Beberapa tahun terakhir, isu mengenai krisis lingkungan hidup menjadi salah satu masalah yang urgen, kompleks dan penting untuk dibahas. Kompleksitas masalah ini menarik minat saya untuk menawarkan paradigma ekosentris sebagai sebuah solusi jangka panjang bagi keberlangsungan dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Pada dasarnya, ekosentrisme merupakan suatu paradigma yang menyoroti bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik yang sama pentingnya. Alam dan manusia dipandang sebagai dua elemen yang saling terkait dalam satu narasi besar. Untuk itu, keseimbangan ekosistem diperlukan.
Salah seorang filsuf Norwegia, Arne Naess menegaskan bahwa krisis lingkungan hidup yang kita alami saat ini berasal dari kesalahan fundamental dalam cara manusia memahami dirinya sendiri, alam, dan perannya dalam ekosistem secara keseluruhan (Naess, 1989). Perspektif yang keliru ini menyebabkan perilaku yang tidak tepat terhadap alam, di mana manusia salah melihat dan memposisikan diri dalam konteks alam semesta. Inilah akar dari segala bencana lingkungan yang kita alami saat ini. Oleh karena itu kerusakan lingkungan hidup sebagai dampak nyata dari aktivitas destruktif manusia perlu dilawan bersama.
Solusi atas masalah ini hanya dapat ditemukan melalui transformasi yang mendasar dan ekstrem dalam pandangan dan perilaku manusia terhadap alam (Naess, 1989). Kita memiliki kekuatan untuk mencegah kerusakan lingkungan melalui edukasi, kebijakan yang bijaksana, dan aksi nyata.
Foto: BPMI Setpres
Pertama, edukasi. Pendidikan dan kesadaran masyarakat sangat penting dalam upaya ini. Semakin banyak orang yang menyadari akan pentingnya tindakan untuk melindungi lingkungan, semakin besar juga kemungkinan kita untuk menghentikan dan membalikkan tren krisis lingkungan hidup.
Program-program pendidikan tentang lingkungan hidup harus diperkenalkan secara konkret di sekolah-sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Tujuannya ialah untuk memastikan bahwa generasi masa depan memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup tentang masalah lingkungan. Ini adalah langkah awal yang sangat krusial.
Kedua, kebijakan yang bijaksana. Kebijakan yang bijaksana dari pemerintah juga diperlukan dalam upaya menjaga keseimbangan alam dan manusia. Ini melibatkan penetapan regulasi yang ketat terhadap polusi, subsidi untuk energi terbarukan, serta insentif bagi industri-industri yang berkomitmen pada praktik ramah lingkungan.
Foto: BPMI Setpres
Dukungan pada penelitian dan pengembangan teknologi yang berkelanjutan juga harus menjadi fokus utama. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu pemerintah telah memulai langkah konkret dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Komitmen untuk menurunkan emisi karbon, penanaman jutaan pohon, dan investasi dalam energi terbarukan adalah langkah-langkah positif yang patut diapresiasi.
Ketiga, aksi nyata. Langkah terakhir adalah aksi nyata yang harus dimulai dari diri kita masing-masing. Kita bisa memulai aksi bersama dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menghemat penggunaan air, mendukung produk-produk ramah lingkungan, mengutamakan energi terbarukan, dan turut serta dalam kegiatan pembersihan lingkungan sekitar. Itu adalah langkah-langkah konkret yang dapat kita ambil untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Setiap langkah kecil memiliki dampak besar jika dilakukan secara kolektif.
Daftar Pustaka
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Hadapi Krisis Lingkungan, Wapres Dorong Program PROPER sebagai Kompas Praktik Ekonomi Hijau. https://www.setneg.go.id/baca/index/hadapi_krisis_lingkungan_wapres_dorong_program_proper_sebagai_kompas_praktik_ekonomi_hijau. Diakses pada Sabtu, 27 Januari 2024.
Naess, A. (1989). Ecology, Community and Lifestyle. Cambridge University Press
NOAA National Centers for Environmental Information. (2023). State of the Climate: Global Climate Report for 2022. https://www.ncei.noaa.gov/access/monitoring/monthly-report/global/202213. Diakses pada Sabtu, 27 Januari 2024.
Penulis: Yohanes Candra Sekar Bayu Putra Amuna
Pekerjaan/Profesi: Mahasiswa
Instansi/Universitas: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang