amerika hanya 9 sampai 10 persen total perdagangan kita. Tiongkok malah angka yang ada di saya 15,5 persen, Eropa 11,4 persen, Jepang 10,7 persen. Ini penting untuk edukasi publik, untuk tidak hanya memantau kurs pada dolar Amerika semata," imbuhnya.

 

Kondisi Perekonomian Terkini

 

Dalam kesempatan tersebut, Presiden juga menyinggung soal kondisi perekonomian Indonesia. Berdasarkan penilaian IMF, kondisi perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang cukup baik bila dipandang dari segi moneter, fiskal, maupun struktur. Meski demikian, Presiden meminta agar para pelaku ekonomi tak kehilangan kewaspadaan. Sebab, tak dapat dipungkiri, yang paling berpengaruh dalam kondisi perekonomian nasional saat ini ialah faktor eksternal.

 

"Risiko ekonomi sebagian besar memang berasal dari eksternal. Ketidakpastian kebijakan ekonomi di Amerika Serikat, ketidakpastian suku bunga The Fed, dan melemahnya ekonomi Tiongkok yang saya kira sudah tahu semua," terangnya.

 

Di luar itu, upaya dan kesiapan seluruh pihak terhadap dinamika ekonomi lah yang seharusnya diperhatikan. Untuk itu, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa saat ini pihaknya sedang gencar untuk menarik investasi ke dalam negeri.

 

"Menurut saya yang penting itu apa yang harus kita kerjakan. Ini hal yang harus disikapi dengan rasa optimisme. Memang tekanan di hampir semua negara itu sama. Selalu setiap saya ketemu dengan Kepala Negara, keluhannya hampir sama: melemahnya pertumbuhan ekonomi dan sulitnya mencari investasi serta arus uang masuk. Oleh sebab itu, negara kita yang ingin kita kerjakan adalah menarik investasi sebesar-besarnya," kata Presiden.

 

Untuk investasi, Presiden telah menargetkan kepada para menterinya agar pada tahun 2017  tercapai investasi sebesar Rp670 triliun. Target tersebut tentu saja akan ditingkatkan tiap tahunnya dimana pada tahun 2018 menjadi Rp840 triliun.

 

Turut hadir dalam acara tersebut di antaranya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. (Humas Kemensetneg)

 

 

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           0           0           0           0