Sambutan Presiden RI pada Puncak Acara The 4th World Peace Forum, Bogor, 25 November 2012

 
bagikan berita ke :

Minggu, 25 November 2012
Di baca 755 kali

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA

PUNCAK ACARA THE FOURTH WORLD PEACE FORUM

DI ISTANA BOGOR, JAWA BARAT

TANGGAL 25 NOVEMBER 2012

 



Excellencies,

Ladies and Gentlemen, allow me to speak in Bahasa Indonesia,

 

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati, para Menteri, para Duta Besar negara sahabat, Saudara Gubernur Jawa Barat,

Yang saya hormati, Bapak Profesor Doktor Din Syamsudin,

Yang saya hormati, Bapak Tan Sri Lee Kim Yew,

Para Tamu Kehormatan dari negara-negara sahabat,

Para Peserta forum, baik dari dalam negeri maupun luar negeri,

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

 

Pada kesempatan yang baik dan insya Allah penuh berkah ini, saya mengajak hadirin sekalian untuk sekali lagi memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Subhaanahu Wa Ta'aala, karena kita dapat kembali menyelenggarakan World Peace Forum yang keempat, di Bogor, Indonesia. Untuk itu, izinkan saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada PP Muhammadiyah bersama Cheng Ho Multicultural Education Trust of Malaysia dan The Center for Dialogue and Cooperations Among Civilizations atau CDCC, atas prakarsa dan kerja kerasnya di dalam menyelenggarakan kembali World Peace Forum yang keempat.

 

Semoga dari Bogor ini dapat disampaikan pesan dan ajakan kepada bangsa-bangsa sedunia dan juga kepada masyarakat Indonesia tentang perlunya terus membangun dan memperkokoh terwujudnya dunia yang makin adil, makin damai, dan makin sejahtera bagi semua, bagi terwujudnya demokrasi multikultural yang kuat dan berkelanjutan dan juga bagi terwujudnya kehidupan yang rukun, damai, dan toleran di antara elemen masyarakat yang majemuk. Sesuai dengan visi forum ini, yang Pak Din Syamsuddin telah sampaikan tadi, one humanity, one destiny, and one responsibility.

 

Saya juga ingin menggunakan kesempatan yang baik ini untuk menyampaikan selamat merayakan Milad Akbar Satu Abad Muhammadiyah, kepada Keluarga Besar Muhammadiyah di seluruh Tanah Air dan di mana pun mereka berada, karena banyak Keluarga Besar Muhammadiyah yang mengemban tugas di luar negeri. Atas nama negara, pemerintah, dan selaku pribadi, saya juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Muhammadiyah atas pengabdian, saya ulangi, atas pengabdian dan kontribusinya dalam perjuangan, sebelum dan pada saat Indonesia merdeka, dan juga dalam mengisi pembangunan bangsa setelah kemerdekaan.

 

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, dan selalu berada di depan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Kita menyaksikan ratusan sekolah, rumah sakit, panti-panti asuhan, lembaga-lembaga ke-Islaman didirikan Muhammadiyah di seluruh Tanah Air. Semua itu adalah bukti nyata atas kontribusi Muhammadiyah dalam ikut memajukan dan mensejahterakan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sekali lagi, selamat dan terima kasih.

 

Hadirin yang saya hormati, tema World Peace Forum yang keempat ini adalah, tadi telah disampaikan oleh Pak Din dan Tan Sri Lee, yaitu Consolidating Multi-cultural Democracy. Tema ini saya nilai tepat, penting, dan relevan. Saya baru saja kembali dari Kamboja untuk menghadiri rangkaian ASEAN Summit dan East Asia Summit dan kemudian saya lanjutkan kunjungan satu setengah hari di Pakistan untuk menghadiri Pertemuan Puncak D-8.

 

Mengapa ini saya ceritakan? Dan mengapa tema yang Saudara pilih kali ini relevan? Karena saya beserta delegasi melihat sendiri dan mengikuti perkembangan di banyak negara di Myanmar, misalnya, di Pakistan, di Jalur Gaza, di Syria, di Irak, di Afghanistan, dan di negara-negara lain, yang akhirnya dunia harus sadar, kita harus sadar, bahwa betapa pentingnya perdamaian dan keamanan dunia, dan betapa pentingnya kehidupan demokrasi multikultural yang kuat, yang teduh, yang stabil, dan yang berkelanjutan.

 

Kita pun, Saudara-saudara, menyadari bahwa apa yang terjadi di negeri kita sendiri, di Indonesia, sebuah bangsa yang tengah memantapkan dan mematangkan demokrasinya, sebuah bangsa yang majemuk, maka tema ini pun, kehidupan demokrasi atas bangsa yang plural dan multikultural, itu juga sebuah tema yang tepat dan relevan.

 

Saudara-saudara,

 

Kalau kita menyimak tema itu, maka ada dua kata kunci, pertama adalah demokrasi, demokrasi itu sendiri. Yang kedua adalah kemajemukan budaya, kemajemukan budaya. Mari kita lihat secara ringkas, satu persatu, mengapa saya mendukung penuh pemilihan tema dan pikirian-pikiran yang cerdas dan menjangkau dari forum ini.

 

Pertama-tama, mari kita tengok demokrasi. Saya setuju bahwa no single model of democracy. Tidak bisa kita meng-import demokrasi, mencangkok demokrasi dari negara mana pun, lantas dengan serta-merta kita terapkan dalam kehidupan di negeri kita atau negara mana pun. Dalam demokrasi memang ada nilai-nilai universal, universal values of democracy. Tetapi, selalu ada nilai-nilai lokal, apakah itu nilai agama, nilai budaya, dan kekhasan lainnya. Demokrasi yang matang dan mapan, yang disebut dengan a consolidated democracy adalah juga demokrasi yang tertib dan stabil, bukan demokrasi yang penuh dengan anarki.

 

Esensi utama dari demokrasi adalah partisipasi rakyat. Rakyat tidak ditinggal, tidak dipingggirkan, diajak serta dalam memikirkan dan menjalankan kehidupan sebuah bangsa. Tentu partisipasi rakyat ini ditata dan diatur, misalnya, sesuai dengan sistem politik yang dianut, sesuai dengan Undang-Undang Dasar, undang-undang dan sistem ketatanegaraan, dan sejumlah aturan main atau rules of the game yang berlaku dan disepakati oleh sebuah bangsa.

 

Demokrasi yang kuat dan mapan, biasanya adalah home-ground democracy. Tumbuh di negeri itu, belajar dari masa lalunya, ada pasang surut, ups and downs, kadang-kadang mengalami set-backs, kemunduran. Kadang-kadang memang tidak mudah, ada sebuah painful process, tetapi manakala 10, 20, 30, 40, 100 tahun, maka demokrasi yang home-ground ini akan menjadi demokrasi yang kokoh, yang kuat, dan yang stabil. Demokrasi mestinya membawa kebaikan bersama, the common good of the people. Memang demokrasi memiliki tujuan-tujuannya, dari demokrasi itu. Tetapi ingat, akhirnya demokrasi itu sendiri, sekali lagi, harus membawa kebaikan bagi semua, the common good of the people.

 

Demokrasi sesungguhnya tidak menyukai kekerasan, tidak. Oleh karena itu, demokrasi must be peaceful and civilized, membawa keteduhan, kedamaian, dan keadaban. Itulah nilai-nilai demokrasi yang sejati. Penggunaan kebebasan dan hak politik atas nama demokrasi tetap mematuhi pranata hukum, rule of law, juga etika politik dan norma-norma kepatutan. Tadi Pak Din Syamsuddin juga sudah mengingatkan.

 

Sesungguhnya, Saudara-saudara, tidak ada pertentangan antara demokrasi dengan pembangunan ekonomi, antara demokrasi dengan pembangunan Kita tidak harus memiliih. We can choose both, democracy and economic development. Indonesia, misalnya, dengan segala kekurangan kami, kami bisa membuktikan pada dunia bahwa demokrasi kami makin hidup, makin matang, meskipun belum fully-consolidated, tetapi ekonomi kami terjaga, dan terus berkembang. Dan last but not least, pelajaran Indonesia tidak ada kontradiksi, tidak ada pertentangan antara demokrasi dengan Islam, no, bisa berdampingan secara damai. Agama mana pun saya kira bisa kompatibel dengan demokrasi.

 

Saya menolak suatu tesis, katanya, Islam tidak bisa rukun dengan demokrasi, wrong. Indonesia memiliki tradisi ke-Islaman yang baik, tetapi juga menganut nilai-nilai demokrasi yang juga berlaku secara universal. Itu kalau kita bedah sedikit, what is the meaning of democracy dan demokrasi seperti apa yang kita tuju.

 

Yang kedua mari kita lihat, apa makna dari kemajemukan budaya, multikulturalisme. Saudara tahu bahwa kemajemukan budaya itu dicirikan oleh memang banyak dan beragamnya identitas, agama, etnis, suku, kedaerahan, dan denominasi kultural lainnya, banyak. Kemajemukan bawaan ini, bawaan, di satu sisi adalah rahmat dan kekayaan bagi sebuah bangsa yang majemuk, tetapi, terus terang, to be frank, ini kalau tidak dikelola dengan baik, masyarakatnya tidak punya kesadaran yang tinggi, juga bisa menjadi sumber konflik dan benturan.

 

Banyak negara yang merdeka. Dulu setelah Perang Dunia II selesai, dua pertiga dari negara-negara baru yang merdeka itu adalah negara yang terdiri dari banyak budaya, identitasnya beragam. Hingga saat ini, bangsa itu relatif utuh, tetap bersatu dan rukun. Ada pula yang dulunya rukun dan bersatu, tiba-tiba dalam perkembangan sejarahnya, mengalami konflik dan benturan, bahkan ada yang bubar.

 

Saya pernah bertugas di Bosnia, tahun 1995 sampai 1996, sebagai Komandan Pengamat Militer PBB. Dulu namanya Yugoslavia, sekarang telah pecah menjadi enam sampai tujuh negara. Artinya, ada perubahan sepanjang perjalan sejarahnya.

 

Saudara-saudara,

 

Saya ingin menyampaikan di era globalisasi ini, yang kita tidak sadar ternyata ada penyebaran radikalisme dan ekstrimisme ke seluruh penjuru dunia. Maka, bangsa yang majemuk seperti negara kita, juga menghadapi tantangan dan permasalahannya yang baru, yang tidak boleh kita anggap ringan, yang harus kita kelola dengan bijak, tepat, dan baik.

 

Kesimpulan saya apa Saudara-saudara? Menjaga kemajemukan dan perbedaan not to be taken for granted, tidak boleh, "ah, sudah aman", tidak boleh. Semua pihak, kita semua, saya kira bangsa-bangsa lain juga begitu, harus menjaga kerukunan dan persaudaraannya, sesuai dengan semangat dan komitmen kebangsaan dari negara-negara itu. Itu konklusi saya, baik masalah demokrasi dan masalah kemajemukan budaya.

 

Nah, dari situ, mari kita lihat kemudian, apa tantangan dan imperatif bagi terwujudnya demokrasi multikultural yang mapan, yang consolidated. Saya kembali mengajak untuk melihat demokrasi itu sendiri. Tantangan untuk konsolidasi demokrasi, jadi aspek demokrasinya, bagi banyak negara, utamanya negara berkembang atau emerging nations, tantangan yang dihadapi adalah jika negara itu benar-benar ingin mewujudkan demokrasinya dengan baik, maka bagaimana kita bisa memastikan demokrasi kita ini tetap atau makin tertib dan stabil. Seimbang antara hak dengan kewajiban dan tanggung jawab warga negara. Seimbang antara kebebasan dan kepatuhan pada pranata hukum atau rule of law Setiap perbedaan dan konflik diselesaikan secara damai dan secara konstitusional dalam arti yang luas.

 

Pemilihan umum dan pergantian kepemimpinan dan kepemerintahan dilaksanakan secara reguler, demokratis, dan juga damai. Itu termasuk kematangan demokrasi sesuatu yang kita tuju. Hukum dan keadilan tegak, demikian juga terbangun pemerintahan, tata pemerintahan yang baik, good governance. Demokrasi tidak akan hidup kalau pemerintahannya amburadul, kocar-kacir, kacau-balau. Harus terus kita upayakan pemerintahan kita makin baik, makin baik, di masa depan.

 

Juga diperlukan concensus building, take and give. Politik itu esensinya concensus building, compromised and take and give, karena banyak sekali pandangan idiologis dan kepentingan politik. Itu adalah challenge bagi kita, termasuk Indonesia, untuk mematangkan kehidupan demokrasinya. Ini bisa kita tambah lagi, masih panjang, kalau para peserta konferensi menulis, bisa kita tambahkan lagi.

 

Sedangkan tantangan khusus untuk demokrasi multibudaya adalah perbedaan dan kemungkinan benturan dalam demokrasi bukan hanya karena idiologi, karena kepentingan, karena platform politik, bukan hanya itu. Tetapi juga, benturan, barangkali pertentangan, yang berangkat dari identitas. Artinya, politik pun tidak immune, tidak terbebas, dari kepentingan yang berorientasi kepada etnis, suku, agama, dan kedaerahan.

 

Memang bagi negara yang relatif homogen, tidak terlalu majemuk, apalagi demokrasinya sudah maju, seperti negara di Eropa, Jepang, Korea, dan bangsa-bangsa yang secara budaya relatif tidak majemuk, persoalannya tidak seperti negara yang menganut demokrasi multi-budaya, beda. Nah untuk Indonesia, ini saya baca-baca dari Indonesia, kita bukan hanya menghadapi dua tantangan, tetapi tiga tantangan.

 

Tantangan pertama, sama dengan yang lain, demokrasi kita yang masih berada dalam tahap pematangan. Itu penting disadari, memang belum matang sekali, tetapi we are heading in the right direction.

 

Yang kedua tantangannya keragaman identitas, banyak sekali suku, agama, etnis, daerah, dan macam-macam sehingga demokrasi kita makin kompleks. Sekarang pemerintahan kita menganut otonomi daerah. Daerah juga punya kekhasan, itu juga menambah kompleksitas, dan satu lagi, satu lagi untuk Indonesia, sejak tahun 1998 kita menganut demokrasi multipartai. Bandingkan dengan Amerika Serikat, yang berhadap-hadapan adalah Republik dan Demokrat. Demikian juga partai-partai politik yang tidak terlalu banyak di negara yang lain. Nah, kita, dengan banyaknya partai di parlemen, di mana-mana, maka proses politik itu menjadi panjang dan kompleks.

 

Tetapi begini, bangsa Indonesia, kita semua haruslah bersyukur ke hadirat Allah Subhaanahu wa Ta'aala, Tuhan Yang Maha Kuasa, meskipun tantangannya begini berat, lebih dari negara-negara lain, tetapi bangsa kita selamat dari krisis dulu yang luar biasa kita hadapi tahun 1998 dan tahun-tahun setelahnya, dan, alhamdulillah, reformasi dan demokratisasi yang kita jalankan, meskipun belum rampung, juga terus bergerak ke depan.

 

Kalau sekali-sekali ada setback, ada stagnasi, itu biasa. Dunia juga begitu, Inggris juga begitu, Tiongkok juga begitu. Panjang jalan yang dilewati mereka. Ada yang ratusan tahun, ada yang puluhan tahun. Jangan kecil hati. Insya Allah kita akan sampai pada saatnya nanti, dengan pertolongan Allah, dan dengan kebersamaan kita sebagai bangsa. Tentu masih banyak pekerjaan rumah kita, tentu masih banyak yang harus kita bikin baik di negeri ini, yang harus kita perbaiki. Tetapi, insya Allah, semua itu sesuai dengan semangat kita dan menuju ke arah yang benar.

 

Dengan hal-hal yang saya sampaikan tadi, maka bagian akhir atau bagian berikutnya, kita mesti menjawab pertanyaan: "Bagaimana cara kita menjawab tantangan-tantangan itu?" Tantangan demokrasi yang berkualitas, itu sendiri, tantangan demokrasi dalam kehidupan bangsa yang majemuk, itu sendiri, kalau Indonesia tambah lagi-lah, tantangan demokrasi multipartai.

 

Saudara-saudara,

 

Kita bisa membicarakan semacam ini, Pak Din, Tan Sri, Bapak-Ibu, kita bisa membicarakan prinsip-prinsip dasar seperti apa yang boleh kita anut atau imperatif seperti apa atau code of conduct seperti apa yang boleh jadi, dari Bogor ini, kita, ajak dunia untuk membangunnya basic principles imperatives and code of conduct supaya kehidupan di dunia ini makin damai, kehidupan demokrasi multibudaya juga makin kuat, teduh, dan sustainable. Saya punya pandangan sederhana, dan ini sumbangan saya kepada Pak Din, kepada Tan Sri, dan semuanya, menurut pendapat saya prinsip-prinsip dan imperatif itu adalah, satu, dalam demokrasi multibudaya, semua pihak harus siap menerima perbedaan, termasuk perbedaan yang berasal dari identitas kultural. Siap hidup secara damai dan rukun dalam suasana kemajemukan dan perbedaan itu. Belum lulus ujian kita kalau kita hidup di sebuah masyarakat bangsa yang berbeda agama, yang berbeda suku, yang berbeda etnis, lantas kita tidak bisa hidup baik. Itu mendasar sekali. Kesiapan mental kita, hati kita, mindset kita.

 

Yang kedua, dalam demokrasi multikultural, meskipun kita mesti menerima aspirasi dan pandangan dari suara yang terbanyak, begitu hukum, doktrin, dan etika demokrasi, namun tidak boleh kita mengabaikan suara dan harapan kaum minoritas dari identitas budaya yang berbeda. Tentu semuanya itu diletakkan dalam sebuah keseimbangan dan keadilan yang sejati. Ini mendasar, mari kita belajar menjalani kehidupan seperti itu.

 

Yang ketiga, setiap pihak harus membangun budaya untuk menyelesaikan segala pertentangan secara damai dan berkeadaban, seraya mencegah dan menghindari kekerasan, yang dalam istilah demokrasi, cara-cara kekerasan itu dikatakan uncivilized. Kita tentu ingin menjadi bangsa yang civilized, masyarakat yang civilized, bukan yang uncivilized.

 

Yang keempat, penggunaan hak dan kebebasan tidaklah sampai pada kategori menghina, melecehkan, menistakan nilai dan simbol identitas yang lain. Tidak boleh. Diperlukan tenggang rasa, diperlukan saling menjaga perasaan, hormat-menghormati. Oleh karena itu, bulan September yang lalu saya berpidato di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan di forum-forum yang lain di New York, Indonesia tidak setuju kalau kebebasan itu digunakan secara mutlak, termasuk menistakan agama, agama mana pun, Indonesia tidak setuju. Ada batas-batas kepatutannya, ada batas-batas toleransinya. Satu umat beragama ke umat beragama yang lain, mana pun.

 

Yang kelima, bagi para pemimpin politik dan tokoh-tokoh bangsa dan masyarakat, bila menyangkut kepentingan bangsa, marilah kita berpikir, bersikap, dan bertindak untuk kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok identitas apa pun. Para pemimpin nasional berasal dari identitas budaya apa pun, haruslah adil mengayomi, mencintai, dan memajukan semua elemen dari bangsa itu. Ada istilah politik, saya kira sudah kenal semuanya, loyalty to my country, ulangi, loyalty to my party ends when loyalty to my country begins. Bisa saja loyalty to my identity ends when loyalty to my country begins, when loyalty to humanity begins, ini penting.

 

Yang keenam, yang keenam, untuk menjaga ketentraman, stabilitas, dan keberlanjutan demokrasi multipartai, sangat diperlukan, ini maksudnya multi-budaya, sangat diperlukan sikap, mana tadi ya, pandangan, tindakan, dan teladan, examples, dari para pemimpin politik dan pemimpin elemen masyarakat yang berbeda identitasnya, karena not to be taken for granted, saya katakan tadi, maka para tokoh-tokoh itu, tokoh politik, tokoh bangsa, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, untuk terus menjaga kerukunan, persaudaraan, toleransi, dan menyelesaikan pertentangan secara damai dan bermartabat, bukan sebaliknya, bukan sebaliknya. Kita pernah punya pengalaman di waktu yang lalu, ketika ada konflik, para pemimpin agama duduk bersama, pemimpin masyarakat, pemimpin adat, lebih cepat kita menyelesaikan konflik itu.

 

Last but not least, nomor tujuh, prinsip, norma, dan code of conduct ini juga berlaku pada masyarakat internasional, Indonesia menyerukan itu. Ingat, dunia juga harus memiliki demokrasi yang adil, jangan sampai; Eh negara X, Anda harus punya demokrasi yang bagus. Begitu di dunia tidak demokratis, tidak boleh. Dunia juga harus memiliki demokrasi yang adil. Dunia bukan hanya milik yang kuat, tetapi milik semua. Penggunaan kekuatan militer harus dicegah, dan kita harus lebih mengutamakan diplomasi, Indonesia aktif berdiplomasi sekarang ini dan insya Allah ke depan, sesuai dengan amanah konstitusi, untuk sebuah peaceful solution.

 

Saya senang mendengar perkembangan di Filipina, perkembangan antara Thailand dan Kamboja, Indonesia aktif di situ, perkembangan di Myanmar, menjaga konflik terbuka di Laut China Selatan, Indonesia sangat aktif di situ, kita menyelesaikan urusan kita dengan Timor Leste secara damai, kita menyelesaikan Aceh secara damai, karena Indonesia believe bahwa peaceful political solution much much better dibandingkan military solution, dibandingkan penggunaan kekuatan militer.

 

Kekerasan atas nama agama, kekerasan atas nama agama, termasuk terorisme, juga harus dicegah. Sementara masyarakat dunia juga harus bekerja sama untuk menghilangkan akar dan penyebab timbulnya kekerasan dan terorisme itu. Saya kira dunia, pada saatnya nanti, bisa bersama-sama mengingat korban berjatuhan dari peperangan dan terorisme. Kita menukik mencari akar penyebabnya. Kita atasi itu, insya Allah tidak akan ada hilir blow up peperangan dan kemudian aksi-aksi kekerasan dan terorisme.

 

Ketujuh prinsip itulah, ketujuh imperatif itulah, yang ingin saya sampaikan kepada forum ini dan juga kepada negara-negara sahabat, saudara-saudara kami, karena kita bersatu dalam hati untuk membangun dunia yang makin damai, adil, dan sejahtera.

 

Nah, sebagai penutup, ini penting terutama bagi saudara-saudara kami rakyat Indonesia, meskipun bagi teman-teman negara sahabat, barangkali ada gunanya, khusus prinsip dan imperatif nomor tujuh tadi, yaitu demokrasi multibudaya pada tingkat dunia. Saya ingin menyampaikan apa yang Indonesia lakukan minggu-minggu terakhir ini atas tiga hal yang berkaitan dengan tema kita, yaitu situasi di Myanmar, konflik komunal antara komunitas Rohingya dengan komunitas Rakhine. Yang kedua, upaya Indonesia untuk ikut mempercepat gencatan senjatan di jalur Gaza. Dan yang ketiga adalah upaya kita, sekarang tengah berlangsung, untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan dan peperangan saudara di Syria.

 

Myanmar, begini Saudara-saudara, saya tahu itu konflik komunal, tetapi korbannya cukup besar, saudara-saudara kita, termasuk komunitas Rohingya, yang ada di pengungsian juga masih banyak, fasilitas rumah dan bangunan juga banyak yang hancur. Kemarin di Phnom Penh, Kamboja, saya melaksanakan pertemuan dengan Presiden Myanmar, Thein Sein, ada tiga hal penting yang saya sampaikan.

 

Pertama, teruslah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, teruslah memberikan kemanusiaan, membangun kembali yang rusak-rusak, melindungi komunitas yang berhadapan, utamanya yang paling banyak korban, komunitas Rohingya, karena itu menjadi keinginan banyak pihak dan juga menjadi perhatian umat Islam sedunia. Saya percayakan kepada Presiden Thein Sein untuk terus melakukan itu.

 

Yang kedua, saya sampaikan, agar Myanmar menjaga dan memelihara komunikasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan Komisi Hak Asasi Manusia Dunia, dengan Organisasi Kerjasama Islam dan negara-negara sahabat, termasuk ASEAN, utamanya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Itu yang kedua.

 

Sedangkan yang ketiga, Indonesia akan terus memberikan bantuan kemanusiaan terhadap saudara-saudara kita yang ada di pengungsian itu. Saya senang karena respon Presiden Thein Shein baik, dan kita insya Allah akan terus masuk pada persoalan itu untuk tidak melebarnya kekerasan itu dan segera bisa diatasi.

 

Masalah Jalur Gaza, Saudara tahu, sampai dengan tiga hari yang lalu, sebelum gencatan senjata, situasinya sungguh mencemaskan. Dulu tahun 2008 sampai 2009, peperangan tiga minggu plus satu hari, korbannya ribuan, yang luka-luka ribuan, rumah dan bangunan yang hancur ribuan di Jalur Gaza. Oleh karena itu, kemarin, Indonesia, bukan hanya mengeluarkan statement agar semua pihak segera menghentikan kerusuhan itu, tetapi di Phnom Penh Kamboja, di forum ASEAN, forum East Asia Summit, forum ASEAN dan Amerika Serikat, saya menyampaikan secara eksplisit kepada Presiden Barack Obama, karena sudah terpilih kembali, punya mandat baru, dan Amerika punya kemampuan untuk itu, untuk segera melakukan sesuatu to end the conflict, ada immediate cease fire, gencatan senjata segera.

 

Saya senang karena dalam persidangan itu para menteri juga mendampingi saya. Respon Presiden Barack Obama bagus. Dan akhirnya, singkat kata, ketika saya sampai di Pakistan, gencatan senjata terlaksana. Saya sudah mengucapkan terima kasih kepada Presiden Mesir, Mohamed Morsy, saya mengucapkan terima kasih kepada Perdana Menteri Erdogan, Turki. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Barack Obama dan lain-lain, yang akhirnya bisa menghentikan konflik itu.

 

Harapan saya, harapan Indonesia, situasi ini dijaga, jangan sampai yang sudah damai terjadi kekerasan baru. Perundingan segera dilanjutkan sampai Palestina menjadi negara yang merdeka, hidup berdampingan dengan tetangga-tetangganya di kawasan itu dalam suasana yang damai, sekali lagi, sehingga kawasan itu akan menjadi teduh, damai, dan akhirnya tidak mencemaskan dunia. Indonesia tetap pada pendirian, mendukung kemerdekaan Palestina dengan konsep two state solution, two state solutions, dengan demikian ada solusi yang realistik.

 

Yang terakhir di Syria. Begini Saudara-saudara, kemarin di Islamabad saya bertemu dengan teman-teman, tuan rumah Presiden Pakistan Zardari, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Perdana Menteri Turki Erdogan, dan kemudian Wakil Presiden Mesir, karena Presidennya sedang sibuk menyelesaikan Gaza, diwakili oleh Muhamad Mekki, Mahmoud Mekki, Wakil Presiden. Kami berdiskusi lima jam, tiga jam yang pertama, dua jam sampai malam hari, bagaimana caranya Syria ini segera dihentikan tragedi kemanusiaannya. Tiap hari yang korban puluhan, bisa ratusan.

 

Saya pribadi tidak hanya melihat antara Pemerintahan Presiden Assad dengan oposisi, tetapi saya pribadi mengkhawatirkan bangsa itu, negara itu Syria, yang punya peradaban sejarah yang besar, termasuk peradaban Islam dulu, bisa hancur kalau dibiarkan. Sampai kapan? There must be an end of human tragedy. Caranya? Gencatan senjata. Caranya? Perdamaian. Caranya? Bantuan kemanusiaan. Caranya? Proses politik yang damai. Tidak boleh dibiarkan. PBB belum bisa bersepakat, Dewan Keamanan PBB belum mengeluarkan resolusi, masing-masing sekarang seperti berpihak, saya mengkhawatirkan keselamatan penduduk Syria.

 

Oleh karena itulah kami berdiplomasi, Menlu kita, Pak Marty Natalegawa, sangat aktif dalam hal ini dan insya Allah, dan kemarin di Islamabad, Indonesia diajak serta, meskipun kami bukan di kawasan itu, justru Iran, Mesir, dan apa namanya, Turki mengajak Indonesia untuk bersama-sama ikut menyelesaikan itu. Memang situasinya sudah kompleks, sudah rumit dan ruwet sekarang ini. Tetapi, atas izin Allah, selalu terbuka jalan keluar untuk mengakhiri konflik di Syria itu. Oleh karena itulah, Indonesia terus melaksanakan diplomasinya untuk mencari solusi yang paling baik.

 

Saudara-saudara,

 

Itulah oleh-oleh kami, Pak Din, selama di Kamboja dan di Pakistan, saya kira sejalan dengan semangat forum ini, to create peaceful world, just world, dan prosperous world. Akhirnya, dengan semuanya itu, sebagai penutup, sekali lagi selamat atas penyelenggaraan World Peace Forum ini. Terima kasih atas partisipasi semua dalam forum ini, terima kasih sudah mengunjungi Bogor, Jawa Barat, dan Indonesia.

 

Kepada para peserta dari Indonesia, marilah kita terus bersatu, berikhtiar, dan berjuang untuk mematangkan dan meningkatkan kualitas demokrasi kita, demokrasi yang majemuk ini. Kepada para peserta dari negara sahabat, marilah terus kita jalin tali silaturrahim, kemitraan, dan kerja sama, untuk bersama-sama membangun tatanan dunia baru yang lebih adil, lebih damai, lebih demokratis, dan lebih sejahtera.

 

Demikian Saudara-saudara, terima kasih,

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

 

 

Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan,

Kementerian Sekretariat Negara RI

Â