Sambutan Presiden RI pada Buka Puasa Bersama dengan Insan Pers dan Media massa, Jakarta,16 Juli 2013

 
bagikan berita ke :

Selasa, 16 Juli 2013
Di baca 723 kali

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA ACARA

BUKA PUASA BERSAMA DENGAN INSAN PERS DAN MEDIA MASSA

TANGGAL 16 JULI 2013

DI ISTANA NEGARA

 

 

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati Bapak Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia,

Para Menteri, Prof. Arif Rahman, penceramah kita, Ibu-ibu,

Para Pimpinan Organisasi Kewartawanan,

Para Pimpinan Media Massa,

Para Pemimpin Redaksi dan Wartawan Senior,

Para Wartawan yang saya cintai dan saya muliakan.

 

Alhamdulillah, hari ini kita dapat kembali bersilaturahim dan insya Allah menjalankan ibadah bersama, berbuka puasa bersama, dan bersholat maghrib bagi yang melaksanakan, semoga ibadah kita diterima oleh Allah SWT.

 

Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Arif Rahman yang telah memberikan pencerahan pada kesempatan yang baik ini. Mari kita pedomani, dan jalankan tausiah, serta pesan-pesan yang baik tadi untuk membangun masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang baik, good society, dan untuk menuju bangsa Indonesia bangsa yang maju, adil, dan sejahtera.

 

Sebagaimana tradisi yang setiap tahun kita lakukan dalam acara seperti ini, saya ingin mengajak Saudara semua untuk melakukan semacam refleksi. Beberapa hari yang lalu di tempat ini pula, saya juga menyampaikan refleksi yang berjudul perubahan dan perjalanan sebuah bangsa. Kali ini refleksi saya kelanjutan dari apa yang saya sampaikan beberapa hari yang lalu itu, dan sebenarnya juga terkait erat dengan topik yang disampaikan oleh Prof. Arif Rahman tadi. Tentu dalam waktu yang tersedia sekitar 15 sampai 20 menit, saya hanya ingin mengedepankan yang pokok-pokok saja, substansi utama, dan kalau ini dibedah dalam satu seminar barangkali juga memerlukan sejumlah seri untuk mendiskusikannya secara lebih luas, dan mendalam.

 

Yang ingin saya sampaikan adalah refleksi 15 tahun reformasi, dan Indonesia ke depan. Tahun ini tahun 2013, barangkali tidak kita sadari bahwa reformasi yang telah kita lakukan telah berusia 15 tahun. Dan pada bulan Ramadhan ini izinkan saya sebagai seorang yang telah mengemban tugas selama hampir sembilan tahun, ingin menyampaikan pemikiran dan pandangan saya. Tentu saya tidak punya kepentingan politik kekuasaan setelah tahun 2014 nanti, karena kita akan memiliki pemimpin yang baru yang akan memimpin kita semua, untuk melanjutkan apa yang kita lakukan selama ini. Dan pemikiran serta pandangan saya ini baru pertama kali saya sampaikan kepada publik di hadapan para penegak demokrasi, yaitu insan pers dan media massa, dan semuanya berangkat dari apa yang saya rasakan dan saya alami.

 

Sebagai barangkali pertanggungjawaban saya kepada rakyat dan kepada sejarah, dan sekali lagi sama dengan Bapak-Ibu semua, apa yang kita sampaikan itu kalau menyangkut bangsa dan negara kita, tentulah merupakan wujud kecintaan kita kepada negara sendiri, bangsa sendiri, dan masa depan kita semua.

 

Ada lima butir refleksi yang ingin saya sampaikan tentu secara ringkas. Yang pertama, marilah kita telaah, kita pikirkan dalam-dalam, apakah sistem ketatanegaraan dan distribusi kekuasaan di negeri ini, memang itulah yang terbaik bagi Indonesia? Satu  pertanyaan penting. Yang kedua, saya ingin melihat, apakah demokrasi, dan stabilitas, serta pembangunan, itu tiga hal yang bisa hidup berdampingan secara damai, dan membangun negara kita ke arah yang lebih baik, dan apakah kehadiran tiga hal itu, demokrasi, stabilitas, dan pembangunan di negeri kita ini betul-betul itu yang kita harapkan? Pertanyaan kritis yang lain. Yang ketiga, kita ingin melihat, menyoroti bagaimana hubungan antara negara, pemerintah, dan masyarakat? Masyarakat dalam artian rakyat. Apakah hubungan itu telah terjalin dengan tepat, dan baik dalam kehidupan di negeri ini? Butir yang keempat, adalah saya gunakan istilah road to develope nation, jalan seperti apa yang mesti ditempuh oleh bangsa ini menuju negara maju? Di dalamnya tidak bisa dielakkan persoalan character of the nation. Bicara character of the nation, we have to build character itu, character building menjadi isu sentral bagi sebuah bangsa yang ingin menjadi negara yang maju. Dan butir yang kelima, atau yang terakhir tiada lain adalah yang saya sebut dengan responsibility sharing, bagaimana kita berbagi peran, berbagi tanggung jawab, dan kemudian bekerja bersama untuk kemajuan negara kita.

 

Bapak, Ibu, Hadirin yang saya cintai,

 

Sebagai mukadimah, saya ingin mengingatkan kalau bicara reformasi, itu mau tidak mau akan bicara koreksi, perubahan, dan pembaharuan. Saya kira semua setuju. Kalau kita bicara reformasi atau transformasi, maka kita harus pahami, ia adalah sebuah proses, dan bukan kerja sekali jadi, it is process not an event. Reformasi juga kesinambungan dan perubahan, reformasi yang kita jalankan tentu tidak boleh patah dan berhenti di jalan, tidak ada artinya dilaksanakan secara gegap-gempita, jebol sana, jebol sini, hantam sana, hantam sini kemudian kehilangan daya, losing steam dan terhenti. Bukan itu perubahan yang harus kita laksanakan.

 

Sebuah reformasi atau perubahan besar itu bisa menyakitkan, painful, bisa penuh dengan pasang dan surut, bisa ada set back, tidak apa-apa yang penting harus tetap berjalan, dan berlanjut. Dan kalau kita lihat semuanya itu, apalagi yang kita lakukan bukan hanya reformasi tapi transformasi, tidakkah kita bersyukur bahwa bangsa ini terus bergerak ke depan melakukan perubahan, dan pembaharuan. Artinya tidak terhenti dan patah di tengah jalan. Ini perlu kita syukuri karena kita optimis dengan perubahan dan perbaikan, serta pembaharuan terus menerus, insya Allah dengan pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa Indonesia akan jauh lebih baik di masa depan dibandingkan Indonesia sekarang ini.

 

Saudara-saudara,

 

Mengapa kita harus sadar bahwa setelah lima belas tahun ini kita memang mesti melakukan refleksi, koreksi, dan perbaikan-perbaikan? Karena kita tidak ingin terjadi koreksi besar lagi, sebagaimana yang terjadi  pada tahun 1966 dan 1998. Tidak perlu kita menunggu era perubahan yang dramatis, radikal, dan revolusioner seperti itu. Kalau kita sadar tidak pernah ada sistem dan tatanan yang sempurna, selalu ada kekurang-kekurangannya. Oleh karena itulah, kalau kita sadar untuk melaksanakan koreksi terus-menerus, dan perbaikan berlanjut, maka insya Allah tanpa harus dikoreksi oleh sejarah bangsa ini mampu mengoreksi dirinya sendiri manakala ada kekurangan, kesalahan, dan kelemahan di sana-sini.

 

Saudara-saudara,

 

Dari lima butir saya ingin menyampaikan secara singkat satu demi satu. Tadi saya janjikan adalah sistem ketatanegaraan dan distribusi kekuasaan.

 

Saya akan lebih banyak menyampaikan critical question, pertanyaan kritikal untuk kita renungkan, dan saya sampaikan tadi barangkali ada sebuah seminar nanti yang bisa membedah lebih lanjut.

 

Sudah bernarkah check and balances yang berlaku sekarang ini? Dulu, barangkali yang kuat parlemen, ulangi, eksekutif, dulu, parlemen tidak sekuat eksekutif sehingga check and balances tidak berlangsung dengan baik. Apakah sekarang ini sudah berimbang eksekutif, legislatif, yudikatif? Mari kita telaah. Yang kedua (pertama?), bangsa ini memilih sistem apa? Apakah kita ingin tetap menjalankan sistem presidensial? Atau sistem semi parlementer? Berbeda sekali. Mari kita lihat kembali apa yang ada di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, apa pikiran-pikiran dasar dari para founding fathers ketika mendirikan negara ini, mari kita telaah.

 

Lantas, kita ini negara kesatuan, tetapi juga menjalankan otonomi daerah. Tidak banyak negara yang menganut sistem paduan seperti ini, ada negara federal, ada negara konfederasi, ada negara kesatuan, tetapi kita menjalankan otonomi daerah. Apakah sudah tepat hubungan pusat dengan daerah, distribusi kewenangan, distribusi kekuasaan di tingkat pusat, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten? Mari kita lihat ini sebagai isu penting, isu pertama kalau kita melakukan refleksi apa yang telah terjadi di negeri kita ini selama lima belas tahun ini, sistem ketatanegaraan dan distribusi kekuasaan, power distribution.

 

Yang kedua, saya katakan tadi demokrasi, stabilitas, dan pembangunan. Mari kita rasakan, baik tahun-tahun awal setelah krisis dulu 1998, 1999, 2000, 2001, 2002, begitu, ataupun sekarang.

 

Benarkah, kalau ada orang yang mengatakan bahwa penggunaan kebebasan yang keliru, dan kepatuhan pada hukum yang rendah akhirnya mengganggu stabilitas, serta keamanan, dan ketertiban publik, juga mengganggu perekonomian nasional. Ada yang mengatakan, ah stabilitas itukan ciri orde yang otoritarian, keliru. Negara yang menganut demokrasi liberal pun mengutamakan stabilitas di negaranya, agar kehidupannya tenteram, ekonominya juga berjalan. Ada pandangan mulai muncul satu, dua tahun terakhir ini, karena mereka ternyata tidak suka kalau the exercise of freedom ini dianggap berlebihan ke sana-kemari, kemudian mereka rindu kepada sistem yang lebih teratur, tapi yang dimaksudkan teratur ini tiba-tiba mereka menyebut kembali, apakah tidak seharusnya kita kembali ke sistem yang otoritarian? Bisa diatur. Tidak kacau balau katanya. Meskipun saya tidak setuju. Ada juga yang mengatakan, kalau begitu apakah tidak bagus kita menganut yang semi otoritarian? Batasannya apa otoritarian semi otoritarian dengan demokrasi? Saya juga tidak membeli argumentasi ini, alias belum setuju.

 

Saya berpandangan, ini sekali lagi pandangan saya setelah merasakan, mengalami. mengetahui apa yang terjadi di negeri ini, menjalankan roda pemerintahan, memimpin negara. Dulu yang diperlukan tangan yang kuat, yaitu sistem otoritarian. Mungkin kita justru sekarang harus mengandalkan rule of law, penegakan hukum yang efektif, institusi penegak hukum yang kuat. Maknanya apa? Kalau ada pelanggaran hukum, ada kejahatan, kekerasan, kemudian penegak hukum menegakkan hukum dengan tegas, kepolisian menertibkan kekerasan yang ada di mana-mana, jangan buru-buru dianggap sebagai tindakan yang represif, apalagi dianggap melanggar hak-hak asasi manusia. We have to chooce, kita harus memilih, kembali ke otoritarian semuanya dikontrol, kita pernah mengalami akhirnya berakhir dengan krisis, dan itu bukan pilihan kita, era kebebasan surplus di mana-mana, dan kemudian kita ditertibkan ada halangan itu seolah-olah itu represif, seolah-olah  itu melanggar hak-hak asasi manusia, seolah-olah kembali ke era lalu. Mari kita berpikir dengan jernih Saudara-saudara. Demokrasi, stabilitas, dan pembangunan tiga-tiganya kita pentingkan, Indonesia bisa sebenarnya, ketika setelah krisis kita menjalankan demokrasi sambil membangun stabilitas kita relatif terjaga, relatif terjaga, dan kemudian ekonomi kita tumbuh dengan baik. Artinya, bukan sesuatu yang ilusif di negeri ini, bisa kita jalankan sambil melakukan perubahan di sana-sini. Itu butir yang kedua.

 

Butir yang ketiga adalah hubungan antara negara, pemerintah, dan masyarakat. Kita juga harus memilih: rakyat ini, bangsa ini, ingin negara dan pemerintahnya berperan seperti apa? Apa yang diinginkan negara dan pemerintah berperan seperti polisi, seperti petugas trantrib, ya. Kalau ada apa-apa tangani langsung, keluarkan aturan yang tegas, jangan ini, jangan itu supaya tertib semuanya dan barangkali itu model ya kembali ke otoritarian. Apakah itu? Termasuk dalam mengatasi konflik komunal dan kekerasan atas nama agama. Apakah akan kita anut begitu selamanya negeri ini? Atau, oh tidak, tidak boleh negara dan pemerintah melakukan peran yang seperti itu, tidakkah kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa harus berjalan sebagaimana yang diharapkan, natural, menjalankan nilai-nilai, dan budaya yang baik hingga menjadi the good society.

 

Kalau begitu jawabannya bukan meminta negara selalu menangani, menyelesaikan apa pun dengan cara-cara barangkali yang memandulkan peran, kesadaran, dan tanggung jawab masyarakat, tetapi justru ke depan ini kita lebih perankan masyarakat melalui apa? Melalui culture building misalnya, menuju good and responsible society, good and responsible society. Saya merasakan, saya tidak tahu apakah Saudara merasakan karena saya menerima jutaan sms sejak tahun 2005, karena saya sekarang masuk dunia twitter dan face book, karena saya juga mendengar apa yang ada di kalangan masyarakat luas. Sms-sms yang masuk kepada saya, "Pak SBY. Anda harus begini. Anda harus begitu. Saya melihat sebagian dari kita mindset nya, paradigmanya masih paradigma seorang presiden, dan pemerintahan yang harus memimpin di era otoritarian bukan di era demokrasi. Menggambarkan presiden bisa berbuat apa saja, menggambarkan kekuasaan negara begitu besarnya, dan kemudian mengabaikan apa yang ada dalam kaidah-kaidah demokrasi, kaidah-kaidah rule of law, dan tata pemerintahan yang kita anut sekarang ini, yang semuanya merupakan proses, dan hasil dari reformasi.

 

Artinya, mari kita telaah, lima belas tahun sudah kita lewati. Lima belas tahun ke depan mau seperti apa hubungan antara negara, pemerintah dengan masyarakat the state, the government and the society. Ini bangsa sendiri, kita yang memilih, kita bisa belajar sampai mana pun ke Eropa, ke Amerika, ke China, mana pun, tapi toh akhirnya kita harus memilih seperti apa yang patut kita jalankan di negeri ini.

 

Berikutnya lagi adalah, kita punya dream, we have the dream, 100 tahun setelah merdeka berarti 2045, we have the dream abad 21 ini Indonesia jauh lebih maju dibandingkan sekarang. Saya kira ini tugas suci, tugas moral kita semua membawa bangsa ini menuju ke masa kejayaan seperti itu, tentu tidak akan datang dari langit.

 

Oleh karena, itu sebagai refleksi, saya ingin menyampaikan bahwa jalan menuju ke situ, ikhtiar menjadi negara yang maju itu harus dibarengi dengan persiapan, dan pembangunan terus-menerus, tidak boleh berhenti di berbagai sektor, ekonominya, teknologinya, peradabannya, dan sebagainya. Kita bangun potensinya, infrastruktur fisik dalam waktu yang luas, dan juga daya saingnya. Satu hal, untuk menuju negara maju, untuk menjadi bangsa yang besar, bangsa kita tidak boleh kerdil. Kerdil dalam pemikiran. Kita harus punya confidence, rasa percaya diri, kita harus punya can do spirit, semangat harus bisa, sebagaimana dicontohkan oleh Prof. Arif Rahman tadi, harus punya, kita anggota G-20, masih kerdil, ah jangan-jangan negara kita paling buruk, jangan-jangan kita nggak bisa ke depan, dan seterusnya, dan seterusnya.

 

Bangsa yang bersemangat, berenergi tinggi, berpikir positif, bersikap pesimis (optimis?) meskipun banyak masalah, maka dia akan tahu setiap masalah pasti ada solusinya. Can do spirit yang tinggi bangsa Jepang, bangsa Korea, bangsa Tiongkok, maju, karena spirit, confidence. Ini persoalan penting, saya rasakan, observasi saya, percakapan saya, bacaan saya, seperti itu.

 

Yang terakhir, yang kelima, butir kelima adalah responsibility sharing. Bagaimana kita bisa berbagi peran, berbagi tanggung jawab. Saya pikir Hadirin sekalian, kita semua bertanggung jawab, tentu saya yang paling bertanggung jawab sekarang ini, sebagai kepala negara, dan kepala pemerintahan. Negara, pemerintah, masyarakat semua bertanggung jawab, pers dan media juga memiliki peran dan tanggung jawab yang besar. Kalau pers melaksanakan refleksi selama lima belas tahun, saya kira pers akan menemukan sendiri apa yang sudah baik dilaksanakan oleh pers, dan apa yang belum baik, sebagaimana pula refleksi pemerintah apa yang sudah baik, apa yang belum baik. Demikian juga TNI, Polri, penegak hukum, semua kalau jujur juga melakukan refleksinya masing-masing.

 

Sebagai seorang warga negara, yang insya Allah tahun depan akan mengakiri tugas saya, saya sungguh berharap pada kesempatan yang baik ini, karena besarnya harapan atas peran pers, dan media massa sebagaimana yang kita perjuangkan pada reformasi 1998 dulu, saya juga ada di situ Saudara-saudara, maka bisa ikut meluruskan mindset dan paradigma yang masih keliru, dari sistem otoritarian menuju demokrasi, dan banyak lagi varian tentang itu, beda sistem negara kita, tidak bisa seperti dulu lagi.

 

Juga pers menjadi agent untuk character building. Kalau di tengah daya kritis pers, di tengah kewajiban untuk memenuhi the right to know of the people, di tengah kepentingan pers untuk memotret apa yang terjadi di Indonesia, dan di dunia, maka alangkah bagusnya kalau pers juga ikut membangun optimisme, pikiran yang positif, dan kepercayaan diri yang lebih tinggi dari bangsa ini. Bukan angin sorga, bukan meninabobokkan, just telling the thruth. Kalau pers, dan media masa selama lima belas tahun ke depan misalnya, tidak ada liputan good news sama sekali hanya bad news semata, maka bagaimana rakyat bisa percaya pada dirinya sendiri.

 

Menutup dari itu semua Saudara-saudara, ke depan seperti apa the way forward, ya kalau saya ditanya, pak SBY 2014 ke depan bagaimana? Ya kita percayakan kepada pemimpin kita yang baru nanti. Kemudian yang penting yang sudah kita capai yang baik-baik tolong dijaga dan ditingkatkan, yang belum baik diperbaiki, ingat transformasi itu bukan proses, oh bukan pekerjaan sekali jadi tetapi proses. Dan mudah-mudahan dalam pemilihan Presiden tahun depan apa yang saya sampaikan ini masuk menjadi visi dan misi dari capres nanti, dan kemudian juga menjadi perhatian dari seluruh rakyat Indonesia.

 

Demikianlah Saudara-saudara yang dapat saya sampaikan, terima kasih atas perhatiannya, semoga ibadah kita diterima oleh Allah SWT.

 

Sekian,

 

Wassalamu'alaikum warakhmatullahi wabarakatuh.

 

Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan,

Kementerian Sekretariat Negara RI