Sambutan Presiden RI Pd Peresmian Proyek-proyek Infrastruktur di Pacitan, Jatim tgl.16 Oktober 2013

 
bagikan berita ke :

Rabu, 16 Oktober 2013
Di baca 769 kali

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA

PERESMIAN PROYEK-PROYEK INFRASTRUKTUR

DI KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR,

TANGGAL16 OKTOBER 2013

 



Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Om swastiastu,

 

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II,

Saudara Ketua Komite Ekonomi Nasional,

Saudara Direktur Utama PLN,

Yang saya cintai Saudara Gubernur Jawa Timur dan Bupati Pacitan beserta para Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan baik dari unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun dari TNI dan Polri,

Yang saya muliakan para Ulama, para Tokoh Masyarakat, para Cendekiawan, dan Unsur-unsur Masyarakat yang lain baik dari Jawa Timur maupun khususnya Pacitan,

Anak-anakku, para Pemuda dan Pelajar,

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

 

Alhamdulillah, hari ini, kita dapat bertatap muka dan ber-silaturahim dalam rangka peresmian proyek-proyek pembangunan sebagaimana yang tadi dilaporkan oleh Gubernur Jawa Timur dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Oleh karena itu, sepatutnya kita tidak henti-hentinya, patut memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kepada kita semua masih diberikan kekuatan, kesehatan, dan semangat untuk melanjutkan tugas dan pengabdian kita kepada masyarakat, bangsa, dan negara tercinta.

 

Saudara-saudara,

 

Ada tiga tipe manusia. Tipe pertama adalah mereka yang tidak pandai bersyukur, yang sulit untuk berterima kasih, apalagi memberikan penghargaan kepada yang lain yang patut menerima penghargaan itu. Hati dan pikirannya selalu dipenuhi ketidakpuasan, dan terus menyalahkan serta menuding ke sana ke mari. Itu tipe pertama. Saya kira tidak sulit kita menemukan golongan tipe pertama ini di tengah-tengah masyarakat kita.

 

Tipe yang kedua adalah mereka yang pandai bersyukur, tidak pelit untuk mengucapkan terima kasih dan penghargaan, kemudian tidak mudah menyalahkan orang lain karena masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, contohnya, itu memang kompleks. Ibaratnya, mengatasi masalah tidak seperti membalik telapak tangan. Tipe yang kedua ini juga ada di tengah-tengah masyarakat kita. Saya kurang tahu mana yang lebih banyak, tipe pertama atau tipe yang kedua.

 

Ada lagi tipe yang ketiga. Pandai bersyukur dia, pandai berterima kasih dia, mau memberikan penghargaan dia, tetapi tidak pernah merasa sudah puas, sudah cukup karena, "Harusnya kita bisa berbuat lebih banyak lagi, atau bukan harusnya, sementara kita telah mencapai banyak hal tentu, masih banyak hal lagi yang harus kita perbaiki, yang harus kita tingkatkan," sehingga tipe yang ketiga ini, sekali lagi, di samping bersyukur, berterima kasih, memberikan penghargaan, mereka juga bersedia untuk terus bekerja dan berikhtiar, memajukan negara ini di seluruh wilayah Indonesia. Mungkin tipe yang ketiga ini lebih sulit menemukannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Saya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga yang di ruangan ini, termasuk para wartawan, termasuk tipe ketiga.

 

Saya ingin menambahkan satu contoh. Tim sepak bola kita, Garuda Muda Usia 19, itu mengukir sejarah. Saya kira, banyak yang tidak percaya tim kita mengalahkan Tim Korea Selatan. Tadi malam, saya dengar, meskipun saya tidak sempat menonton. Kalau U-19, saya menonton bagian akhir. Kita juga bisa menahan 1-1 dengan tim dari Tiongkok. Itu puncak-puncaknya. Sedangkan U-19 memenangkan banyak sekali pertandingan dengan negara sahabat.

 

Kalau yang menanggapi manusia tipe pertama, "Ah, itu masih belum baik itu. Itu masih begitu. Mestinya bisa 9-0 ya. Coba kalau pelatihnya saya, oh 12-0 itu." Itu tipe pertama. Tipe yang kedua, "Alhamdulillah, syukur, bagus ya," sudah. Nah tipe yang ketiga, bersyukur, "Terima kasih. Garuda Muda, Terima kasih. rakyat. Terima kasih, supporters. Ayo bertahan. Jangan nanti kendor lagi. Terus berlatih supaya kita tetap bisa menjadi juara." Ini tipe yang ketiga.

 

 Oleh karena itulah, Ini saya ceritakan sedikit karena saya lama tidak berkunjung ke Pacitan, Pak, Pakde Karwo. Jadi, pada saat pertandingan antara Korea Selatan dengan Indonesia tengah berlangsung, saya sedang menjamu tamu saya di Istana Negara, yaitu Presiden Korea Selatan. Namanya Ibu Park Geun-hye.

 

Nah dalam sambutan saya, saya katakan, "Ibu Presiden, sebelum saya menyampaikan sambutan, saya ingin menyampaikan berita. Berita ini saya dapatkan dari ADC saya. Apa beritanya? Sekarang ini, sedang berlangsung pertandingan antara Korea Selatan dengan Indonesia." Tegang, berdebar-debar yang mendengarkan, terutama para menteri dan rombongan dari Korea Selatan, karena belum tahu skornya berapa. Lantas saya katakan, "Alhamdulillah, Korea Selatan ternyata menjadi tamu yang baik." Mereka berprasangka, "Jangan-jangan, kalah ini Korea Selatan." "Tetapi Indonesia juga menjadi tuan rumah yang baik karena skornya sekarang 1-1." Tepuk tangan semua di situ.

 

Acara selesai, saya mengantar Ibu Presiden Park, dengan istri, memasuki kendaraan beliau. Balik kanan saya, dikejar oleh Staf dan ADC, "Pak, skornya berubah." "Ah, berapa?" "2-1." "Untuk siapa?" "Untuk Indonesia." "Tenang." Terus, ini sudah malam, sudah malam, saya langsung bersama istri bergabung di ruangan ADC, dengan Paspampres, ADC, Staf, menonton kelanjutan pertandingan Korea Selatan dan Indonesia. Tadinya sempat 3-1, meskipun akhirnya 3-2.

 

Saya harus mengatakan, "Garuda Muda hebat. Kami bangga, kami senang." Tetapi, setelah saya kirim Twitter saya malam hari itu karena saya ingin menjadi tipe nomor tiga dari manusia tadi, "Bangga. Selamat. Bangsa Indonesia bahagia. Anda semua telah mengharumkan nama baik kami," tapi saya tambahkan lagi, berikutnya-berikutnya lagi, "Jangan cepat berpuas diri. Terus jaga prestasi, teruslah berlatih," dan seterusnya, dan seterusnya. Dengan demikian, fair, saya bersyukur kepada Allah, saya memberikan penghargaan kepada mereka, tetapi saya mengingatkan, "Jangan cepat berpuas diri." Dengan demikian, prestasi kita makin bagus.

 

Terima kasih, para Atlet. Terima kasih Menpora, Pak Roy, yang tangannya dingin, karena panen prestasi. Saya kira Saudara juga mengikuti, di Palembang, kita juga menjadi juara dalam Islamic Solidarity Games yang diikuti oleh 44 negara di dunia. Peringkatnya, kalau tidak salah, Indonesia yang pertama, yang, yang kedua apa? Mana yang kedua Mesir, yang ketiga Turki, yang keempat Iran, yang kelima Malaysia bukan? Malaysia ya? Tepuk tangan, untuk yang pertama, tepuk tangan. Baik.

 

Bapak-Ibu, Saudara, Anak-anakku sekalian,

 

Saya mengajak juga untuk bersyukur, berterima kasih, dan memberikan penghargaan atas apa yang telah dibangun selama ini, dan secara khusus, apa yang telah dibangun di Kabupaten Pacitan ini.

 

Begini, kalau soal urusan Pacitan, saya ini profesor. Mengapa? Saya dilahirkan di Pacitan, tepatnya di lingkungan Pondok Pesantren Tremas, Kecamatan Arjosari, kemudian sekolah baik SD, SMP, sampai SMA di Pacitan. SMA saya sekarang menjadi SMA 1 Pacitan. Dan setelah itu, mengembara, memasuki Akademi Militer, dan seterusnya.

 

Setelah saya meninggalkan Pacitan, dulu, setiap tahun, saya kembali menengok kampung halaman. Setelah menjadi Presiden, justru agak jarang, rata-rata dua tahun sekali. Mengapa? Saya harus mengunjungi saudara-saudara kita di seluruh Indonesia, kabupaten-kabupaten lain, provinsi lain, pulau lain yang jumlahnya ratusan. Oleh karena itu, tentu tidak bagus kalau saya terlalu sering ke Pacitan sementara ada yang belum saya kunjungi. Oleh karena itulah, saya minta sabar dulu. Meskipun hati saya dekat sama Pacitan, tetapi saya harus adil, memperhatikan semua saudara-saudara kita di seluruh Indonesia.

 

Nah, ketika tiap dua tahun sekali, sebagai Presiden, saya kembali ke Pacitan ini, selalu ada kemajuan. Kalau orang mengatakan, "Enggak ada kemajuannya. Malah mundur," ya golongan pertama tadi, tipe pertama tadi. Ada kemajuannya. Oleh karena itulah, saya berterima kasih kepada semua.

 

Dulu bus itu hanya satu: DAMRI. Itu pun, kalau pas mogok, ya hari itu enggak ada kendaraan. Dulu saya, kalau ke Madiun atau ke Solo, naik truk. Bawahnya itu kelapa atau kopra. Ada terpal, saya di atas terpal itu mulai dari Pacitan sampai Madiun, atau Pacitan sampai Solo. Begitu perjuangannya. Memang open air, sejuk, asalkan tidak hujan, sejuk, teduh. Lihat bintang di langit, indah itu memang. Di atas terpal itu, 4-5 jam dalam perjalanan.

 

Dulu jalannya seperti apa? Saya, kalau masih SMP, SMA, Pakde, dari Pacitan ke Tulaan, ke Ngadirojo, itu jalan kaki. Demikian juga ke Gunung Limo. Kemudian mau ke Pringgugu, ke Punung, ke Gonorejo, atau ke Tegalombok, ke Nawangan, ke Bandar, itu sudah saya jelajahi semua. Tidak, infrastrukturnya itu batu-batu, begitu. Busnya enggak ada, truknya ya sulit sekali, dan mungkin setiap setengah jam baru lewat kendaraan satu.

 

Saya pernah, ketika masih di militer, berpangkat mayor dan letkol, pulang kampung bersama istri dan kedua anak saya. Kita tebakan. Begitu dari Madiun sampai ke Ponorogo, Slawung, Balong, Slawung. Balong, mana ya? Setelah Ponorogo Balong atau Slawy? Balong baru Slawung? Nah di situ, sama istri, sama anak-anak, kami tebak-tebakan, "Kita berapa ketemu mobil dari situ sampai ke Pacitan?" Ada yang bilang 16, 30. Jadi, masih bisa kita hitung.

 

Coba, sekarang bisa menghitung enggak, berapa motor? Berapa mobil? Tadi sepanjang jalan, ketika saudara kita berbaris, melambai-lambaikan tangannya, menyapa dengan sukacita, saya lebih sukacita lagi. Saya lihat banyak sekali mobil, banyak sekali motor, semua pegang handphone, dan sebagainya. Tentu itu juga kemajuan. Banyak sekali, belum sekolahnya.

 

Saya sekolah di SMA Pacitan itu sambil membuat gedungnya, mengambil batu dari Kebon Agung, membikin genteng dan batanya, itu ke arah Sedeng di apa, di atas sana itu ya, di, Jadi, mau sambil sekolah, sambil bikin gedung. Pelajarannya kepontal-pontal. Saya masih ingat. Kimia itu misalkan lima buku, yang sempat diajarkan 2,5 buku. Harus ujian. Ini berat sekali.

 

Tetapi, itulah dulu perjuangan kita. Nah, kalau kita ingat masa lalu seperti itu, bersyukur kita, berterima kasih kita. Tetapi ingat, perjalanan masih panjang, perjuangan tidak boleh berhenti, dan apa yang telah diraih oleh Pacitan khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya harus terus dilanjutkan.

 

Saudara-saudara,

 

Pembangunan itu sebuah proses. Bahasa Inggrisnya: development is not an event. It is a process. Coba, kita merdeka pada tahun 1945. Presiden pertama kita, Bung Karno, pemimpin yang besar, proklamator. Perjuangannya luar biasa, memimpin negeri ini selama 22 tahun. Tetapi meskipun beliau sudah berbuat segalanya, meletakkan landasan Indonesia merdeka, tugas beliau juga belum selesai. Artinya, 22 tahun kemudian, Indonesia belum menjadi masyarakat yang adil dan makmur, dan tidak mungkin hanya seorang beliau yang harus memakmurkan negara ini.

 

Setelah itu, Pak Harto, Bapak Pembangunan kita. Luar biasa yang dikerjakan, memimpin Indonesia selama 32 tahun. Banyak yang telah dilakukan, tetapi di akhir masa pemerintahan beliau, ya tentu belum terwujud masyarakat adil dan makmur.

 

Setelah itu, masuk era reformasi. Memimpinlah Presiden Habibie. Memang tidak lama beliau, sekitar 1,5 tahun, kemudian Presiden Gus Dur sekitar 1,5 tahun, kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri. Ketiga beliau itu memimpin sekitar enam tahun. Belum tentu menghadirkan masyarakat adil dan makmur.

 

Saya, insya Allah tahun depan, manakala mengakhiri tugas saya, memimpin sepuluh tahun, tentu saya juga belum bisa menghadirkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang diidam-idamkan oleh bangsa kita.

 

Tetapi satu hal, tentu ada kemajuan, ada yang dilakukan, ada yang dibangun baik oleh mendiang Bung Karno, mendiang Pak Harto, Pak Habibie, mendiang Gus Dur, Ibu Megawati, saya, dan pemimpin-pemimpin yang akan datang. Itulah pembangunan. Nah kalau mengerti hakikat pembangunan, maka banyak yang akan menjadi tipe golongan kedua dan tipe golongan ketiga. Tapi kalau tidak memahami apa itu pembangunan, "Payah ini. Kok kita masih kalah sama Amerika Serikat, masih kalah sama Inggris, masih kalah sama Jepang?" Mereka sudah membangun ratusan tahun, Indonesia belum genap 100 tahun. Begitu, Saudara-saudara.

 

Nah, yang saya resmikan hari ini bagian dari kemajuan, bagian dari hasil pembangunan yang kita laksanakan di seluruh Indonesia. Tentu yang saya resmikan kali ini, yang ada di Jawa. Tetapi sering sekali saya meresmikan proyek-proyek yang ada di luar Jawa karena pembangunan itu mesti makin adil dan merata, merata di seluruh Tanah Air, merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas apa yang telah dibangun, yang disebutkan tadi oleh kementerian terkait, oleh pemerintah provinsi baik di Jawa Timur, maupun Jawa Tenga, Banten. Yang kita resmikan hari ini tentu Kabupaten Pacitan dan kabupaten-kabupaten yang lain, Badan-badan Usaha Milik Negara, mitra-mitra mereka. Dan yang tidak kalah pentingnya juga dukungan dari masyarakat luas.

 

Saudara-saudara,

 

Banyak yang mengatakan, "Pembangunan harus adil dan merata." Benar, benar. Tetapi kan tidak cukup dari Presiden sampai Kepala Desa, "Saudara-saudara, pembangunan kita harus adil dan merata." Kalau orang Jawa, "Wis ngerti, lek, wis ngerti." Nah, bagaimana sekarang cara mengaplikasikannya? Tentu, segala sesuatunya kita arahkan ke situ: kebijakannya, programnya, anggarannya.

 

Saudara-saudara,

Kalau ingin tahu, APBN kita, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang setiap tahun kita keluarkan. Dulu, waktu awal saya memimpin negeri ini, jumlahnya masih sekitar 400 triliun. Sekarang, sudah mendekati 1.700, 1.800 triliun. Kita syukuri.

 

Nah, untuk apa? Jumlah segitu itu sebagian memang harus membayar pinjaman kita, pinjamanan yang dipinjam oleh Indonesia sejak dulu kala. Kan harus kita lunasi.

 

Yang kedua, negara kita memberikan subsidi yang tidak kecil. Kita keluarkan dari situ. Sebab kalau tidak kita subsidi, harga bahan bakar sekarang ini mestinya sekitar Rp 10.000. Banyak, belum listrik, belum pupuk, belum benih, banyak sekali yang kita subsidi. Tidak apa-apa, menolong rakyat, asalkan tepat.

 

Nah, yang lain, kita gunakan untuk membangun daerah. Kita alirkan ke daerah sekitar  400 triliun. Itu besar, makin besar. Setelah itu, untuk menggaji pegawai negeri, guru, TNI, Polri, dan sebagainya, kita keluarkan lagi. Nah, baru sisanya itu untuk membangun infrastruktur dan lain-lain.

 

Sementara, komponen yang subsidi tadi juga ada anggaran menanggulangi kemiskinan, mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan keluarga demi keluarga.

 

Nah, kalau Saudara mengerti struktur APBN kita, bagaimana kita mengalokasikan dan mendistribusikan seperti itu, maka sebenarnya pembangunan ini harus adil dan merata, tidak boleh habis untuk bikin jalan, tidak boleh habis untuk bikin infrastruktur, sementara rakyat sulit untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Itulah tantangan, dilema yang harus kita carikan jalan keluarnya dengan bijak dan arif dan tepat agar, sekali lagi, pembangunan kita ke depan makin adil dan merata.

 

Saya suka mendengar, "Pak SBY, ngapain? Sudah, semuanya dikeluarkan untuk infrastruktur saja." Nah, bagaimana saudara kita yang susah? Atau, "Sudahlah, yang penting untuk membantu mereka yang susah. Ini nomor sekian infrastruktur." Kalau tidak dibangun sama sekali, ekonomi kita tidak tumbuh. Kalau ekonomi tidak tumbuh, juga kita sulit mendapatkan pendapatan, yang pendapatan itu nantinya juga untuk rakyat kita.

 

Itulah yang ingin saya sampaikan: kebijakan kita tentang APBN. Oleh karena itu, setiap saya berkunjung ke provinsi di seluruh Indonesia, di kabupaten dan kota, selalu Pak Gubernur, Pak Bupati, Pak Wali Kota, "Minta tolong, Pak Presiden. Prioritaskan ini. Kami tertinggal, kami kurang A, kurang B, kurang C." Saya jawab, "Apa prioritasnya? Nanti kita lihat. Karena kalau harus dipenuhi semua, tidak mungkin. Uangnya enggak cukup." Oleh karena itulah, kita bikin prioritas. Membangun infrastruktur seperti yang kita resmikan hari ini harus disesuaikan pula dengan kemampuan anggaran negara.

 

Saya tidak mau terus-menerus berhutang, apalagi hutangnya jumlahnya besar sekali tidak mau, sebab kalau mau berhutang saja, mungkin banyak yang meminjami utang kita. Kita bangun semuanya serentak di seluruh Indonesia. Tapi apa akibatnya? Makin ke depan, penghasilan kita, dibandingkan dengan utang, itu makin tidak aman.

 

Sekarang ini makin aman. Dulu, pada saat Indonesia mengalami krisis, kalau penerimaan negara ini seperti ini, x triliun, maka tanggungan utang kita itu lebih besar, sampai mencapai sekitar 150%. Artinya, penghasilan kita untuk bayar utang pun tidak cukup. Tahun 2004, setelah krisis pelan-pelan kita atasi, saya memimpin, maka pendapatan kita, dibandingkan dengan utang yang harus kita tanggung, itu jumlahnya 56%, sudah hampir berimbang. Nah sekarang ini, pendapatan negara kita, dikaitkan dengan utang yang ditanggung, itu sudah mencapai 24%. Artinya, pendapatan kita itu seperempatnya, 25%-nya adalah untuk menanggung utang.

 

Itulah, Saudara-saudara. Sekali lagi, sabar kalau para gubernur, bupati, dan wali kota minta dibangunkan jalan, bendungan, bandara, pelabuhan, gedung-gedung, macam-macam, sesuai dengan prioritas yang memang diperlukan oleh rakyat dan kemudian dalam batas kemampuan negara kita. Ini perlu saya sampaikan sekaligus agar kita jelas mengetahui masalah. Jangan mau diprovokasi, jangan mau diagitasi, jangan mau diberikan informasi yang tidak rasional, yang tidak jujur, dan tidak jernih.

 

Saudara-saudara,

 

Kita ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat. Saya kira semua setuju, semua setuju. Bagaimana caranya? Salah satu yang mutlak kita perlukan agar kita bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat, pangan, sandang, pendidikan, kesehatan, perumahan, lingkungan, rasa aman, semua, ekonomi harus tumbuh. Itu syaratnya. Oleh karena itulah, kalau kita menggerakkan ekonomi di seluruh Tanah Air, kalau para gubernur, bupati, dan wali kota berlomba-lomba untuk memajukan ekonomi di daerahnya, itu memang akhirnya dengan ekonomi itu kita ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat. Alhamdulillah, meskipun dunia terus-menerus dilanda krisis, sekarang pun muncul krisis yang baru, tapi pada prinsipnya ekonomi kita masih tumbuh secara positif.

 

Untuk diketahui Saudara-saudara, tahun 1998, ekonomi kita jatuh, krisis besar, krisis yang paling dahsyat di Asia dan juga di dunia waktu itu. Kita bekerja keras. Bangsa ini tidak pernah menyerah, semua. Sepuluh tahun kemudian, Indonesia menjadi negara

G-20, 20 ekonomi terbesar, pada tahun 2008, 10 tahun kemudian, dan sekarang peringkat kita 16. Kalau dihitung dari GDP by purchasing power parity, nomor 15. Anggaplah yang aman nomor 16. Kita syukuri. Di antara negara-negara G-20, tahun-tahun yang lalu, ekonomi kita tumbuh nomor 2 setelah Tiongkok. Yang lain masih di bawah kita. Ini juga perlu kita syukuri.

 

Tetapi ingat, dunia belum aman. Ekonomi kita sekarang juga ada gejolak baru. Akibat kebijakan moneter di Amerika Serikat, itu berpengaruh kepada nilai tukar rupiah kita, berpengaruh pada pergerakan saham. Kemudian dunia yang harga minyak naik dan turun, tapi tetap tinggi, berpengaruh pada harga minyak. Kebijakan pangan di banyak negara berpengaruh pada harga pangan. Jadi, dunia pun belum aman.

 

Di samping dunia belum aman, di dalam negeri pun masih banyak pula yang harus kita benahi, yang harus kita beresi. Masih ada masalah di sana-sini.

 

Oleh karena itu, kalau kita ingin menjadi tipe nomor tiga manusia tadi, kita harus bersyukur. Sepuluh tahun ini, meskipun dunia krisis, ekonomi kita tetap tumbuh baik. Tapi ingat, belum aman benar. Masih ada gejolak-gejolak baru. Mari kita bersatu padu, kompak untuk mengatasi gejolak ekonomi itu, dan agar ekonomi kita tetap tumbuh baik. Meskipun tahun ini, tahun depan tahun politik, tahun depan tahun pemilu, saya menyeru kepada seluruh rakyat Indonesia, para elit, para politisi, para anggota DPR, siapa pun: berkompetisi tentu kita lakukan karena mau pemilu, tetapi jangan bercerai-berai bangsa ini, tetap kompak, tetap bersatu untuk mengatasi masalah ekonomi agar ekonomi kita tetap tumbuh. Dan kalau ekonomi tumbuh, insya Allah kesejahteraan rakyat kita akan terus dapat kita tingkatkan. Itu seruan saya dari Pacitan kepada semua yang mendengarkan pidato ini.

 

Saudara-saudara,

 

Tadi dibilang oleh Pakde Karwo, investasi penting. Investasi Jawa Timur bagus. Terima kasih, Jawa Timur. Terima kasih, Saudara-saudara.

 

Memang, kalau yang tahu ekonomi, ekspor kita sekarang ini di mana-mana menghadapi hambatan. Bukan hanya ekspor Indonesia, ekspor negara mana pun menghadapi hambatan karena pasarnya sedang tidak bagus. Yang membeli berkurang. Kalau kita menjual pun, harganya turun, begitu. Oleh karena itu, agar ekonomi tumbuh, di samping menjaga daya beli masyarakat, di samping memastikan pembelanjaan pemerintah itu mengalir dengan baik, mari kita galakkan investasi di seluruh Tanah Air.

 

Potensinya besar, cuma kadang-kadang yang menghambat itu izin yang berbelit-belit. Banyak daerah yang bagus, seperti Jawa Timur, mendorong izin, izin yang baik. Jangan kongkalikong. Izin baik, investasinya berjalan, ekonomi tumbuh, pengangguran berkurang, kemiskinan berkurang. Banyak seperti itu, tapi banyak pula daerah-daerah yang kurang membikin investasinya bergerak, macam-macam. Merugi, yang rugi juga daerah itu; yang kedua, secara nasional ya negara kita. Ada juga birokrasi di pusat, di Jakarta, yang juga kurang cepat di dalam memberikan fasilitas untuk investasi. Rugi lagi.

 

Jadi kalau kita sadar, di era sekarang ini investasi ini penting, maka bantulah, permudahlah, berikan jalan. Kalau investasi ada, bisnis ada di seluruh Indonesia, mesti ada saudara kita yang bekerja. Yang tadinya nganggur, bekerja. Begitu tumbuh, pajaknya masuk ke negara. Begitu tumbuh, maka barang-barangnya lebih banyak lagi. Kalau barang yang ditawarkan kepada masyarakat lebih banyak, harganya tidak akan naik. Semua mendapatkan keuntungan karena investasi. Oleh karena itulah, saya mengajak pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat luas juga mendukung investasi ini.

 

Pembebasan lahan sering menjadi hambatan. Padahal saya katakan, kalau untuk kepentingan umum, tolonglah memiliki jiwa besar untuk bekerja sama dengan pemerintah. Pemerintah, saya katakan, jangan merugikan rakyat. Kalau harganya x, jangan membeli di bawah x atau jauh di bawah x. Bahkan kalau dari NJOP ada tambahannya yang wajar, itu baik. Tapi ada jalan 100 km, tinggal 2 km, tidak bisa dibebaskan karena yang bersangkutan minta uang 30 kali lipat. Mungkin bukan yang bersangkutan, tapi ada makelar, ada calo. Uangnya lari ke calo itu. Ini yang tidak bagus.

 

Kalau begini masih banyak terjadi di Indonesia, negara-negara tetangga, Vietnam, Tiongkok, segala macam tumbuh, kita terganjal karena urusan-urusan itu. Yang penting, rakyat jangan dirugikan. Bahkan dapat rejeki yang pantas, wajar, tetapi jangan menghambat, jangan membikin tidak bisa berkembang negara kita ini. Ini kerap terjadi di banyak tempat.

 

Ada gubernur, bupati, wali kota yang cekatan, melakukan pendekatan yang baik, akhirnya gol. Tapi ada juga yang macet. Ini yang membikin negara kita bisa tertinggal dengan negara-negara yang lain dalam membangun infrastruktur.

 

Saudara-saudara,

 

Itulah yang ingin saya jelaskan tadi. Kemudian, sedikit sebelum saya akhiri, listrik tadi Pak Wacik sudah menjelaskan. Disamping begini, sejak Indonesia merdeka sampai dengan tahun 2004, listrik kita ini jumlahnya 25 ribu megawatt, ‘45 sampai 2004. Sadar kita, kurang, kurang sekali, maka habis-habisan kita bangun. Tadi dikatakan, jumlahnya sudah 40 sekian, hampir dua kalinya dalam waktu sembilan tahun.

 

Tetapi bukan hanya rumah tangga, Pak Wacik. Pabrik-pabrik berkembang, kemudian dunia usaha, tempat-tempat komersial berkembang. Jalan-jalan lebih banyak yang pingin dialiri listrik. Oleh karena itu, solusinya kita tambah dengan hitung-hitungan yang tepat berapa yang diperlukan oleh rakyat kita, oleh negara kita.

 

Mengapa jalan lintas selatan? Selama ini, lalu lintas di Jawa lebih banyak bertumpu pada jalur utara: suka bikin macet, mudah rusak jalannya. Sebagian lari ke tengah. Pada musim-musim mudik Lebaran, macet pula. Nah, yang belum tersentuh selatan, dan karena belum tersentuh, ya kadang-kadang tertinggal, terbelakang. Oleh karena itulah, tekad kami, sambil membangun jalan lintas Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, maka jalan lintas selatan Jawa itu juga prioritas. Mulai Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Nah kalau memang Gubernur Jawa Timur menginginkan, setelah tembus di sini, bablas ke Trenggalek, ke Tulungagung, Malang Selatan Lumajang, Lumajang, Malang Selatan. Malang Selatan dulu, baru Lumajang, saya kira bagus itu. Silakan di-planning-kan jangka panjang sesuai dengan anggaran yang ada.

 

Saya tadi bicara, "Pak Chairul, coba lihat. Lintas selatankan bagus pantainya indah, jalannya bagus. Insya Allah, akan berkembang wisatanya, kemudian perdagangannya, dan sebagainya."

 

Mengapa akademi komunitas? Banyak bupati yang menginginkan unversitas, banyak. Saya katakan, "Belum tentu baik." Kalau masing-masing kabupaten punya universitas, apalagi kualitasnya belum baik, maka akan ada puluhan ribu atau ratusan ribu sarjana baru yang tidak mudah mendapatkan lapangan pekerjaan. Namanya pengangguran. Orang yang nganggur itu marah, frustasi, dan sebagainya. Oleh karena itu, saya dorong, mbok dibikin akademi komunitas. Kalau di luar negeri, namanya community college.

 

Lulusannya itu justru lebih mudah mendapatkan pekerjaan, karena bekerja sama dengan pihak luar, apakah teknik, apakah jasa, apa pun; cocok dengan keinginan Pacitan, local demand, ataupun yang lebih luas lagi. Bangunlah akademi komunitas sebanyak-banyaknya di Indonesia, dan Pacitan adalah yang pertama yang diresmikan oleh pemerintah kita. Kalau tidak salah, lulusannya sementara D I dan D II ya.

 

Mengapa air minum? Di Indonesia ini, banyak daerah yang sulit air minum. Di gunung itu, dulu, para Menteri supaya tahu, ngambil air minum bawa ember bisa 3 kilo itu. Begitu sulitnya. Demikian juga daerah-daerah yang lain, Pantai Selatan Jawa Tengah, kemudian Jawa Timur, di Lombok, di NTB, maksud saya. Di banyak tempat, banyak yang sulit air minum. Itulah yang kita ingin tingkatkan dari tahun ke tahun.

 

Mengapa rumah? Ya rumah, bagi yang golongan menengah, bisa beli bagi yang bawah, sementara belum bisa beli, ya harus kita bangun rumah susun sederhana, rumah susun sewa, atau rumah-rumah sederhana yang lain yang bisa dibeli dengan harga yang murah oleh rakyat kita.

 

Mengapa olahraga? Kalau kita malas olahraga, kita tidak mengembangkan olahraga, menjadi bangsa yang keok, kalah di mana-mana. Tapi kalau kita mengembangkan olahraga, pastilah lima tahun lagi, sepuluh tahun Indonesia akan berjaya, Merah Putih berkibar di mana-mana, Indonesia Raya berkumandang di mana-mana.

 

Orang yang senang olahraga sportif, tidak curang, tidak jahat, tidak mengeluarkan fitnah, tidak mengeluarkan kabar-kabar yang tidak benar. Sportif jiwanya. Kalau pemilu, ya siap kalah, siap menang. Itu bisa berangkat dari olahraga: sehat badan, sehat jasmani, sehat rohani, bikin prestasi, mendidik karakter yang baik.

 

Kemudian, mengapa agama? Tiang kehidupan kita. Kalau di Indonesia ini masjid, gereja, pura, kemudian wihara, tempat ibadah agama mana pun itu selalu didatangi oleh umatnya, beribadah dengan khusyuk, memohon pertolongan Tuhan, ingin berperilaku yang baik, Indonesia akan menjadi masyarakat yang baik, the good society, tidak mudah serang-menyerang, bakar-membakar, hujat-menghujat karena teduh hatinya, mereka dekat dengan Tuhan, mereka sering beribadah.

 

Meskipun belum saya rumuskan, wisata penting. Pacitan ini punya masa depan wisata yang luar biasa. Kemarin, saya ke Pantai Klayar; besok, insya Allah, ke Gua Gong. Saya pernah ke Monumen Panglima Soedirman di Pakis Sawangan. Banyak sekali. Tadi saya lewati, indah benar. Ayo kita bangun. Tentu jalan menjadi penting, listrik menjadi penting, keramahtamahan masyarakat Pacitan menyambut wisatawan menjadi penting, dan sebagainya.

 

Hutan mengapa saya titip? Dulu, Pacitan itu, kalau saya jalan dari Pacitan menuju ke Bringkuku, Gunung, terus ke kiri Tontro, Wonogiri, lantas menuju Wonosari, sampai Yogya, itu kering kerontang, tandus, gersang. Dengan tahun-tahun terakhir kita melakukan penghijauan, sebenarnya sudah hijau hutan-hutan di situ. Pelihara dengan baik. Dan ini semua ada di sini menterinya, ada Menteri Pekerjaan Umum, ada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ada Menteri Pemuda dan Olahraga, ada Menteri Kehutanan, dan tentunya Mensesneg, dan Menseskab, ada Ketua KEN. Saya berharap model begini mari kita bangun di seluruh Indonesia, bukan hanya di Pacitan, tapi di seluruh Indonesia.

 

Saudara-saudara,

 

Itulah yang ingin saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini, dan saya tadi melihat banyak sekali drum band sepanjang jalan sejak kemarin, klotekan, lantas kuda lumping, reog, music band. Ini memang, kalau dianggap pekan, istilahnya apa,  pekan pesta apa? Pesta kesenian rakyat, cocok. Saya ikut, ikut bahagia, ikut bangga. Ternyata, seni budaya juga berkembang di Pacitan; belum batiknya yang makin baik. Dulu, saya di SMA juga main band seperti anak-anak kita seperti itu.

 

Teruslah dikembangkan seperti itu karena lengkaplah sudah, kalau masyarakat senang berolahraga, masyarakat senang berkesenian, masyarakat senang belajar, tapi juga dekat sama Tuhannya, maka masyarakat kita, Indonesia kita, akan menjadi masyarakat dan negara yang unggul, mulia, dan berakhlak baik.

 

Dengan pesan dan harapan itu, maka dengan terlebih dahulu memohon ridho Allah SWT, dan dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, proyek-proyek pembangunan yang telah kita selesaikan pembangunannya, baik yang ada di Pacitan, maupun yang ada di kabupaten-kota Jawa Timur yang lain, dan juga di Jawa Tengah, dan di Banten, dengan resmi, saya nyatakan dimulai penggunaannya. Terima kasih.

 

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

 

 

Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan,

Kementerian Sekretariat Negara RI