Sambutan Presiden - Rakernas ADKASI, JI Expo Kemayoran, 30 Agustus 2016

 
bagikan berita ke :

Selasa, 30 Agustus 2016
Di baca 1258 kali

TRANSKRIP

SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RAPAT KERJA NASIONAL I ASOSIASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SELURUH INDONESIA (ADKASI )

JI EXPO KEMAYORAN, JAKARTA

30 AGUSTUS 2016

 

 

 

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,


Selamat sore,

Salam sejahtera bagi kita semuanya,

Om swastiastu,

 

Yang saya hormati Ketua dan Pimpinan Lembaga Negara,

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja,

Yang saya hormati Ketua, Sekjen, beserta seluruh Pengurus dan Anggota ADKASI,

Hadirin sekalian yang berbahagia,

 

Yang pertama mengenai RPP tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Sudah saya pegang, tapi saya umumkan terakhir. Saya akan berbicara terlebih dahulu mengenai kerja kita semuanya.

 

Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati,

Kita sadar semuanya. Saya kira semuanya di daerah sudah merasakan bahwa kompetisi, persaingan sekarang ini begitu sangat sengitnya antarnegara. Nantinya antardaerah akan terjadi.

 

Sekarang baru dibuka, baru dibuka hanya ASEAN Economic Community. Tapi nanti bisa pertarungan itu antarkawasan, antarkawasan.

 

Saya kadang-kadang, kalau pas ketemu dengan kepala negara, kepala pemerintahan di ASEAN, kalau pas ketemu, kelihatannya kita ini kan tetangga, satu grup ASEAN. Kalau pas foto, fotonya pasti bergandengan seperti ini.

 

Tapi sadarlah kita semuanya bahwa, apa pun, mereka adalah pesaing-pesaing kita. Kita harus sadar. Mereka adalah pesaing. Tetangga, iya. Satu grup di ASEAN, iya. Di ASEAN Economic Community, iya. Tapi apa pun, dengan posisi persaingan dan kompetisi seperti ini, mereka adalah pesaing kita.

 

Belum kita masuk ke kawasan yang lain. Sekarang sudah ada grup-grup besar. Ada ASEAN Economic Community. Ada TPP. Ada RCEP. TPP grupnya Amerika. RCEP grupnya China. Ada EU, grupnya Uni Eropa. Inilah persaingan yang betul-betul sudah kita jalani sekarang ini, dan yang lebih besar akan kita hadapi.

 

Oleh sebab itu, saya mengajak. Persaingan ini akan kita menangkan kalau kita ini bergandengan dalam satu kesatuan.

 

Dari pusat sampai ke daerah, kita harus sinergi total. Kalau nanti ada pilpres, ya sudah tarungnya nanti saja. Sekarang ini kerja semuanya bareng-bareng untuk negara kita yang kita cintai.

 

Saya tunjukkan betapa peringkat kemudahan berusaha di Indonesia dibandingkan negara-negara yang lain. Bandingkan ease of doing bussiness di Indonesia, kemudahan berbisnis di Indonesia. Mari kita lihat. Singapura nomor 1. Malaysia nomor 18. Thailand nomor 49. Kita lihat di layar. Indonesia nomor 109.

 

Mau apa kita? Mau bersaing dengan cara apa kalau nomor urutnya masih seperti itu? Kita masih 109. Singapura nomor 1. Malaysia 18. Thailand 49. Mau apa?

 

Indeks daya saing global kita juga sama. Kita masih pada posisi keempat di ASEAN, ke-37 di dunia global. Inilah yang harus kita perbaiki ke depan.

 

Izin-izin yang berkaitan nantinya dengan perda-perda, saya titip kepada Bapak, Ibu, Ketua, Pimpinan, dan Anggota DPRD di seluruh Indonesia. Kalau membuat perda, buatlah perda yang memberikan kemudahan masyarakat untuk berusaha. Jangan membuat perda yang membebani.

 

Saya berikan contoh membebani itu seperti apa, misalnya peraturan mengenai restribusi daerah. Hati-hati. Kalau setiap daerah membuat perda-perda seperti itu, dan memberikan beban, justru investasi tidak akan masuk.

 

Kalau investasi tidak akan masuk di sebuah daerah, artinya perputaran uang di daerah itu juga tidak akan bertambah, hanya ketergantungan pada APBD. Kalau tidak ada investasi, tidak akan ada lapangan pekerjaan. Kalau tidak ada lapangan pekerjaan, daya beli masyarakat pasti akan anjlok sudah.

 

Kuncinya sekarang ini di investasi karena daya dukung dari APBN kita itu juga sebetulnya hanya 80% dari keseluruhan perputaran uang yang ada. Inilah hal-hal yang harus kita hadapi.

 

Kenapa kemarin kita juga membatalkan 3.143 perda? Karena itu tidak ramah terhadap investasi, tidak ramah terhadap perdagangan, malah menyulitkan, tidak memudahkan tapi menambah berbelit-belit masalah, menambahkan urusan kalau kita ingin mengurus sesuatu. Kalau Bapak, Ibu semuanya, ada kepala daerah yang mengajukan itu, dan melihat itu malah nambahi ruwet, sudah kembalikan saja. Sekarang kita harus berpikir simpel seperti itu.

 

Saya juga sudah menyampaikan kok ke Ketua DPR, “Sudahlah, kita sekarang tidak usah membuat undang-undang yang terlalu banyak.” Setahun 40. Kalau sudah undang-undangnya keluar, apa kejadiannya? Pasti pemerintah buat PP. Kalau sudah buat PP, nanti saya buatkan perpres. Kalau sudah buatkan perpres, menterinya buatkan permen, iya, kan?

 

Waduh! Padahal sekarang ini perubahan dunia detik demi detik, menit demi menit, hari demi hari berubah-ubah terus. Kita menjerat diri kita sendiri, tidak fleksibel, tidak cepat memutuskan.

 

Apa mau kita terus-teruskan? Buat saya, jawaban saya, tidak! ndak! Produksi undang-undang itu sedikit tidak apa-apa, tapi kualitasnya yang baik. Membuat perda juga tidak apa-apa sedikit, tapi kualitasnya yang baik, yang mendongkrak kesejahteraan, yang mendongkrak ekonomi di daerah. Jangan tiap hari memproduksi perda. Pelaksanaannya yang bingung.

 

Kita juga sama, di eksekutif sama bahwa undang-undang ini banyak. Negara kita ini bukan negara undang-undang. Negara kita ini negara hukum.

 

Beda negara undang-undang dengan negara hukum. Negara hukum itu nilai-nilai yang diangkat, nilai-nilai yang diangkat. Kalau negara undang-undang, produksiii terus. Waduh! Sampai tidak tahu kalau tumpang tindih, overlapping. Kalau sudah seperti itu, bingung lagi. Mau revisi, kan juga ngantre.

 

Inilah yang kita harus blak-blakan, harus dihentikan. Kita harus berani karena, sekali lagi, kecepatan kita memutuskan di lapangan itu diperlukan. Begitu ada perubahan, kita dicegat oleh undang-undang, dicegat oleh aturan, dicegat oleh regulasi. Bagaimana mau cepat?

 

Semua negara sekarang ini terjadi perlambatan ekonomi, semuanya. Ada yang sudah minus. Ada yang -3. Ada yang sudah -5, menuju -7. Di dekat-dekat kita saja, sudah turun sampai 1,8, turun 1,5.

 

Tapi kita, ya dengan segala jurus, alhamdulillah. Kalau kita lihat pada kuartal pertama kita 4,91%, kuartal kedua 5,18%, naik. Enggak apa-apa naik dikit, tapi jangan turun. Saya sudah wanti-wanti kepada semua menteri, “Naik dikit enggak apa-apa, atau pertahankan, tapi jangan turun. Kalau turun, nanti ngeremnya kita enggak bisa. Bisa seperti negara yang lain, berat.”

 

Coba, sebelum ini tadi. Bandingkan dengan negara lain tadi. India sekarang ini yang paling atas. Tiongkok dulu bisa sampai 10, sekarang sudah 6,7. Coba, anjlok berapa? Kita pada posisi tiga besar sekarang ini, di 5,18.

 

Tapi mempertahankan ini juga tidak gampang kalau tidak didukung oleh daerah. Pertumbuhan ekonomi nasional itu dari mana sih? Dari pertumbuhan daerah-daerah ini dikumpulkan, dirata-rata, jadi ini, bukan dari mana-mana. Dari mikro, mikro, mikro, mikro ini, menjadi pertumbuhan ekonomi makro kita. Inilah posisi-posisi yang kita harus tahu semuanya.

 

View kita harus helikopter. View kita harus kita buka semuanya. Kita ini tidak pada posisi yang enak sekarang ini. Pertarungannya sengit. Kompetisinya sangat sengit sekali.

 

Kemudian—ini sangat basic, sangat basic—kenapa infrastruktur ini kita jadikan sekarang fokus, prioritas? Karena, tanpa itu, tanpa infrastruktur, tidak mungkin kita mempunyai daya saing, tidak mungkin kita punya daya kompetisi.

 

Biaya logistik, biaya transportasi Indonesia, dibandingkan Malaysia dan Singapura, 2,5 kali lipat. Mahal sekali. Mungkin paling mahal di dunia. Mahal sekali. Kenapa? Infrastruktur kita tidak siap.

 

Oleh sebab itu, kita sekarang ini fokus bangun sudah. Pokoknya, kalau saya dengan menteri-menteri, “Segera dimulai, mulai dulu.” Entah Jalan Tol Trans-Sumatera, dimulai. Dari Lampung, mungkin akhir tahun ini. Dari Aceh, akan nanti di tengah sambung udah. Dari timur, sudah dimulai. Dari barat, dimulai. Ketemu nanti di tengah. Gambarnya ada di layar.

 

Jadi, kalau saya ngomong, mesti ada gambarnya. Kalau enggak, nanti ada yang bilang, “Presidennya hanya ngomong aja.” Tapi, kalau saya beri contoh gambarnya, baru.

 

Tol Manado-Bitung sudah. Saya kira yang berasal dari Manado atau dari Bitung sudah tahu semuanya.

 

Balikpapan-Samarinda yang berhenti berapa tahun, mungkin 6 tahunan, juga sudah dimulai.

 

Jalan-jalan di perbatasan semuanya karena ini adalah jendela kita. Begitu orang masuk, saya sedih sekali. Ini saya cerita sedikit saja.

 

Waktu saya ke Entikong, saya ke Matoain di perbatasan NTT dan Timor Leste, saya ke sana. Sampai di tempat, saya lihat ke timur. Gedungnya megah sekali di timur kita. Begitu lihat kantor kita—ya maaf—kayak kantor kelurahan. Benar. Sedih saya.

 

Detik itu juga, saya minta, seminggu ini kantornya semua diruntuhkan, robohkan. Kini dalam proses, yang di tengah, itu yang di tengah, bareng yang Matoain. Pokoknya mau saya, kalau di seberang itu lantainya dua, kita—saya perintahkan—lantainya tiga. Kalau di seberang luasnya 300, saya minta 600. Pokoknya saya lipatkan terus. Saya enggak mau kurang betul.

 

Kita mau, mereka masuk ke negara kita itu, sudah grek dulu. Kita ini negara besar. Jalannya—maaf—yang di Entikong, jalannya masak hanya 4-5 meter? Tidak. Saya sudah minta, ini minimal 20 meter.

 

Tapi enggak apa-apa, enggak usah terus 20 kilo, 30 kilo, tapi 20 meter gitu. Jadi, orang masuk itu sudah grek dulu. Jangan, dari sana jalannya gede, begitu masuk ke kita itu sempit. Waduh! Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak. Yang seperti ini harus kita ubah semuanya.

 

Ini jalan-jalan di Papua, di Merauke, di Mamberamo. Tidak karena, tanpa itu, sekali lagi tidak mungkin kita bisa bersaing dalam kompetisi yang sangat sengit seperti ini.

 

Kereta api juga sama udahlah. Saya kemarin ditanya, “Pak, Bapak groundbreaking kereta api di Sulawesi.” Saya sampaikan, “Saya enggak mau groundbreaking. Dimulai dulu, kerjakan dulu. Nanti, kalau sudah lebih dari 7 kilo, ngomong ke saya. Saya akan datangi ke Barru, dekat Makassar.”

 

Sudah saya ke sana, Parepare, dekat Makassar. Saya datang itu, enggak usahlah pakai groundbreakang-groundbreaking, enggak usah.

 

Dimulai. Saya lihat sudah dikerjakan. Target nanti akhir tahun berapa kilo, sudah. Kita memang harus bekerja cepat-cepatan seperti itu. Kita sudah ditinggal.

 

Sekali lagi, cost logistik, cost transportasi kita 2,5 kali lipat dibanding negara tetangga kita.

 

Kemudian, transportasi massa. Kita sudah tidak bisa orientasi lagi ke mobil-mobil pribadi. Ke depan, harus mau masuk ke transportasi massa. Saya kita daerah-daerah juga harus mulai menganggarkan bus untuk daerah, seperti kayak Jakarta: MRT, bawah tanah.

 

Negara lain sudah bawah tanah. Kita juga harus bawah tanah. Enggak ada pilihan. Yang lain LRT. Kita juga LRT.

 

Saya sudah sampaikan. Pelabuhan, kalau kita membuat pelabuhan hanya 10 hektare, 20 hektare, sudah ditinggal pasti kita sama negara lain. Saya perintahkan, kalau membuat pelabuhan, itu 2.000 hektare sekalian. Bebaskan 2.000 hektare sekalian.

 

Ini tugasnya daerah nantinya. Mohon kita dibantu. Mikirnya, kita harus berpikir 50-100 tahun yang akan datang.

 

Selain pelabuhan, juga dibuat kawasan industri. Enggak mungkin hanya pelabuhan.

 

Kalau negara lain melakukan, kita tidak juga melakukan atau mendahului, pasti ditinggal, kita pasti ditinggal sudah. Kompetisi yang sengit seperti itu harus kita jawab.

 

Di Kuala Tanjung, ini sudah selesai. Di Sumatera Utara, sudah selesai 57%. Tahun depan, akhir tahun, saya minta sudah bisa dipakai.

 

Kalau kerja, pasti menteri saya beri target sudah.

 

Pembangkit listrik juga sama. Hampir di semua provinsi, di kabupaten, di kota, biarpet semuanya, kurang semuanya. Ini juga kita akan terus kebut meskipun juga tidak mudah mengejar 35.000 megawatt itu, tidak mudah.

 

Inilah hal-hal yang terus kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur-infrastruktur, baik jalan tol, baik pelabuhan, baik transportasi massa, kereta api, dan bandar udara.

 

Bandar udara—saya mungkin ingin cerita sedikit—yang bandara di Silangit, di Danau Toba. Bandaranya sudah ada, tapi terminalnya juga sama kayak kantor kelurahan. Yang datang pesawat ke sana, tidak ada. Bulan Juni atau Mei, saya perintahkan ke Garuda, “Coba, dicoba ke Silangit. Seminggu dua kali enggak apa-apa, seminggu sekali enggak apa-apa. Dicoba dulu ke sana.” Kalau enggak diperintah seperti itu, enggak akan dijalani.

 

Perintah dijalani. Terbang ke sana. Penuh seminggu tiga kali. Sekarang seminggu sudah penuh. Pesawat yang lain, maskapai yang lain langsung mengikuti. Sekarang sudah ada 5 penerbangan ke Silangit.

 

Artinya apa? Terminalnya enggak cukup. Artinya lagi kita harus runtuhkan dan dibangun.

 

Sekali lagi, kita kejar-kejaran dengan hal-hal yang seperti itu.

 

Kemudian yang kedua, Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudara sekalian, saya titip hal yang berkaitan dengan manajemen anggaran di daerah.

 

Daerah ini fokus saja. Jangan money follows function. Punya anggaran, katakanlah punya belanja modal 300 miliar misalnya, semua dinas dibagi-bagi. Ada semuanya, rata dibagi-bagi-bagi. Kayak gitu, kalau diterus-teruskan, enggak akan jadi barang. Percaya kepada saya. Enggak akan jadi barang. Percaya kepada saya.

 

Ini yang bisa memutuskan yang punya hak budgeting lo. Berarti Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara semuanya.

 

Sekarang ganti, money follows program. Programnya apa, duitnya arahkan ke situ, 70-75% arahkan. Pasti jadi barang. Tiga tahun arahkan ke sana. Jadi, nanti pindah ke program yang lain.

 

Jangan semuanya diberi. Sini dikit, sini dikit, sini dikit, sini dikit. Ilang, baunya aja enggak akan ada. Percaya kepada saya. Kalau eksekutif mengajukan seperti itu, legislatif juga harus berani menolak.

 

Jadi, harus fokus saja. Kalau misalnya mau fokus, ini 3 tahun mau membenahi pasar tradisional supaya kabupaten bisa mempunyai pasar-pasar tradisional yang baik, ya sudah 70% fokus ke situ.

 

Ada yang bertanya, “Lo, Pak, nanti dinas yang lain bagaimana?” Ya sudah, menjalankan fungsinya pelayanan. Kan bulanannya juga digaji mereka. Kok kayak enggak digaji? Kan digaji. Ya sudah, pelayanan. Fokusnya baru ke pasar kok.

 

Saya berikan contoh. Kota-kota yang fokus seperti itu akan berhasil. Ada kota di Amerika. Namanya Sunnyland. Itu hanya fokus kepada lapangan golf. Di kota itu, ada 39 lapangan golf.

 

Ini Sunnyland, bukan kota olahraga. Kalau kita, sering men-declare kan? “Palembang, Kota Olahraga.” Olahraganya apa? Harus lebih fokus lagi. Ini namanya Kota Golf.

 

Waktu saya ke sana, yang namanya jet-jet pribadi dari seluruh dunia ke sini semuanya. Hanya untuk apa? Golf. 39 lapangan golf ada di kota itu.

 

Kalau kita ini, sudah uangnya sedikit, semuanya dikerjakan. Iya enggak? Ya, enggak jadi barang. Gitu lo.

 

Contoh lagi, di Choshi, di Jepang, punya kekuatan perikanan. Ya sudah, pasarnya untuk pelelangan ikan. Kemudian pasar ikan, diperbaiki total. Tapi yang bersih. Yang di dalamnya, semuanya pakai pakaian yang rapi.

 

Semua internasional tahu bahwa pasar ikan paling bersih itu di Choshi, tahu semuanya. Ada pasar basah. Ada pasar kering. Di situ ada cold storage, semuanya.

 

Yang punya lumbung-lumbung ikan itu konsentrasi di sini. Banyak, di Ambon misalnya, di Bitung misalnya, di Natuna, kenapa tidak?

 

Maunya semuanya dikerjakan semuanya. Enggak jadi barang. Percaya kepada saya. Lima tahun, barangnya enggak kelihatan. Ini diberi misalnya 300 miliar, di sini diberi 5 miliar, di sini 7 miliar, di sini 15 miliar. Ya enggak jadi barang sampai kapan pun.

 

Saya titip itu. Jadi, fokus, prioritas. Sudahlah, jangan banyak-banyak yang dikerjakan.

 

Rotterdam, itu menyiapkan pelabuhan berapa tahun lo. Tapi fokus di situ terus. Tapi terkenal. Hanya apa? Kota Pelabuhan.

 

Bapak, Ibu bisa saja. Kalau fokus terus seperti itu, 5 tahun jadi barang pasti. Kenapa tidak?

 

Daerah itu duitnya juga banyak lo. Jangan keliru. Daerah itu duitnya juga banyak. Ini tadi baru saja saya telepon Menteri Keuangan. Di daerah, masih tersimpan 224,67 triliun. Duitnya gede banget.

 

Padahal yang di pusat saja, kita pontang-panting mencari income penerimaan negara. 224 triliun, coba.

 

Saya biasanya punya list setiap hari kabupaten mana. Dulu saya baca waktu dengan bupati, wali kota, gubernur. Saya baca.

 

Saya memang senang kok blak-blakan, biar tahu daerah mana yang masih nyimpan uang banyak.

 

Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudara sekalian,

Kita harus sadar. Kalau uang ini disimpan di bank, di BPD, artinya apa? Uang yang beredar di daerah itu enggak ada karena disimpan di bank. Terus daya beli rakyat dari mana? Proyek enggak segera-segera dimulai, terus mau membuka lapangan pekerjaan dari mana?

 

Kita itu enggak pernah ada stok di Kementerian Keuangan sampai 224 triliun. Besar sekali.

 

Ini yang saya kira, Bapak, Ibu, Ketua, Pimpinan, dan Anggota DPRD, tolong diingatkan di eksekutifnya, agar uang ini cepat keluar. Kalau uang ini keluar, pasti pertumbuhan ekonomi akan naik. Pasti, di daerah itu pasti naik. Kalau tidak, dari mana?

 

Memulai proyek, jangan kayak dulu. Bulan Agustus, baru dimulai. Bulan September, baru dimulai. Tidaklah. Segera. Kalau bisa mulai Januari, Februari, sudah dimulai sehingga ada uang beredar di masyarakat, daya beli menjadi ada.

 

Itu tugasnya Bapak, Ibu semuanya untuk ngejar-ngejar eksekutif. Kalau enggak, ya dipanggil saja dinas keuangannya, kepala dinasnya.

 

Coba, ini lagi. Ini ada Kota Monterosso di Italia. Kota nelayan seperti ini kan bagus. Kenapa yang punya nelayan banyak tidak konsentrasi, fokus saja ke situ? Itu akan terkenal. Kabupatennya pasti akan terkenal.

 

Mungkin kayak di sini ada Tomohon. Kenapa enggak konsentrasi saja? Sudah, jangan mikir yang lain. Konsentrasi. Tomohon: bunga. Sudah, jangan yang lain-lain, sudah. Konsentrasi di situ biar kayak di Keukenhof ini, di Belanda, sudah. Macam-macam bunga, semuanya tanam di situ. Nanti menjadi apa? Kota Bunga, menjadi Kabupaten Bunga di situ.

 

Jangan semuanya dikerjakan. Ini dikerjakan, ini dikerjakan, ini dikerjakan, ini dikerjakan, ini dikerjakan. Ya enggak jadi apa-apa. Percaya kepada saya, percaya sudah.

 

Kita ini punya, apalagi kabupaten-kabupaten di luar Jawa, punya keluasan kabupaten-kabupaten yang besar. Konsentrasi. Fokus.

 

Misalnya kayak Davao di Filipina, konsentrasi di buah. Sangat terkenal sekali.

 

Buah saja, sudah. Tanam di situ, punya kekuatan buah apa di situ yang gampang tumbuh di situ? Mangga? Sudah, konsentrasi di mangga. Semua mangga seluruh Indonesia ada di kabupaten mana? Akan sangat terkenal sekali.

 

Membangun brand-nya gampang, membangun positioning kabupatennya mudah, membangun diferensiasinya menjadi mudah. “Apa pembeda Kabupaten A dan B?” “Jelas, kabupaten saya Kabupaten Buah, Kota Buah,” misalnya. Jadi, membangun positioning, membangun diferensiasi, membangun branding kabupatennya menjadi mudah sekali.

 

Sekarang kita punya berapa kabupaten? 417 kabupaten. Apa beda kabupaten satu dengan yang lain? Diferensiasinya di mana? Membangun positioning-nya ada di mana? Kan hampir rata-rata sama karena enggak ada ambisi untuk membangun tadi. Padang golf, di kabupaten mana? Membangun kabupaten buah, di kabupaten mana? Membangun kabupaten bunga, kota bunga, ada di mana? Enggak ada pemikiran seperti itu.

 

Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, saya mengajak Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian untuk kita bekerja bersama-sama. Pusat, provinsi, daerah, kabupaten, kita bekerja bersama-sama.

 

Kalau ada hal-hal yang mungkin masih belum sambung, silakan datang ke saya. Pak Lukman sudah, Pak H. Lukman sudah ke saya beberapa kali. Kita bicara-bicara kalau masih ada yang perlu.

 

Pusat juga belum tentu benar terus kok. Diingatkan. Enggak apa-apa. Tapi daerah, kalau belum benar juga, kalau saya ingatkan juga enggak usah marah.

 

Nah, yang terakhir, tadi yang terakhir, sudah di tangan saya, sudah di tangan saya. Ini 100% sudah setuju. Yang berkaitan dengan hak keuangan sudah diatur dalam PP tersendiri, sudah disetujui. Kemampuan keuangan daerah sebagai dasar perhitungan sudah disetujui. Pengaturan tunjangan komunikasi, insentif, semuanya sudah disetujui. Pengaturan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian, sudah juga disetujui. Pengaturan jaminan kesehatan, sudah disetujui. Dana operasional juga sudah disetujui. Pengaturan untuk belanja sekretariat fraksi juga sudah disetujui. Belanja rumah tangga pimpinan DPRD juga sudah disetujui. Ini sudah rampung.

 

Sekarang problemnya adalah tidak bisa ini kita keluarkan sekarang. Ini hanya timing. Kita kan baru memotong anggaran, baru mengencangkan ikat pinggang. Ini saya keluarkan. Ini hanya masalah timing. Tolong saya diberi waktu.

 

Tapi sudah beres semuanya. Saya hanya mencari timing. Begitu sudah saya nomori—ini kan tinggal nomori saja—di Setneg menomori, saya akan telepon langsung ke Pak H. Lukman Said, sudah. Nanti saya keluarkan.

 

Kemudian, pada posisi anggaran pas dipangkas seperti ini, apa timing-nya pas? Tunggulah dalam waktu dekat, tapi tidak saat-saat posisi seperti ini. Saya harapkan Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara maklum.

 

Tapi bahwa tadi sudah semuanya disetujui, ya. Yang saya bacakan tadi karena ini sudah saya janjikan waktu pertemuan di hotel, waktu pertemuan di istana, sudah.

 

Tapi saya minta kita semuanya juga memakai perasaan. Ada sense di sini. Wong tidak lama saja kok kelihatannya. Tapi yang jelas, tidak menginjak tahun depanlah, tidak akan menginjak tahun depan.

 

Saya tahu, ini sudah 12 tahun, 13 tahun. Saya tahu sekali.

 

Itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap ‘Bismillahirrahmanirrahim’, Rapat Kerja Nasional Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia saya nyatakan resmi dibuka.

 

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden