Sambutan Presiden pada Peresmian Pembukaan Indonesia EBTKE ConEx (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi – Konferensi dan Ekshibisi) Ke-10 Tahun 2021

 
bagikan berita ke :

Senin, 22 November 2021
Di baca 1254 kali

Istana Negara, Jakarta
 

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan.

 

Yang saya hormati, para Menteri;
Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati.

 

Pada saat kita di G20 maupun di COP26 di Glasgow, kita hanya berkutat, berbicara mengenai bagaimana skenario global untuk masuk ke transisi energi. Tahun lalu sebetulnya sudah masuk ke tema ini tetapi juga belum ketemu jurusnya seperti apa, scheme-nya seperti apa. Tahun ini lagi, dibicarakan lagi, dan scheme-nya juga belum ketemu. Dijanjikan US$100 miliar tetapi keluarnya dari mana juga belum ketemu.

 

Saya sendiri ditanya waktu di G20 maupun oleh PM (Inggris) Boris Johnson, menyampaikan, kalau untuk net zero emission, Indonesia nanti di (tahun) 2060. “Kok enggak bisa maju? Yang lainnya di (tahun) 2050?”, “Ya, enggak apa-apa, yang lain-lain kalau hanya ngomong saja juga bisa, saya juga bisa”, saya sampaikan.

 

 Ya roadmap-nya seperti apa, peta jalannya seperti apa. Di Indonesia sendiri sebetulnya kita memiliki kekuatan yang sangat besar mengenai renewable energy ini, 418 gigawatt, baik itu dari hydropower, geotermal, bayu (angin), solar panel, biofuel, arus bawah laut, dan yang lain-lainnya. Potensinya sangat besar sekali.

 

Tetapi kita harus ingat, dan para pemimpin dunia juga saya sampaikan, tapi kita ini sudah lama dan sudah tanda tangan kontrak, PLTU-nya sudah berjalan, memakai yang namanya batu bara. Pertanyaannya, skenarionya seperti apa? Misalnya, ini misalnya, pendanaan datang, investasi datang, kan harganya tetap lebih mahal dari batu bara. Siapa yang membayar gap-nya ini? Siapa? Ini yang belum ketemu. Negara kita? Enggak mungkin. Angkanya berapa ratus triliun? Enggak mungkin. Atau dibebankan masyarakat? Tarif listrik naik? Juga tidak mungkin. Ramai nanti, gegeran kalau terjadi seperti itu. Kan kenaikannya sangat tinggi sekali. Wong (tarif listrik) naik hanya 10 persen-15 persen saja, demonya tiga bulan. Ini naik dua kali (lipat), enggak mungkin.

 

Pertanyaannya, skenarionya seperti apa sekarang, kita? Itu yang saya tugaskan kepada Pak Menko Maritim dan Investasi dan juga kepada Pak Menteri ESDM plus Menteri BUMN. Yang konkret-konkret saja. Tapi kalkulasinya yang riil, ada hitung-hitungan angkanya yang riil. Kalau ini bisa kita mentransisikan, pasti ada harga yang naik. Lah, pas naik ini, pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah, masyarakat, atau masyarakat global? Mau mereka nombokin ini? Bukan sesuatu yang mudah tetapi negara kita, sekali lagi, memiliki potensi yang sangat besar sekali.

 

Sungai, hydropower, dari sungai. Indonesia ini memiliki 4.400 sungai, yang gede maupun yang sedang, yang bisa kita pakai untuk hydrower, tapi kan investasinya kan besar sekali. Oke, kalau gitu kita coba dua dulu, saya sampaikan kepada Pak Menko, “Coba, dua. Sungai Kayan, (dan) Sungai Mamberamo.” Sungai Kayan sudah dihitung kira-kira bisa 13.000MW. (Sungai) Mamberamo bisa kira-kira 24.000MW. Oke, carikan investor yang bisa masuk ke sana.

 

Kalau sudah masuk, jangan masuk lagi ke grid-nya PLN. Buat grid sendiri, masuk ke industri. Industrinya siapkan, ada enggak yang mau masuk ke industri ini. Sehingga bulan depan kita akan ground breaking Green Industrial Park di Kalimantan Utara, yang energinya dari hydropower, dari Sungai Kayan. Industri yang akan masuk ngantre ternyata, yang ini saya kaget, ini ngantre. Kita coba dulu, ngantre. Yang mereka ingin semuanya, produknya itu dicap sebagai green product, dengan nilai, dengan harga yang jauh lebih tinggi dari produk-produk yang dari energi fosil.

 

Nah, kalau ini jalan, mungkin skenarionya akan lebih mudah. Tapi kalau ini enggak jalan, satu ini, wah ini, kalau kita mengharapkan global, mau gratisan juga enggak mungkin mereka mau memberikan nombokin yang gap ini. Gratisan? Enggak mungkin, percaya (saya).

 

Kita sudah berbicara dengan World Bank, dengan investor dari Inggris juga waktu kita di Glasgow. Pertanyaannya pasti ke sana. Siapa yang menanggung itu?

 

Oleh sebab itu, saya minta pada Bapak-Ibu sekalian, kita coba bersama-sama, bagaimana skenario transisi energi ini bisa berjalan lebih cepat lebih baik, tetapi hitungan-hitungan lapangannya memang harus dikalkulasi secara detail, sehingga tidak hanya “Oh, ini di Sungai Kayan bisa dibuat hydropower. Oh, geotermal di gunung ini bisa….” Ya, bisa. Saya tahu, bisa semuanya. Tapi siapa yang menanggung angka yang tadi saya sampaikan?

 

Inilah PR (pekerjaan rumah) besar kita dalam rangka transisi energi. Dan nanti akan kita ulang lagi tema itu di dalam G20 tahun depan di Bali, Indonesia. Dan pertanyaan saya nanti…saya tidak ingin…saya enggak mau Bapak-Ibu semuanya cerita, “Pemimpin saya akan ngomong ke semua pemimpin G20.” Saya tidak mau kita bicara lagi kayak dua tahun yang lalu, kayak setahun yang lalu. Saya ingin pertanyaannya ini, ada kebutuhan dana sekian, caranya (scheme-nya), apa yang bisa kita lakukan. Kalau ada, berarti bisa menyelesaikan transisi energi. Kalau enggak, ya kita enggak usah bicara. Pusing tapi enggak ada hasilnya.

 

Sekali lagi, saya minta masukan dan kalkulasi yang detail, angka-angka kenaikannya berapa? Gap yang harus dibayar berapa untuk Indonesia saja? Kalau ketemu, kemudian syukur bisa dirumuskan, “Pak, ini dari jurus ini bisa diselesaikan. Dari sisi ini bisa diselesaikan,” itu yang kita harapkan. Kalau ketemu, saya bisa sampaikan nanti di G20, di Bali, tahun depan.

 

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap bismillahirahmanirrahim, siang hari ini Indonesia Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi – Konferensi dan Ekshibisi (EBTKE ConEx) Ke-10 Tahun 2021, saya nyatakan resmi dibuka.

 

Terima kasih.

 

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.