Sambutan Presiden RI - Milad ke-90 Ponpes Modern Gontor, Ponorogo, 19 September2016

 
bagikan berita ke :

Senin, 19 September 2016
Di baca 1269 kali

SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MILAD KE-90 PONDOK PESANTREN MODERN GONTOR

PONOROGO, JAWA TIMUR

19 SEPTEMBER 2016




Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,


Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbilalamin. Washalatu wassalamu ’ala asrafil ambiyai walmursalin, sayyidina wahabibina wasyafi’ina wamaulana Muhammadin, wa’ala alihi washahbihi ajma’in. Amma ba’du.


Yang saya hormati para Pimpinan Pondok Pesantren Gontor, Bapak K.H. Hasan Abdullah Sahal, Bapak K.H. Syamsul Hadi Abdan, Bapak K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, dan para Sesepuh Pondok yang saya hormati,

Yang saya hormati Pimpinan Lembaga Negara,

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja,

Yang saya hormati Gubernur Jawa Timur,

Yang saya hormati Bupati Ponorogo,

Hadirin-hadirat, para Santri yang hadir pada pagi hari ini,


Sangat berbahagia sekali saya bisa hadir di Pondok Pesantren Gontor.


Dan tadi, waktu helikopter turun di lapangan Universitas Darussalam Gontor—saya harus menyampaikan apa adanya—saya kaget. Saya berpikir, tadi sudah turun di pondok. Ternyata itu adalah Universitas Darussalam Gontor, dan sangat besar sekali.


Saya tadi bersalaman dengan beberapa mahasiswa. Saya tanya. Dari Sabang sampai Merauke, ada semuanya. Ada yang saya salami, memperkenalkan diri, “Pak, saya dari Thailand.” Agak ke timur lagi, “Pak, saya dari Amerika Serikat.”


Ini adalah pondok yang bukan hanya nasional, tapi sudah mendunia.


Bapak Gubernur tadi menyampaikan terima kasih karena di Jawa Timur sudah ada Pondok Pesantren Gontor. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih karena di Indonesia ada Pondok Pesantren Gontor. Jangan kalah dengan Gubernur.


Yang kedua, saya mengucapkan selamat atas milad ke-90 Pondok Pesantren Gontor. Adalah sebuah perjalanan panjang dan sudah melampaui beberapa zaman sampai sekarang alhamdulillah, mulai dari era kebangkitan nasional, di era perjuangan kemerdekaan, di era pembangunan, di era reformasi, sampai sekarang ini. Sekali lagi, saya ingin mengucapkan selamat atas milad ke-90 tahunnya.


Yang ketiga, Bapak Kiai, Hadirin-hadirat yang saya hormati, kondisi hampir semua negara sekarang ini berada pada posisi yang semuanya sangat sulit. Ekonomi juga sulit. Kalau kita lihat, politik dunia juga banyak ketidakpastian.


Tahun yang lalu lembaga-lembaga riset dunia menyampaikan, ekonomi dunia tahun ini akan bergerak naik. Tetapi rilis terakhir menyampaikan, ekonomi dunia tahun depan masih akan turun lagi.


Politik juga sama. Kalau kita lihat, penyelesaian-penyelesaian yang ada di Timur Tengah juga belum ada titik terang sama sekali. Pengungsian menuju ke barat juga masih berbondong-bondong. Begitu banyaknya karena problem politik yang ada di negara-negara yang ada di Timur Tengah.


Inilah—saya kira—yang patut kita syukuri bahwa di Indonesia politiknya alhamdulillah stabil. Ekonominya alhamdulillah juga masih stabil, tidak turun.


Saya kira, ini memang butuh sebuah kerja keras kita semuanya. Tanpa itu, meskipun kita mempunyai potensi-potensi yang besar—banyak yang menyampaikan, kita mempunyai laut yang kekuatan ekonominya besar, kita mempunyai minerba, mempunyai gas, mempunyai minyak yang potensinya besar, dan potensi-potensi yang lainnya—tetapi sekali lagi tanpa sumber daya manusia yang baik, tanpa sumber daya manusia yang berakhlak baik, akan sangat sulit kita berkompetisi dengan negara-negara yang lain.


Nilai-nilai tadi yang disampaikan oleh Bapak K.H. Hasan Abdullah Sahal saya kira betul. Yang kita wariskan—bukan yang kita wariskan, saya ganti lagi—yang kita estafetkan mestinya adalah sebuah nilai-nilai. Bukan sebuah barang, bukan sebuah kekayaan, tetapi nilai-nilai itulah yang sangat penting untuk kita estafetkan kepada generasi sekarang, generasi yang akan datang.


Nilai-nilai apa? Nilai-nilai identitas kita, nilai-nilai jati diri kita, nilai-nilai karakter kita, budi pekerti, sopan santun, nilai-nilai kerja keras, nilai-nilai optimisme, nilai-nilai-nilai islami. Itulah sekarang ini yang kita kehilangan, kita kehilangan.


Coba, Bapak, Ibu, Hadirin-hadirat, kita buka media sosial. Silakan dibuka yang namanya Twitter, yang namanya Facebook, yang namanya Path, yang namanya Instagram, yang namanya media online.


Bagaimana di bawahnya, komentar-komentar dari pembaca-pembaca kita? Apa yang kita lihat di situ?


Nilai-nilai inilah yang—saya kira—perlu mendapatkan perhatian khusus dari seluruh kita semuanya, utamanya Pak Kiai, utamanya dari pondok.


Coba kita lihat, bagaimana di dalam media sosial saling mencela, saling mengejek, saling merendahkan yang lain, saling menghina, saling mengolok-olok yang muda ke yang tua, antarteman seperti itu, antarbangsa kita seperti itu.


Apakah itu nilai-nilai islami? Apakah itu nilai-nilai Islam Indonesia? Jawaban saya bukan. Kita lihat 50, 40, 30 tahun yang lalu, hal-hal seperti itu tidak nampak, tidak nampak.


Tetapi sekali lagi Bapak, Ibu silakan melihat media sosial kita. Begitu nilai-nilai yang saya sampaikan tadi, kelihatannya sudah mulai hilang dari kita. Belum kita berbicara nilai-nilai kerja keras, nilai-nilai optimisme, nilai-nilai kejuangan.


Saya kadang-kadang membaca berita online itu hanya judulnya. Lalu saya lompati langsung ke komentarnya.


Masya Allah, sedih kita membaca komentar-komentar, sedih kita kalau membuka. Saling hujat di situ, saling memaki yang kata-katanya betul-betul itu bukan—saya meyakini—itu bukan nilai-nilai ke-Indonesia-an kita, bukan nilai-nilai kesopanan kita, bukan nilai-nilai budi pekerti kita.


Ada sebuah nilai-nilai yang sekarang ini—kita tidak sadar—mulai masuk, menginfiltrasi kita. Dan itulah nanti yang akan menghilangkan karakter, akan menghilangkan identitas, akan menghilangkan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia.


Saya sudah menyampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) agar persentase pendidikan, terutama di SD dan di SMP, diberikan persentase yang lebih tinggi untuk pendidikan-pendidikan etika, budi pekerti, sopan santun.


Dan kemarin memang sudah disampaikan, akan ada full-day school. Dan ini akan kita coba di beberapa provinsi. Untuk apa? Untuk menambahkan hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai tadi. Tanpa itu, ke-Indonesia-an kita akan hilang. Tanpa itu, karakter kita akan hilang. Tanpa itu, identitas kita akan hilang.


Padahal, saat saya berbicara dengan kepala negara, kepala pemerintahan yang lain, mereka sangat memuji Indonesia. Betapa kita ini ada ratusan bahasa lokal, ada ratusan etnis di negara kita. Tetapi alhamdulillah, sampai sekarang kerukunan kita tidak pernah hilang dari Sabang sampai Merauke.


Coba kita lihat, sudah berapa negara yang terpecah-pecah karena perbedaan etnis, karena perbedaan bahasa lokal, karena perbedaan agama. Alhamdulillah, patut kita syukuri bahwa sampai saat ini negara kita tetap kokoh meskipun kita berbeda-beda.


Bapak, Ibu, Hadirin yang berbahagia,

Terakhir, saya ingin menyampaikan yang berkaitan dengan kompetisi antarnegara. Saya kira kita semuanya sudah tahu.


Masyarakat ASEAN yang terdiri dari sepuluh negara sudah dibuka mulai Januari ini, sudah dibuka. Artinya, batas negara itu sudah tidak ada.


Orang Malaysia boleh berusaha di Indonesia, berusaha apa pun di Indonesia. Orang Indonesia juga bisa berusaha di Brunei, bisa berusaha di Thailand. Orang Thailand juga bisa ke sini.


Sudah dibuka. Hanya belum terlihat sekarang ini karena memang baru setengah tahun lebih. Arus barang, arus uang, mobilitas barang, mobilitas orang belum kelihatan. Tetapi jangan kaget bahwa sedikit demi sedikit pergerakan itu akan ada, dan akan terus ada.


Sama seperti di EU, di Uni Eropa. Dulu juga seperti itu. Saat dibuka, mereka bersatu. Dan Uni Eropa juga sama. Pergerakan tidak ada.


Tetapi pada saatnya nanti kita baru sadar bahwa, “Lho kok banyak orang Thailand di Indonesia? Lho kok sudah banyak orang Singapura di Ponorogo?” Mungkin kita akan terkaget-kaget karena hal-hal seperti itu. Tidak akan kelihatan berbondong-bondong.


Tetapi inilah sebuah kompetisi yang selalu saya sampaikan. Apa pun, kalau kita bertemu dengan kepala-kepala negara di ASEAN, selalu ada yang namanya ASEAN wave, bergandeng-gandeng seperti ini, gandeng-gandeng-gandeng dengan kepala negara yang lain.


Tetapi di batin saya, saya selalu sampaikan, terus saya sampaikan, “Apa pun, mereka adalah kompetitor kita. Apa pun, mereka adalah pesaing-pesaing kita. Jangan lengah terhadap itu. Begitu kita lengah, daya saing kita habis.”


Inilah sebuah keterbukaan yang tidak bisa kita tolak lagi, sebuah keterbukaan yang tidak bisa kita tolak lagi, tidak bisa kita hambat-hambat. Kalau kita menghambat, berarti kita menutup diri.


Begitu kita menutup diri, berarti kita diblok negara-negara yang lain. Kita tidak bisa berjualan ke sana, kita tidak bisa ekspor ke sana, dan akhirnya akan menjadi negara tertutup.


Tetapi konsekuensi dari keterbukaan adalah apakah kita siap bersaing dengan mereka, apakah siap kita berkompetisi dengan mereka, baik SDM maupun produk-produk. Saya sampaikan, kita harus siap, kita harus siap. Tidak ada pilihan, tidak ada pilihan, tidak ada pilihan yang lain. Kalau belum siap, kita harus menyiapkan diri.


Ada beberapa sektor yang kita harus menyiapkan diri. Ada beberapa sektor yang kita harus berbenah. Inilah yang terus saya sampaikan.


Dan tidak mungkin kita bergerak monoton, bergerak rutinitas, tidak memiliki keberanian terobosan, tidak berani menelan pil pahitnya dulu, baru menelan nanti manisnya ke depan. Kita harus berani melakukan itu. Kita harus berani menjalani itu. Tanpa itu, kalau kita biasa-biasa, rutinitas kita jalani, monoton yang kita jalani, saya sangat khawatir kompetisi itu memang bisa meninggalkan kita, dan kita ditinggal.


Kita sangat jauh. Kalau kita berbicara indeks atau kita berbicara rasio kemudahan berusaha di Indonesia, kita ini nomor 109, 109. Singapura nomor 1. Malaysia nomor 18. Thailand nomor 49. Kita nomor 109. Hal-hal seperti inilah yang harus kita perbaiki.


Dan alhamdulillah, saya sangat senang sekali pondok pesantren ini, Pondok Pesantren Gontor, alumni-alumninya, santri-santri dari sini ada yang Ketua MPR, pimpinan di DPD, di eksekutif banyak, Pak Menteri Agama. Gubernur, bupati, wali kota di daerah-daerah juga banyak yang alumni dari pondok ini.


Ini yang menyebabkan saya bangga. Artinya, dari sisi persaingan, sudah ditunjukkan bahwa alumni dari Pondok Pesantren Gontor bisa bersaing dengan yang lainnya. Inilah sebuah kualitas yang—saya ingin—dijaga, diperbaiki sehingga persaingan nantinya antarnegara itu bisa kita menangkan.


Saya kira itu sedikit yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Terima kasih. Saya tutup.


Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden