Sekretariat Negara Gelar Seminar 100 Tahun Kebangkitan Nasional

 
bagikan berita ke :

Jumat, 09 Mei 2008
Di baca 1298 kali

290408da.jpg Sekretariat Negara bersama Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung gelar seminar 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Selasa (29/4) lalu. Rencananya seminar tersebut akan menjadi awal dari rangkaian seminar-seminar yang akan diadakan dibeberapa kota lain hingga akhir tahun 2008 ini.

“Kebangkitan Nasional adalah nilai dan daya juang bangsa, UPI dipilih untuk mengawali seminar ini dan saya menyambut baik acara ini karena merupakan langkah yang sangat strategis untuk mengangkat nilai-nilai perjuangan terutama bagi generasi muda,” menurut Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, Rektor UPI.

Menurut Sunaryo lagi, sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, seminar ini merupakan langkah strategis. Seminar Kebangkitan Nasional menjadi satu langkah penting bagaimana seharusnya merumuskan pikiran-pilkiran yang mendasar sehingga dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam mengambil langkah-langkah untuk menghidupkan nilai-nilai nasionalisme.


Seminar yang mengetengahkan tema Revitalisasi dan Reaktualisasi Kebangkitan Nasional Indonesia Baru yang Adil dan Sejahtera menghadirkan empat pembicara, yakni Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat, Andi Alifian Mallarangeng Staf Khusus Presiden Bidang Informasi merangkap Juru Bicara (Jubir) Presiden, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, M.S., Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran serta Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed., Guru Besar UPI.


Dalam seminar yang menghadirkan Sekretaris Jendral Departemen Komunikasi dan Informasi Dr. Ashwin Sasongko sebagai keynote speech ini mendapat antusiasme dari warga Bandung khususnya para pendidik dan pengajar se-Bandung, terbukti dengan membludaknya peserta seminar hingga mencapai 664 orang, yang terdiri dari Guru TK sampai Dosen Pasca Sarjana.


Pada sesi pembicara pertama yakni Jubir Presiden Andi Mallarangeng, dengan gayanya yang khas, Andi mengajak semua peserta untuk tidak selalu mengeluh tentang keadaan Indonesia saat ini.


”Globalisasi itu seperti musim, terus berganti. Maka kita di dalamnya jangan terus menerus mengeluh, namun harus mempersiapkan diri baik-baik,” tegasnya.


Menurut Doctor of Philisophy di bidang ilmu politik dari Northern Illinois University (NIU) Amerika ini, nasionalisme dan internasionalisme harus tumbuh bersama. Contohnya adalah diaspora Indonesia di mancanegara. Diaspora yang dimaksud adalah ketika warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri menularkan atau menyebarkan budaya-budaya Indonesia dimana warga negara itu berada. Dia mengumpamakan orang Indonesia yang bermukim di Suriname, ataupun tenaga kerja yang tinggal dan bekerja di Malaysia, Hongkong ataupun Arab Saudi. Andi bercerita bahwa, anak-anak Arab Saudi besar karena salah satu merk mi instant terkenal di Indonesia. Mie Instant merk tersebut dibawa oleh TKW dan dipakai untuk menjadi bahan makanan untuk anak-anak majikannya. Diaspora Indonesia semacam ini sangat penting dan berarti bagi Indonesia. Karena diaspora yang dilakukan oleh TKW ini menjadi ujung tombak produk Indonesia.


“Kita sebagai warga negara tidak bisa menahan globalisasi. Seperti dalam buku The Lexus and The Olive Tree karangan Thomas L. Friedman. Lexus adalah gambaran sebuah kemewahan, yaitu mobil Lexus sedangkan Olive Tree atau pohon Zaitun, di Indonesia mungkin bisa disamakan dengan pohon pisang yang tumbuh dimana-mana. Menurut Friedman, adanya Lexus tidak perlu menghilangkan pohon pisang adanya pohon pisang tidak perlu menghilangkan mobil Lexus. Keduanya, masih bisa selalu ada, Lexus sebagai symbol kemakmuran dan pohon zaitun atau pohon pisang sebagai simbol tradisi harus bisa hidup berdampingan” papar Andi lagi.


Sedangkan menurut Azyumardi Azra dalam pembahasannya mengenai nasionalisme mengatakan bahwa di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural menemukan momentum baru.


“Modernisasi dan industrialisasi yang cepat dan berdampak luas, memaksa Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk ekonomi Indonesia,” ungkap Azra.


Selain itu Azra juga mengatakan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya masih “terpesona” dalam menyaksikan dan menerima globalisasi sistem nilai dan gaya hidup Amerika.


Sementara itu, Nina Lubis Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad mengatakan bahwa persoalan nasionalisme kita sekarang, jauh berbeda dengan awal kebangkitan pada awalnya.


“Dahulu musuh itu jelas, penjajah yang tidak memberikan ruang untuk mendapatkan keadilan, kemanusiaan yang sama bagi warga negara. Musuh kini lain, bukan dari luar tapi dari dalam negeri sendiri’” paparnya.


Selain korupsi yang merajalela, pemberantasannya yang terkesan tebang pilih, pelanggaranan HAM yang belum bisa diselesaikan, kemiskinan dan tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, menurutnya.


Jadi menurut Nina, nasionalisme harus diarahkan untuk memerangi semua permasalahan di atas, bagaimana menumbuhkan kembali rasa nasionalisme dengan bersikap jujur, didiplin, berani melawan kesewenang-wenangan dan tidak korup. Bila tidak bisa lanjutnya lagi, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total.


“Jangan biarkan kita mengalami nasib seperti VOC yang harus dibubarkan karena korupsi yang sudah seperti kanker stadium 4,” ungkapnya berapi-api.


Prof. Dr. Endang Sumantri, M. Ed., menutup seminar itu dengan ulasannya mengenai upaya membangkitakan nasionalisme melalui pendidikan. Menurutnya melalui kegiatan pendidikan politik diharapkan terbentuk warga negara yang berkepribadian utuh, berketerampilan sekaligus berkesadaran yang tinggi sebagai warga negara yang baik, sadar akan hak dan kewajiban serta memiliki tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


“Proses pencapaian tujuan pendidikan politik tersebut tidak dapat dilihat sevara langsung namun memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan karena pendidikan politik berhubungan dengan aspek sikap dan perilaku seseorang,” ungkap Endang. (REDAKSI)


Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           0           0           0           0