Arahan Presiden RI pada Pembekalan kepada Peserta Pendidikan Lemhannas, Jakarta, 16 Oktober 2012

 
bagikan berita ke :

Selasa, 16 Oktober 2012
Di baca 824 kali

ARAHAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA ACARA

PEMBEKALAN KEPADA PESERTA PROGRAM PENDIDIKAN SINGKAT ANGKATAN XVIII DAN PROGRAM PENDIDIKAN REGULER ANGKATAN XLVII

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

DI ISTANA NEGARA, JAKARTA

TANGGAL 16 OKTOBER 2012

 

 

 

 

Bismillahirrahmanirrahiim,

 

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Salam sejahtera untuk kita semua,

 

Yang saya hormati para Menteri, Panglima TNI, Ka BIN, Wakil Menteri, dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II,

 

Para Kepala Staf Angkatan yang mewakili Kapolri, Ketua Wantannas, dan para Staf Khusus Presiden,

 

Saudara Gubernur Lemhannas beserta jajaran Pejabat Teras Lemhannas, Dewan Pengarah, Widayiswara dan Civitas Akademika Lemhannas, utamanya para peserta pendidikan, baik yang singkat maupun yang reguler, yang saya cintai dan saya banggakan,

 

Alhamdulillah, hari ini, kita kembali dapat bertatap muka, utamanya untuk mendengarkan laporan dari Gubernur Lemhannas dan presentasi dari peserta pendidikan Lemhannas, atas pelaksanaan pendidikan dan pelaksanaan seminar yang telah Saudara-saudara laksanakan beberapa saat yang lalu. Saya ingin mengawali dengan mengucapkan selamat karena Saudara semua telah dididik di Lembaga Ketahanan Nasional. Dan saya berharap, setelah selesai mengikuti pendidikan ini dan kembali ke wilayah penugasan Saudara masing-masing, apakah di lingkungan TNI, Polri ataupun di lingkungan lembaga negara yang lain, bahkan di dunia politik, dunia bisnis, dunia civil society, ataupun bagi peserta dari negara-negara sahabat, kembali ke negaranya masing-masing untuk mengemban tugas yang makin berat, saya sungguh berharap agar Saudara bertambah sukses dalam pelaksanaan tugas mendatang.

 

Lemhannas adalah sebuah lembaga pendidikan strategis yang penting. Melalui Lemhannas, saya berharap, kita berharap, agar peserta didiknya betul-betul bisa ditingkatkan pengetahuan dan wawasannya, tentu berbagai pengetahuan dan wawasan, karena Saudara akan memasuki posisi-posisi yang lebih strategis. Oleh karena itu, wajib hukumnya untuk bisa mengemban tugas dengan baik, maka pengetahuan dan wawasan Saudara pun dibawa ke sebuah arena yang tentu kompatibel dengan tugas dan tantangan yang akan dihadapi kelak. Lemhannas juga mengajarkan tentang sistem dan manajemen. Sesuatu yang sangat penting dalam pengelolaan kehidupan bernegara, dalam pengelolaan jalannya pemerintahan, termasuk organisasi-organisasi di mana Saudara berada, termasuk organisasi milliter, organisasi kepolisian, dan tentunya pemerintahan sendiri. Melalui Lemhannas, meskipun barangkali tidak selalu langsung, kita juga berharap Saudara dikenalkan, ditingkatkan pemahamannya tentang kepemimpinan. Kepemimpinan pada tingkat senior, senior level leadership, maupun kepemimpinan pada tingkat strategis.

 

Kalau ketika hal itu benar-benar melalui kurikulum, metodologi, dan sistem pengasuhan yang baik, insya Allah Saudara akan siap mengemban tugas apa pun di waktu yang akan datang. Lulusan Lemhannas, itu sebagian dari Saudara akan menjadi leaders, pada posisinya, baik di lingkungan organisasi militer, kepolisian, pemerintahan, maupun di luar itu. Tentu leadership pada tingkat senior, leadership pada tanggung jawab yang lebih tinggi, dan juga sering harus mengambil keputusan-keputusan yang strategic and fundamental. Lulusan Lemhannas diharapkan juga bisa menjadi manajer yang handal. Oleh karena itu, management menjadi sangat penting, mengorganisasi, merencanakan, menjalankan rencana itu, melakukan pengawasan atas semua sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan atau goals secara efektif dan efisien. That is the essence of management. Hakekatnya di situ, dan manakala Saudara kelak, di samping menjadi leader dan juga manager, dan dua-duanya bisa dilaksanakan dengan baik maka itulah yang memang menjadi trademark dari lulusan Lemhannas.

 

Lulusan Lemhannas, Saudara-saudara, nanti juga akan menjadi bagian dari policy making. Kalau menteri adalah policy makers, Panglima TNI, Kapolri, KAS Angkatan misalnya, juga di samping decision makers pada lingkup tugasnya, juga policy makers. Saudara menjadi bagian dari di situ. Oleh karena itu, policy making process harus betul-betul dikuasai, tidak asal-asalan, betul-betul harus bisa dipertanggungjawabkan, logis, benar, dan memang itu policy yang akan kita hadirkan. Seringkali Saudara nanti akan terlibat dalam strategic planning. Tentu juga diperlukan capital untuk itu. How to think strategically. Dengan demikian, strategi yang dikembangkan, kebijakan yang ditetapkan menjadi tepat di berbagai bidang, sekali lagi, apakah di wilayah pertahanan, keamanan, ekonomi, politik, hukum, apa pun, yang menjadi domain dari profesi dan pekerjaan Saudara di waktu yang akan datang. Oleh karena itu, pesan saya, apa yang telah Saudara dapatkan benar-benar dikuasai, bukan sekedar tahu tetapi menguasai kemudian diaplikasikan, dan kemudian dijalankan. Saya yakin, kualitas pemerintahan di negeri ini ataupun di negara-negara sahabat, di mana para peserta akan mengemban tugas nantinya, akan dapat ditingkatkan manakala semua pejabat seniornya itu sungguh menjalankan kaidah-kaidah dalam manajemen dan kepemimpinan yang benar.

 

Saya berkepentingan untuk Indonesia yang terus membangun diri, terus meningkatkan kualitas kehidupan bernegara, dan kualitas pemerintahan yang kita jalankan, membangun good governance, membangun effective government, menegakkan rule of law, mengembangkan democratic values. Pendek kata, tantangan dan tugas yang kita hadapi di negeri ini akan semakin tidak ringan karena tuntutan keadaan, tuntutan rakyat kita juga semakin tinggi. Oleh karena itu, semua itu harus kita jawab dengan bekerja lebih baik sehingga menghasilkan hasil yang lebih baik pula. Ketika saya menyampaikan tadi, perlunya pemahaman yang kuat tentang sistem, tentang management, tentang leadership, itu jangan pernah didikotomikan dan dikontradiksikan dengan sesuatu yang juga penting. Ada yang bilang begini: Ah, ndak perlu itu sistem, manajemen, itu bikin lambat itu, bikin, apa namanya, susah, malah menghalang-halangi sesuatu yang harus kita lakukan. Yang penting kita ini harus berpikir kreatif, berpikir inovatif, berpikir adaptif. Benar, dalam dunia yang terus berubah dan berkembang dalam sebuah kehidupan bernegara dan pemerintahan yang senantiasa menghadapi persoalan dan tantangan, kita dituntut untuk to be more creative, to be more adaptive, to be more innovative. Betul, tidak mungkin kalau kita tidak kreatif, tidak inovatif, dan tidak adaptif bisa mengelola organisasi di tengah-tengah situasi yang dinamis, dan penuh dengan perubahan sekarang ini. Tetapi, ketika itu harus dijalankan oleh sebuah pemerintah, organisasi militer, organisasi kepolisian, apa pun tentu ada koridor, ada kerangka, yaitu kaidah-kaidah sistem dan kaidah-kaidah manajemen.

 

Begini, sebagai contoh, ada satu isu. Isu itu masalah. Ada satu problem, X. Maka dengan cara berpikir yang kreatif, inovatif, adaptif, kita dapatkan solusinya, solutions to problems. Tidak mungkin kalau kita tidak berpikir logis, analitis, kreatif, kita bisa menemukan opsi atau solusi karena seringkali masalah itu begitu delicate, begitu kompleks, dilematic kadang-kadang. But we have to find solutions, we have to find options. Nah, setelah ketemu maka opsi itu bagi sebuah organisasi akan menjadi decision, keputusan. Decision itu akan mengalir, mungkin menjadi instruction atau order, perintah, mungkin akan menjadi policy, mungkin menjadi bagian dari planning dan kemudian dijalankan. Semua wilayah itulah sebetulnya yang akan dijalankan oleh siapa pun pada tingkat leadership, management dan perangkat-perangkat untuk itu pada level yang bersangkutan sehingga jangan, sekali lagi, pernah mendikotomikan antara kedua wilayah itu. Itu one integrated system.

 

Saya ambil contoh. Dunia sekarang ini sedang disibukkan oleh keadaan perekonomian pada tingkat dunia, memang sedang susah. Kemarin saya menerima Direktur Jenderal WTO, World Trade Organization. Beberapa saat yang lalu, saya juga bertemu dengan banyak pemimpin dunia dari Eropa, dari Amerika, dari Asia, Afrika, Amerika Latin, Australia, dan topik kami semua adalah how to solve the global economic recession. Banyak negara yang berjatuhan sekarang ini. Pengangguran ada yang mencapai 25%, bandingkan, alhamdulillah, negara kita, 6 koma sekian. Pertumbuhan ada yang minus atau tumbuh 0% atau tumbuh 0,3%. Alhamdulillah, negara kita masih tumbuh di atas 6%, tahun lalu 6,5%. Belum keadaan finansial, stability of our financial system, banking situation, drop dari ekspor kita karena resesi yang terjadi di banyak negara, dan sebagainya, dan sebagainya. Jika Anda, Saudara-saudara, suatu saat diajak untuk merumuskan bagaimana economic policy Indonesia dalam keadaan seperti ini agar pertumbuhan tetap terjaga, unemployment bisa kita kurangi, poverty bisa kita kurangi, tetapi environment bisa kita jaga, sektor rill tetap mengalir, kemudian debt to GDP ratio terus berkurang, fiscal situation kita bagus, food and, energy, availability bisa dijaga, diperlukan economic policy yang cespleng untuk merespon perkembangan dunia ini. Maka Saudara bisa menggunakan ilmu yang diperoleh di Lemhannas ataupun diperoleh dari mana pun, to find solutions. Setelah ketemu, kira-kira bagaimana tetap menjaga pertumbuhan. Kalau ekspornya drop barangkali kita genjot investasinya, government spending tidak boleh terlalu rendah, meskipun jangan melebihi defisit, dan takaran debt to GDP ratio. Kemudian domestic consumption yang bisa dijaga, kita jaga, yang miskin kita bantu. Subsidi untuk orang miskin itu tidak tabu. Semua itu akhirnya ketemu, misalnya policy z, setelah, ulangi, solution z.

 

Setelah solusi ketemu, opsinya ketemu, maka mengalirlah dalam sistem yang kita jalankan, kebijakan-kebijakan, baik pada tingkat pemerintah, tingkat kementerian, tingkat daerah, yang akhirnya, nationally, secara utuh, kita bisa mengurangi dampak dari pengaruh perekonomian dunia yang sedang susah seraya kita juga terus menjaga pertumbuhan dan semua economic objectives yang telah kita tentukan. Itu contoh. Saya berharap lulusan Lemhannas di situlah kekuatannya, it is your strength, harus berbeda dengan ketika belum memasuki Lemhannas. Itu harapan saya, ajakan saya, dan sekaligus untuk jajaran pemerintah, TNI, dan Polri, instruksi saya untuk dijalankan segera setelah Saudara kembali ke satuan dan wilayah tugas masing-masing. Itu bagian pertama yang ingin saya sampaikan.

 

Sedangkan bagian kedua atau bagian terakhir, saya ingin merespons, tentu tidak terlalu detail, apa yang menjadi hasil seminar yang Saudara-saudara lakukan beberapa saat yang lalu. Kalau saya tangkap tadi presentasi dari dua peserta yang mewakili Saudara-saudara, yang menjadi topik utama adalah politik, sistem politik, dan juga kehidupan politik. Saya melihat Mendagri tidak pernah berhenti mencatat tadi, karena memang lebih banyak urusan Menteri Dalam Negeri.

 

Begini Saudara-saudara, politik itu memang sebuah wilayah atau medan yang luas, banyak sekali faktornya, banyak sekali variabelnya. Bicara politik, kita juga bicara misalkan geopolitik, bicara political economy, bicara politik pertahanan, politik luar negeri, dan sebagainya, itu adalah cabang-cabang disiplin dalam politik yang ketika bersentuhan dengan dunia nyata itu menjadi dunia-dunia tersendiri. Lantas politik itu kompleks semua sudah tahu, politik itu tidak matematis ya, dan kemudian saya mendengarkan rekomendasinya tadi, sebagian besar logis, bagus, tapi sebagian kecil saya harus ingatkan, politik itu bukan domain pemerintah semata. Ada batas kemampuan pemerintah, the executive branch, the president, the government untuk mengelola politik beyond it's capacity, karena memang kompleksitas dan luasnya wilayah politik tadi.

 

Dengan pemahaman awal seperti itu, maka kalau tadi diangkat dua topik, tetapi sebetulnya itu ada intralasinya, ada apa namanya korelasi hubungan satu sama lain di situ yang tentu harus dilihat secara jernih. Saya ingin mengingatkan saja, kalau bicara politik, kita sering bicara sistem politik. Bicara sistem politik sering pula kita menelaah political structure, political culture, political communication, political institution, dan ingat dalam sebuah perubahan politik itu not only yang bersifat struktural, tetapi juga ada yang bersifat kultural.

 

Sering tidak cukup kita tata politik kita, mulai dari undang-undang dasarnya, undang-undangnya, sistem organisasinya, peraturan pemerintah. "Ah begini, politik pasti begini", belum tentu, ada proses lain, ada faktor lain, ada variabel lain yang tidak tersentuh dalam pendataan yang structural. Asalkan tahu saja, bahwa ada begitu banyak elemen atau unsur dalam sistem politik termasuk sistem politik yang kita anut sekarang ini, politik demokrasi multipartai itu, sehingga membawa tantangan tersendiri bagi sistem presidensial.

 

Sistem presidensial itu sendiri perlu diuji apakah masih seperti itu, apakah bukan quasi parlementer atau quasi presidensial dalam praktiknya. Ini wilayah yang luas dan bangsa ini harus duduk dengan tenang berpikir jernih tanpa curiga satu sama lain untuk menelaah kembali. Is this our choice? Yang kita jalankan ini, mulai dari konstitusi sekali lagi sampai jalannya pemerintahan di seluruh Tanah Air itu. Apakah ini semangat reformasi? Sasaran dari reformasi? Atau sepanjang perjalanannya ada bias? Ada distorsi? Ada penyimpangan?

 

Saya selalu mengatakan, bangsa ini bangsa kita sendiri, negara ini negara kita sendiri. Kalau kita duduk bersama dengan pikiran jernih melihat ke depan untuk kebaikan anak-cucu kita, pastilah ketemu. Tentu yang baik-baik kita pertahankan yang ternyata tidak cocok. Ketika kita lakukan perubahan luar biasa pada tahun 1998, 1999, 2000, 2001, jangan malu-malu untuk mengatakan ternyata tidak cocok, ternyata bukan itu yang paling baik untuk negeri kita.

 

Sistem politik akhirnya kalau kita sentuhkan dengan kehidupan yang dijalankan oleh bangsa Indonesia akan mencirikan karena itu tentang pilihan bangsa ini, sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan. Di situ kita akan bisa melihat banyak hal, kalau kita telaah barangkali diperlukan 20 seminar lagi, one by one mau kita lihat satu per satu. Tetapi saya tidak ingin membikin persoalan makin rumit, makin kompleks, mari kita bikin, mari kita bikin secara lebih sederhana.

 

Sebetulnya begini, untuk melakukan review atau evaluasi apakah Undang-Undang Dasar yang telah mengalami empat kali perubahan itu, dengan segala turunannya, itu sudah tepat dan benar dan itu yang menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia. Maka, kita bisa mengajukan pertanyaan seperti ini, apakah pilihan sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar itu telah menghadirkan political stability sebagai prasyarat, precondition bagi dimungkinkannya pembangunan nasional berjalan dengan baik. Pembangunan hakikatnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mari kita uji dengan sistem, dengan tatanan, dengan praktik berpemerintahan dan bernegara ini apakah prakondisi itu telah hadir dan kondusif bagi pembangunan dan jalannya pemerintahan? We are talking about political stability. Kita juga bicara tentang development untuk negeri ini.

 

Dengan sistem dan tatanan yang kita miliki, apa ekonomi kita betul-betul terjaga, tumbuh, makin adil, dan makin merata, growth with equity, sustainable growth with equity, sustainable development, apakah sudah tepat. Tidak perlu kita berperang ideologi di negeri sendiri, rakyat juga tidak paham, rakyat inginnya ekonomi tumbuh, mereka dapat pekerjaan, kemudian kehidupannya dari tahun ke tahun makin baik. Habis waktu kalau kita harus membahas Washington consensus, Beijing consensus, neo liberalism, capitalism, socialism, dan segala macam. Itu penting, tapi tidak harus setiap hari kita bicara itu. Apakah economic policy kita correct? Apakah the real economy tumbuh? Yang lain untuk melihat apakah semua lembaga negara yang ada ini juga bisa berfungsi dengan baik, baik yang bersifat horizontal, katakanlah begitu, atau yang bersifat vertikal, pemerintah pusat sampai pemerintahan yang paling depan? Apakah semua itu well functioning? Kalau well functioning, tidak ada distorsi, tidak ada ekses, tidak ada permasalahan yang fundamental, berarti sudah bagus kita punya sistem, tatanan, begitu.

 

Lantas, ini negara. kita ingin rakyat kita juga menjadi pelaku dalam kehidupan bernegara. Dengan sistem yang kita miliki, dengan tatanan yang ada, apakah rakyat kita cukup bisa berpartisipasi untuk urusan-urusan negaranya, urusan bangsanya, termasuk political participation. Participation and decision making process pada tingkat lokal maupun tingkat nasional. Kalau mereka happy, mereka merasa bisa berpatisipasi, maka a whole system ya itu sudah dalam keadaan baik. Kita sederhanakan dengan sesuatu yang mudah untuk kita ukur, mudah kita dengarkan, pandangan atau feedback atau respons dari rakyat kita, dari masyarakat luas.

 

Nah, dari approach dan perspektif seperti itu tadi setelah saya dengarkan apa yang disampaikan, dari sekian banyak isu, saya ingin melihat empat saja. Pertama, Saudara merekomendasikan, mestinya bukan hanya kepada saya, tetapi kepada rakyat Indonesia, perlunya dilakukan amandemen kelima dari Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah mengalami empat kali perubahan, itu isu pertama yang saya tangkap tadi.

 

Yang kedua, Saudara juga menganggap perlu untuk mengangkat hubungan pusat dengan daerah, dalam sistem otonomi daerah dan desentralisasi yang kita jalankan sebenarnya efektif sejak tahun 2001 yang lalu. Isu yang kedua itu.

 

Sedangkan yang ketiga, Saudara juga menyoroti sebetulnya hubungan antarlembaga negara, eksekutif, legislatif, yudikatif, begitu trias politica ataupun seluruh lembaga-lembaga negara hasil konstitusi yang telah diubah empat kali semua itu, Saudara lihat hubungannya satu sama lain.

 

Nah, kemudian yang terakhir, Saudara menyoroti juga tentang partai politik di Indonesia. Perjalanannya, kiprahnya, dan juga andilnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Mari kita lihat satu per satu. Beberapa bulan yang lalu di Istana Bogor saya bertemu dengan para sesepuh dan purnawirawan TNI dan Polri. Saya kira Saudara mengikuti bahwa sejumlah purnawirawan TNI dan Polri kritis melihat apa yang terjadi di negeri ini dan bahkan dulu pernah ada yang punya pandangan lebih baik kita kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan perubahan. Bahkan, ada unjuk rasa, ada suara-suara Presiden harusnya mengeluarkan dekrit untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen, begitu.

 

Saya sudah menjawab, saya kira Saudara mengikuti bahwa Presiden tidak punya kewenangan konstitusional untuk mengeluarkan dekrit kemudian kembali ke Undang-Undang Dasar yang lain. Saya taat asas, saya seorang konstitusionalis, tidak mungkin melakukan sesuatu yang di luar yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Saya punya buku saku, kemana pun saya akan lihat apakah itu kewenangan saya atau bukan? Hak saya atau bukan? Tugas saya atau bukan. Jadi, kalau ada yang asal ngomong saja, kiri kanan-kiri kanan, kalau ketemu saya duduk dulu, baca ini, setelah itu diskusi kita.

 

Begini Saudara-saudara, eh, saya ulangi. Dalam pertemuan di Bogor itu, pemikiran untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen sudah tidak ada lagi. Saya surprise dan para sesepuh dengan argumentasi yang logis sebetulnya, termasuk Pak Try Sutrisno di situ, Pak Syaiful Sulun di situ, Pak Wismoyo Arismunandar di situ, Pak Awaloedin Djamin ada di situ, banyak waktu itu, yang intinya seperti pemikiran Lemhannas. Ini setelah berjalan 15 tahun almost, hampir, 1998-2012, sepertinya there is something wrong di Indonesia ini. Akhirnya, beliau melakukan analisis dan kajian, ini antara lain berangkat atau mengalir dari Undang-Undang Dasar yang sudah empat kali diperbarui, ternyata menimbulkan masalah, begitu cara berpikir beliau. Saya respons waktu itu, adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan sesuatu, this is freedom of expression, freedom of speech, kalau ada yang mengatakan kok nggak pas, sebagusnya kita lakukan amandemen lagi, jangan buru-buru langsung, wah, ini antireformasi, ini tidak masuk akal, jangan. Marilah kita saling mendengar, kan begitu kebebasan itu, bukan satu orang, satu kelompok boleh ngomong apa saja, setelah itu kelompok lain nggak boleh ngomong, ditinggal pergi, bukan itu budaya politik yang hendak kita bangun.

 

Jadi, kalau ada senior mengatakan seperti itu, dulu waktu saya diminta untuk memimpin dekrit, saya katakan dengan persuasif itu kakak-kakak saya, sesepuh-sesepuh saya dengan bahasa yang tepat, kemudian berlanjut lagi interaksinya sebagaimana saya ceritakan tadi, pemikiran apa pun itu silakan dikemukakan. Dan untuk mengubah Undang-Undang Dasar, meskipun dalam ketentuannya Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan tata cara tertentu, dengan mekanisme tertentu, itu bisa atau mengemban tugas konstitusi untuk melaksanakan perubahan Undang-Undang Dasar tetapi the point is not there.

 

Poin saya adalah tentu tidak bagus Undang-Undang Dasar terus diubah, berubah-ubah dari tahun ke tahun. Alhamdulillah, lima tahun yang lalu, 2004-2009, tidak ada perubahan. Dulu kita minta diendapkan, dievaluasi, di-review, kalau suatu saat akan ada perubahan, itu berdasarkan pemikiran yang matang, kajian yang utuh.

 

Nah, kembali kepada pemikiran tadi, meskipun itu domain dan kewenangan dari majelis permusyawaratan rakyat untuk melakukan perubahan Undang-Undang Dasar, tetapi hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Rakyatlah pemegang kedaulatan yang sejati. Memang tidak ada lagi referendum seperti masa orde baru dulu, tetapi sekali lagi ini konstitusi, Undang-Undang Dasar. Bayangkan kalau setiap saat diamandemen, tiap tahun diubah, seperti apa nanti.

 

Nah, poin saya adalah sama dengan pemikiran Lemhannas tadi, juga yang disampaikan oleh sejumlah pihak yang saya dengar, kalau memang ada pemikiran seperti itu tolong jelaskan kepada rakyat, tolong yakinkan kepada rakyat kita bahwa ada sesuatu yang perlu kita tata kembali dalam Undang-Undang Dasar. Kalau itu ternyata mendapatkan respons yang positif, semua sepakat memang ada yang tidak pas ini, dan kemudian timing-nya tepat, dengan proses yang tepat, maka bisa saja ada amandemen kelima sebagaimana yang disampaikan tadi.

 

Posisi saya di situ, saya akan konsekuen bahwa kehidupan bernegara perlu dijalankan sesuai dengan aturan main yang ada, aturan main baik proses perubahan Undang-Undang Dasar itu sekaligus hakikatnya seperti apa sebuah undang-undang memang perlu dilakukan perubahan. Brain the people in it. Dengan demikian, yang kita lakukan ini merupakan kehendak atau aspirasi dari rakyat Indonesia.

 

Yang kedua, hubungan pusat dan daerah, urusan otonomi daerah. Dulu Saudara-saudara, 1999-2000-2001, ketika negara kita dalam masa-masa yang sangat sulit, semangatnya luar biasa, dekonstruksi, pembongkaran, pembuangan, bikin yang baru, rekonstruksikan yang baru, tidak mudah dalam suasana yang amat emosional, dan psikologi mengatakan kalau kita sedang sangat marah don't make decision, could be wrong, bisa salah, begitu. Tetapi, dulu luar biasa, semangat untuk menjebol, membongkar, membuang, dan akhirnya lahirlah banyak sekali undang-undang struktur, termasuk perubahan Undang-Undang Dasar Komisi A, Komisi B, jumlahnya sekarang puluhan dan tentunya membawa konsekuensi tersendiri dalam menyangkut efektivitas pemerintahan yang sedang kita jalankan.

 

Nah, kembali kepada lahirnya otonomi daerah. Dulu kan ada dua school of thought mengatakan begini lho, Indonesia ini kan sangat majemuk, pulaunya 17.000, identitasnya beragam, yang paling baik ya federasi, negara federal, dan itu datang konsultan dari banyak negara, negara Eropa, negara macam-macam, dan sempat terjual di lingkungan-lingkungan tertentu, bagaimana kalau kita menganut sistem federasi, federal system, sebagaimana negara-negara serikat yang lain. Tetapi ada di antara kita yang die hard, oh, nggak ada itu, begitu kita deklarasikan negara federal, pecah, bubar Indonesia. Dulu kan juga sudah tidak mudah menyatukan Indonesia, tetapi dengan dipilihnya negara kesatuan, unitary system, maka masalah itu selesai. Akhirnya ada kearifan kita semua waktu itu, kita sepakat dengan pertimbangan yang utuh, bijak, maka yang kita pilih tetap negara kesatuan tetapi dengan menjalankan desentralisasi dan otonomi daerah yang luas. Itu sejarahnya sebetulnya, correct choice ya.

 

Nah, tinggal mempersiapkan sebuah otonomi daerah desentralisasi atau devolution di negara-negara barat dulu, itu juga tidak semudah yang kita bayangkan. Ada yang memerlukan waktu 20 tahun, 30 tahun, itu pun masih ada adjustment along the way, masih ada penyesuaian-penyesuaian, perubahan-perubahan. Jadi, menurut saya, kalau kita sadar pilihan yang benar, alasan yang juga benar untuk menjalankan desentralisasi dan otonomi daerah, termasuk desentralisasi fiskal. Kemudian di sana-sini ada masalah, kita lihat dulu, ini ekses atau memang ya sistem itu sendiri yang perlu kita tata, baik undang-undangnya. Setelah kita ketemu, kalau yang ini ekses, ini distorsi karena memang kurang disiplin, kapasitasnya juga kurang, kemudian tumpang tindih, dan seterusnya, berarti it's not the system, bukan itu, tapi implementasinya. Tetapi barangkali juga ada yang itu bagian dari sistem.

 

Nah, kalau kita cerdas, jernih, dan konstruktif berpikir kita, kalau subsistemnya atau elemen dari sistem yang tidak benar ya itu yang kita perbaiki. Tetapi kalau itu ekses jangan buru-buru mengubah-ubah lagi apa yang telah kita susun secara bersama.

 

Oleh karena itu, ini menarik, dan terus terang selama delapan tahun saya memimpin pemerintahan ini memang ada masalah-masalah yang menghambat terus terang, akibat masih ada implementasi yang tidak tepat dari otonomi daerah dan desentralisasi ini. Kita berharap makin ke depan makin bagus, dengan demikian tidak merugi, tidak terkunci pembangunan ini akibat hubungan antara pusat dan daerah yang tidak bagus, termasuk tatanannya, termasuk sistemnya.

 

Saudara mengetahui secara berkala saya bertemu dengan para gubernur, kadang-kadang gubernur plus bupati dan walikota. Untuk apa Saudara-saudara? Saya sebagai leader, baik Kepala Negara ataupun Kepala Pemerintahan, tentu saya ingin berkomunikasi dengan mereka, menyamakan persepsi, ada misi di negeri ini, mari kita jalankan secara bersama dan sinergi antara pusat dan daerah adalah 50% dari keberhasilan, itu riil, itu nyata. Kita tutup dengan cara itu, manajemen sebetulnya, kepemimpinan sebenarnya. Tetapi makin ke depan harus ketemu betul apa yang menyebabkan masih ada hambatan menyangkut hubungan pusat dan daerah, menyangkut implementasi dari otonomi daerah dan desentralisasi.

 

Yang ketiga, Saudara menyebut hubungan antara lembaga negara. Begini Saudara-saudara, ini juga produk dari reformasi, masa orde baru eksekutif sangat kuat, parlemen lemah, parlemen dianggap tukang stempel, apa kata eksekutif, apa kata Presiden, jadilah undang-undang, jadilah kebijakan, begitu. Semangatnya mengubah, mengubur, membuang tatanan seperti itu. Akhirnya, lahirlah beberapa kali perubahan Undang-Undang Dasar. Kalau Saudara cermati, di samping menambahkan hak politik, hak asasi, dan hak sipil dalam Undang-Undang Dasar kita, yang lain adalah mengurangi, merampingkan, melucuti kekuasaan Presiden. Nah, di situ, seraya menambahkan kekuasaan yang lain. Silakan baca Undang-Undang Dasar kita yang sudah empat kali dilakukan perubahan. Persoalannya sekarang, who are the power holders, siapa pemegang kekuasaan di negeri sekarang ini? Dulu tutup mata, Presiden, pemerintah, daerah, gubernur. Sekarang terbagi dan barangkali itu semangat checks and balances, barangkali semangat distribution of power. Semangat power sharing dalam arti yang konstruktif, bukan dagang sapi.

 

Power holders itu ada yang Presiden dengan pemerintahnya, ada parlemen, ada lembaga yudikatif. Sekarang bukan hanya MA tapi ada MK, ada Komisi Yudisial, belum lembaga-lembaga negara non pemerintahan yang banyak sekali jumlahnya sekarang, itu juga power holders. Pers itu juga power holder, pemegang kekuasaan, kemudian NGO, LSM itu pemegang kekuasaan. Nah, akan bagus di negeri ini manakala terjadi checks and balances. Checks and balances hanya salah satu kriteria dari sehatnya kehidupan bernegara. Tetapi all, semua lembaga negara itu harus bisa berfungsi dengan baik, bisa menjalankan tugasnya dengan baik.

 

Kalau Undang-Undang Dasar dengan segala turunannya undang-undang, peraturan pemerintah, misalnya membuat eksekutif tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, barangkali ini kan checks and balances, oke, dari sisi itu. Sisi yang kedua, ada satu simpul yang tidak berfungsi, kurang berfungsi, berarti ini belum bulat, saya maknai seperti itu.

 

Rekomendasi Saudara tadi kalau saya dengarkan satu demi satu, ini seperti ingin membangun kembali keseimbangan, membangun checks and balances, semuanya berfungsi, jangan ini mengambil wewenang tugas dan kewajiban lembaga yang lain sebagaimana dulu di masa yang lalu eksekutif terlalu powerful dan cenderung mengambil yang lain. Nah, sekarang jangan terjadi justru sebaliknya karena dikecilkan, dikurangi, sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik.

 

Belum kita bicara, kita ini masih konsisten tidak dengan sistem presidensial. Apakah kalau kita lihat budaya interpelasi, budaya angket, budaya seperti itu, sudah masuk kita wilayah parlementer, apakah kuasi parlementer, apakah kuasi presidensial. Ini urusan kita, pilihan kita, yang penting jernih, jangan saling curiga mencurigai dulu. Yang penting benar, anak cucu kita menjadi senang nanti karena selama kita melaksanakan transformasi dan reformasi, yang baik kita teruskan, yang ternyata tidak baik kita tata kembali, harus begitu cara melihatnya.

 

Saudara mengatakan, ini saya kutip dari Lord Acton, power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Ini juga indikator. Kalau terjadi banyak penyimpangan, corruption, di lembaga-lembaga X. Ada sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan, dengan power. Marilah kita pastikan power ini terdistribusikan dengan benar dan sehat, akhirnya dia bisa menjalankan tugasnya, eksekutif-eksekutif, legislatif-legislatif, yudikatif-yudikatif, civil society-civil society, katakanlah, pers-pers, dengan checks and balances yang bagus, yang sehat. Ini yang juga menjadi pemikiran banyak kalangan termasuk para sesepuh dan purnawirawan TNI dan Polri agar dikembalikanlah kepada semangat pendiri republik, Bung Karno, Bung Hatta dulu, dan para founding fathers kita. Pilihan kita negara kesatuan, sistem presidensial, apa namanya, negara yang tentram tanpa sebetulnya koreksi kita mengekang kebebasan, tetapi juga menaati hukum, seperti itu.

 

Itu adalah yang ketiga. Saya tambahkan perspektif dari saya, dengan demikian tentu Lemhannas tidak akan masuk pada wilayah policy. Ini lebih banyak academic paper, academic session atas hasil seminar, tetapi bagus sekali, semua pasti mendengar. Kita alirkan saja pada sistem yang berlaku di negeri ini. Dengan demikian, insya Allah pasti sebagian yang Saudara sarankan itu akan membawa kebaikan bagi negeri ini. Buahnya tidak setahun-dua tahun, insya Allah saya akan jatuh tempo 2014, buahnya akan dirasakan setelah itu. Artinya, kalau kita bersama-sama lintas partai politik, lintas, apa, parlemen juga, pemerintah juga, yudikatif juga, daerah duduk bersama, ayolah kita bikin lebih baik lagi negara kita ini agar anak cucu kita makin bagus, itu pahalanya tinggi sekali, besar sekali. Dan saya terus terang sudah lewat ya biarlah menjadi bagian untuk memperbaiki ini, yang penting presiden setelah saya nanti menjadi lebih sukses, lebih bagus kerjanya, lebih jelas kewenangannya, dan kemudian ya semua program akan berhasil, itu yang saya pikirkan.

 

Saya berharap Lemhannas juga begitu berpikirnya, jangan karena orang tetapi karena negara, karena sistem. Politician come and go, tapi the people, the country, the government akan tetap ada. Itulah yang harus kita jaga baik-baik untuk kepentingan semua.

 

Tadi Saudara-saudara menyoroti partai politik. Ya, sebetulnya saya juga orang partai politik. Kalau saya mengkritik partai politik termasuk mengkritik diri saya sendiri, begitu. Saya dipilih oleh rakyat dan memilih saya melalui pemilihan umum, melalui pemilu pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung itu juga domain politik, domain demokrasi. Oleh karena itu, kalau kita introspeksi sebagaimana saya introspeksi pemerintahan, pasti ada yang kurang. Pemerintahan mana pun, presidennya siapa pun, perdana menterinya siapa pun, mesti ada kurang-kurangnya. Demikian juga pemerintahan yang saya pimpin ini tentu juga ada baik-baiknya. Tidak mungkin kalau tidak ada yang baik kita juga mencatat sejumlah prestasi.

 

Nah, kalau pemerintah juga introspeksi, tentu kami yang ada di wilayah partai-partai politik juga harus melaksanakan introspeksi. Coba lihat polling, jajak pendapat dari masa ke masa. Rakyat berpendapat bahwa partai politik sebagai institusi itu mendapatkan penilaian yang tidak tinggi. Silakan dicek dari survei ke survei. Berarti di mata rakyat ada yang perlu dibenahi oleh partai-partai politik dan saya anggap saya juga bagian dari situ, ini misi, nggak usah kita, wah, rakyat nggak ngerti. Tunggu dulu, rakyat sangat ngerti, rakyat merasakan, rakyat melihat, rakyat mendengarkan 24 hours a day, nggak mungkin rakyat nggak punya kontrol, nggak punya hati nurani, nggak punya kepedulian. Jadi kita dengarkan.

 

Partai politik yang makin matang itu fungsinya adalah menyiapkan kader-kader, apakah nanti siap menjadi bupati yang baik, walikota yang baik, gubernur yang baik, presiden dan wakil presiden di masa mendatang, termasuk anggota parlemen, itu fungsi utama partai politik. Sudahkan partai politik kita menyiapkan seperti itu, karena itu domain politik, proses politik, partai politik yang memiliki misi untuk mempersiapkan mereka semua.

 

Yang kedua, setelah masuk dalam di luar election, election bisa nasional, bisa daerah, di luar election partai politik secara tidak langsung juga ikut menyusun undang-undang. Jadi, law making process, ada di situ, juga menetapkan kebijakan, policy making process, apakah representasi dari partai politik itu pada posisi-posisi eksekutif, gubernur, bupati, walikota, presiden, menteri, atau di DPR, di parlemen, di MPR, sebagai law makers. Tentu mereka dengan pemahaman yang utuh tentang negara ini, tentang pemerintahan, dia ikut menentukan. Makin hebat itu kader-kader partai politik yang ada di lembaga-lembaga itu maka undang-undang kita akan makin bagus, policy kita makin bagus, dan seterusnya.

 

Partai politik yang matang yang kita tuju dan harapkan sebetulnya tidak boleh lagi mengusung tema-tema yang ideologis, apalagi yang primordial sifatnya. Yang diusung itu platform, agar kesejahteraan rakyat Indonesia meningkat, kemiskinan terus berkurang, pengangguran terus berkurang, ekonomi tumbuh, negara nyaman, politiknya stabil, hukum dan keadilan tegak, politik luar negeri kita bagus, di mata dunia kita dihormati, kerukunan antar umat beragama jadi bagus, seperti apa platform partai-partai politik yang diusung, yang dibangun dan dikembangkan. Nah, di situ, di situ.

 

Jadi, urusan partai politik bukan sekadar pilkada, pemilukada, pemilihan umum, pemilihan presiden, bukan, lebih luas. Oleh karena itulah, partai politik itu juga pilar demokrasi. Mengenyampingkan atau tidak memerankan partai politik salah karena dialah yang punya wilayah untuk ikut berdemokrasi, ikut berkompetisi dengan cara-cara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar dan undang-undang. Mereka punya hak politik, punya kewenangan, punya medan untuk berjuang di situ. Oleh karena itu, ada yang berpikir sudahlah partai politik kesampingkan saja. Lantas bagaimana pemilunya? Lantas bagaimana pemilihan kepala daerahnya? Pemilihan Presiden? Tunjuk-tunjuk, yang nunjuk siapa? Presidium. Presidium itu apa? Yang memberikan mandat kepada presidium itu siapa?

 

Demokrasi yang benar, rakyat memberikan mandat, itu manakala setelah dihitung dari sekian kandidat, entah tiga calon, dua calon dihitung maka ternyata lebih besar calon x, itulah mandat rakyat jatuh ke situ.

 

Proses rakyat memberikan mandatnya ya dengan election. Bicara election, bicara partai politik. Bicara siapa yang menjadi partai kadernya, kader partai politik. Partai politik ini penting. Oleh karena itu, saya berharap secara internal juga berbenah diri tapi rakyat juga harus meletakkan mereka sebagai bagian dari kehidupan politik dan demokrasi ini.

 

Itulah empat hal Saudara-saudara yang ingin saya sampaikan, memang tentu di luar domain Lemhannas. Ini masih panjang perjalanannya tetapi paling tidak saya senang karena Lemhannas memiliki kepedulian, dan juga pemikiran-pemikiran tentang itu.

 

Itulah, akhirnya selamat sekali lagi, terima kasih Pak Gubernur dan para Dewan Pengarah, para apa namanya Widyaswara, semua atas kerja kerasnya, selamat Saudara-saudara yang akan kembali ke negara-negara lain, sampaikan salam saya kepada your President, your Prime Ministers, congratulation untuk Filipina, ada Filipina?

 

Ada peace deal, peace process. Saya mengucap syukur alhamdulillah, congratulation to my good friend President Aquino, itu historical deal yang patut kita dukung karena selesai secara damai, secara politik sebagaimana kita selesaikan dengan Aceh dulu, setelah 30 tahun ada bloody conflict, saya kira Filipina juga demikian. Once again, congratulation.

 

Saya kira demikian Saudara-saudara, selamat bertugas, sukses selalu.

 

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

 

 

 

Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan,

Kementerian Sekretariat Negara RI