Sambutan Presiden RI Pd Silaturahim dg PPWI di Banjarbaru, Kalsel tgl. 23 Okt 2013

 
bagikan berita ke :

Rabu, 23 Oktober 2013
Di baca 763 kali

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA ACARA

SILATURAHIM DENGAN PENGURUS PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA

DI BANJARBARU, KALIMANTAN SELATAN

TANGGAL 23 OKTOBER 2103

 

 

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Bapak, Ibu, Saudara-saudara yang saya cintai,

 

Alhamdulillah, hari ini kita dapat kembali bertatap muka dan meneguhkan tekad kita untuk bersama-sama membangun negeri ini ke arah yang lebih baik. Tentu sesuai dengan peran dan tugas kita masing-masing. Sebelum saya menyampaikan apa yang hendak saya sampaikan, ada beberapa catatan saya, yang pertama, saya ingin berbicara lebih terbuka pada sore hari ini, sehingga minta maaf kepada panitia kalau waktu yang saya gunakan sedikit lebih lama dibandingkan kalau hanya sambutan-sambutan yang sifatnya normatif, yang semua orang sudah tahu. Meskipun saya tidak akan membicarakan terlalu banyak materi atau subtansi yang akan diseminarkan oleh Saudara semua, itu yang pertama.

 

Yang kedua, setelah 9 tahun saya menerima dengan ikhlas kritik yang diberikan kepada saya oleh pers, oleh pengamat, oleh politisi melalui media massa, dan itu penting, tanpa itu barangkali saya tidak bisa bertahan hingga tahun ke sembilan, dan insya Allah akan mengakhiri tugas saya akhir tahun depan. Namun pada sore hari ini izinkan saya, juga ingin menyampaikan sejumlah kritik. Nah biasanya, atau jangan-jangan pihak-pihak yang saya kritik malah tidak ada di sini.

 

Ini ada contoh, saya 30 tahun hidup di lingkungan Tentara Nasional Indonesia, biasanya, komandan itu kalau ada yang nggak beres, misalkan ada satu kompi malam minggu meskipun libur, diatur. Kalian boleh pesiar sampai jam dua belas malam, setelah itu kembali lagi karena siapa tahu ada tugas, subuh hari atau esok harinya. Pesiarlah kompi itu. Kemudian tepat jam dua belas komandannya mengambil apel, kumpul, dicek ternyata ada dua orang yang terlambat. Nah, komandan marahnya luar biasa, setengah jam dimarahi, setengah jam dihukum. Nah yang dimarahi, yang dihukum yang tidak salah, karena tidak terlambat. Marahnya karena terlambat, yang terlambat malah selamat tidak dihukum. Jadi kalau dalam kritik saya nanti Bapak-Ibu merasa, saya nggak begitu, bukan saya, bukan saya, ya anggaplah contoh tadi itu.

 

Catatan yang ketiga, yang terakhir, kalau kebanyakan mukadimah kapan nanti batang tubuhnya. Saya protes sama Mas Margiono, waktu mengumumkan Kabinet PWI, saya mendengarkan dengan baik, dan saya tidak pernah mengumumkan sebelum Presiden PWI mengumumkan. Tetapi, tahun 2004-2009 sebelum saya mengumumkan Anggota Kabinet, media massa kita, koran, majalah, televisi, radio mengumumkan habis, calon Menkopolkam, satu Joko Suyanto, dua ini.

 

Apa yang terjadi? Mereka yang tidak saya angkat marahnya sampai sekarang. Ini saksi, dalam buku yang akan saya luncurkan sebentar lagi, masuk masalah ini, betapa saya dimarahi, dibenci, dimusuhi oleh mereka-mereka yang sudah beredar namanya dalam media massa. Begitu. Dan tragisnya pernah diwawancarai, "Bagaimana bapak nanti kalau terpilih? Saya bersyukur, saya siap mengemban tugas". This is true story, true story, begitu namanya tidak ada SMS-nya kasar sekali, "SBY, Anda jangan mempermalukan saya,  tidak baik seperti itu". Marahnya habis-habisan, berbulan-bulan marah sekali, sekarang agak lumayan, karena sudah diwawancarai, sudah masuk beredar susunan kabinet waktu itu. 2009 terjadi lagi, reshuffle juga begitu.

 

Ok, saya tidak pernah mendahului pengumuman Presiden PWI, saya baru tahu hari ini siapa yang, apa namanya, pembina, kehormatan, pengurus dan semua perangkat yang ada. Saya ucapkan selamat kepada Bung Margiono dan Bung Ilham Bintang, dan semua yang akan mengawaki PWI lima tahun mendatang. Ingat PWI memiliki peran yang luar biasa, you are so powerful now. Oleh karena itu, gunakan power dengan sebaik-baiknya. Dulu, barangkali yang powerful itu Presiden, sebelum reformasi. Maka nasihatnya, "Eh Presiden, Anda mempunyai power yang luar biasa. You are the most powerful person in this country. Jangan ada abuse of power". Nah, sekarang barangkali tidak lagi Presiden karena powerholders-nya sudah terdistribusikan. Sebagaimana yang saya sampaikan pada Hari Puncak Pers di Kupang beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu selamat, sukses, jadilah organisasi kewartawanan yang membawa angin segar, yang membikin negeri ini makin ke depan makin baik.

 

Saudara-saudara,

 

Yang ingin saya sampaikan ini tiada lain sebuah refleksi, Pak Gubernur boleh disebut refleksi Banjarmasin, dan ini satu tahun terakhir saya mengemban tugas. Hari ini, tahun depan, bukan hari ini, tanggal seperti sekarang ini tahun depan, 23 Oktober, sudah ada Presiden baru yang sudah tiga hari memimpin kita semua nantinya. Oleh karena itu, kalau saya menyampaikan apa yang saya sampaikan ini anggaplah babak akhir dari tugas saya untuk memimpin negeri dan pemerintahan ini, yang nampaknya secara moral saya ingin berbagi dengan Saudara semua. Dan lebih tepat kalau urusan demokrasi, urusan kemerdekaan pers, urusan peran media, ya kepada yang hadir di ruangan ini, karena komunikasi kita akan bagus, kita memahami betul apa yang terjadi di negeri ini today dan kemudian tommorow. Singkatnya, saya mengajak berbicara dari hati ke hati. Mungkin yang saya sampaikan nanti, tidak semua, satu dua hal yang ingin saya sampaikan kalau boleh disebut kritik ya kritik, itu mewakili jutaan rakyat Indonesia yang memiliki perasaan yang sama, pikiran yang sama, usulan-usulan yang sama bagi Saudara, bagi kita semua.

 

Saudara-saudara,

 

Saya pernah bicara rasanya, karena tahun 1998-1999 saya juga menjadi salah satu pelaku sejarah reformasi. Pertama-tama menyusun paradigma, blue print serta agenda reformasi TNI, masih berbicara ABRI waktu itu selama 2 tahun, bersamaan dengan itu karena saya menjadi Ketua Fraksi ABRI MPR RI. Selama 2 tahun lebih itu saya juga ikut dalam menyusun gerakan pertama reformasi nasional kita. Sehingga, kalau berbicara reformasi kita berada dalam satu perahu. Oleh karena itu, patut kalau saya sampaikan bagaimana kita melangkah ke depan ini, setelah mengingat apa yang hendak kita tuju ketika kita bersama-sama ingin melakukan perubahan maha besar di negeri tercinta ini.

 

Waktu itu saya ditanya, "Kalau ada dua pilihan, pilih mana, ada kemerdekaan pers atau tidak ada kemerdekaan pers?" Banyak contoh di dunia, katanya sebuah negara yang menganut paham otoritarian atau semiotoritarian, pepat persnya tidak begitu merdeka, justru berhasil, politiknya stabil, ekonominya maju, begitu teorinya. Tapi kalau, katanya negara demokrasi persnya bebas sebebas-bebasnya, katanya, malah tidak stabil, ekonomi tidak jalan, itu pandangan yang berbeda.

 

Saya pribadi, dalam tulisan saya tahun 1998 juga ada, saya memilih ada kebebasan pers, bagaimanapun, bagaimanapun, apakah ada ekses, ada sesuatu yang merupakan cost dari kemerdekaan pers tetapi sebuah bangsa, sebuah negara, sebuah demokrasi, sebuah society, kalau memiliki kemerdekaan pers pasti jauh lebih baik. Berpasangan dengan itu pertanyaan kedua adalah setuju tidak, kalau pers itu diatur dan dikontrol, ini sama dengan Bung Margiono tadi. Saya tidak setuju. Karena kisah masa lalu kita sebelum 1998, ya kemerdekaan pers did not exist. Kemudian terlalu banyak kontrol kekuasaan terhadap pers dalam berbagai bentuk. Muaranya adalah krisis yang terjadi pada tahun 1998.

 

Itulah dua hal penting yang merupakan perjuangan kita pada saat awal reformasi dulu. Alhamdulillah, keduanya telah hadir sekarang ini: there's a freedom of the press and there's no control of the government over the press. Dua-duanya telah kita capai, dan ini monumental, ini historical. Terima kasih kepada para pejuang reformasi, terima kasih kepada para mahasiswa, terima kasih kepada semua yang ingin melakukan perubahan atas banyak hal yang kita anggap menyimpang dalam kehidupan bernegara kita 15 tahun yang lalu itu.

 

Saudara-saudara,

 

Sejak itu, sejak tahun 1998 pers kita merdeka, sungguh merdeka. Nah sekarang, setelah 15 tahun berjalan, saya tidak perlu memotret. Saudara punya hasil rekamannya masing-masing, apakah itu snapshot, foto, ataupun itu semacam motion picture, tahun demi tahun sejak 1998 sampai 2013, fifteen years. Dan itu bagian dari perjalanan sejarah kita, dan saya tidak perlu menjelaskan karena kita semua merasakan, kita mengetahui bahkan kita ikut menciptakan sejarah itu. We are all creating our own history, termasuk our own democracy. Nah, kalau sekarang muncul dua pertanyaan dalam suatu proses dialektika sejarah, biasanya ada tesa, ada antitesa, ada sintesa. Dua pertanyaan yang muncul adalah sekarang, mana yang paling baik kemerdekaan pers itu disertai tanggung jawab atau tidak, freedom for the sake of freedom? Semua bisa menjawab, jawabannya yes, mesti harus ada responsibility. We know all that, kita tahu semuanya, tapi relevan untuk sama-sama berintrospeksi kita.

 

Ingat ya, bahwa bukan hanya power, kekuasaan yang cenderung untuk disalahgunakan. Saudara sudah tahu, saya sering mengatakan Lord Acton menyebut bahwa a power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Ini terjadi di negara mana pun juga di dunia. Tapi, ada wise saying yang lain, kebetulan saya akan cantumkan dalam buku saya yang bulan depan insya Allah akan selesai, not only power, liberty too can corrupt. Jadi kemerdekaan, kebebasan yang melampaui batas itu bisa corrupt, bisa disalahgunakan maksudnya. Absolute liberty can corrupt absolutely. Merasa bebas, dia bisa menyerbu komunitas lain, bisa menyerang pihak-pihak lain on behalf of freedom. Salah, liberty too can corrupt.

 

Pertanyaan yang kedua adalah, "Dalam pers yang merdeka, apakah makin diperlukan etika dan standar jurnalisme yang makin baik?" Semua tahu jawabannya yes, dan saya tahu PWI dari tahun ke tahun kita bertemu di Palembang, kita bertemu di Kupang, kita bertemu di Jambi, kita bertemu di Manado, Bapak selalu mengatakan langkah-langkah PWI untuk melakukan pendidikan jurnalistik, etika jurnalisme. Saya ucapkan terima kasih dan penghargaan, karena itu pertanyaan yang relevan sekarang ini.

 

Begini Saudara-saudara, mengapa di era sebelum reformasi saya ajukan dua pertanyaan tadi, dan kemudian sekarang di era reformasi saya ajukan perangkat pertanyaan yang lain. Pers sekarang ini dengan perannya yang makin mengemuka, dengan kekuasaannya power yang makin besar, itu memiliki dampak yang sangat dahsyat pada kehidupan masyarakat, juga terhadap masa depan demokrasi kita. Dari sini, saya ingin berbagi cerita yang paling akhir.

 

Nah, dengan story telling ini, saya mengajak sekali lagi, coba kita renungkan sebagai suatu refleksi dan kontemplasi. Apa itu? Berita sekitar Kapolri baru. Kemarin dalam perjalanan saya dari Jakarta ke Jogja, dan ke Banjarmasin ini saya sibuk, karena saya harus menerima berbagai berita, informasi dari sejumlah kawan. Intinya, beberapa media mengangkat isu ini, not all, satu, dua, tiga. Point medianya ada, broadcast medianya ada, internet social medianya juga ada. Jadi kesimpulannya ada. Apa yang diberitakan? Dibangun keadaan atau isu, atau berita, bahwa sebenarnya Komjen Sutarman itu tidak diusulkan oleh atasannya, alias tidak diusulkan oleh Kapolri tetapi SBY di lobi oleh seseorang, akhirnya muncullah nama Sutarman. Begitu. Dan berita ini diangkat, ditangkap, kemudian diberitakan, dibaca oleh jutaan orang kita, setelah Komjen Sutarman menjalani fit and propert test oleh DPR RI. Yang saya pantau, DPR RI konon cenderung untuk menyetujui usulan Presiden terhadap pengangkatan Komjen Sutarman itu. Itu berita dan cerita yang dibangun.

 

Apa yang sesungguhnya terjadi? Saya tidak harus menceritakan ini, karena saya bekerja dengan dan melalui sistem. Kalau saya ceritakan semua, tidak bekerja, saya tidak bisa tidur karena setiap hari, berjam-jam saya menceritakan kepada rakyat, bagaimana saya mengambil keputusan, bagaimana menetapkan kebijakan, bagaimana memberikan instruksi atas banyak hal dalam negeri, luar negeri, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, hubungan luar negeri, keamanan dan sebagainya. Tapi, karena tiba-tiba muncul dalam percaturan masyarakat luas, maka rasanya saya perlu menyampaikan cerita yang sesungguhnya, ok.

 

Seperti biasanya, sesuai dengan undang-undang, sesuai dengan aturan, maka yang mengusulkan nama Kapolri adalah satu, Kompolnas yang kebetulan ex officio Ketua Kompolnasnya adalah Menkopolhukam, ada di sini. Secara tertulis mengajukan usulannya kepada Presiden. Yang kedua, sebagaimana mengusulkan KSAD, KSAL, KSAU, dan juga Panglima TNI, sebelum saya putuskan dan saya bawa ke DPR RI, maka Panglima TNI yang mengusulkan. Nah Kapolri juga begitu. Kompolnas mengajukan empat nama di antaranya ada Komjen Sutarman. Kapolri mengajukan empat nama, di antaranya ada Komjen Sutarman. Kebetulan empat nama itu sama, jadi gugurlah sudah cerita yang dibangun, bahwa Sutarman itu tidak diusulkan oleh Kapolri, tidak diusulkan oleh Kompolnas, kok tiba-tiba dipilih oleh SBY.

 

Hanya untuk membangun cerita ada seseorang yang melobi, yang datang ke SBY agar calon itu digolkan. Sutarman peringkat pertama yang diusulkan, senioritas dan lain-lain. Jadi dari situ sudah, sudah patah argumentasi yang sekarang ternyata dibeli. Penetapannya pun melalui satu proses, ada saya, ada Wakil Presiden, ada Menkopolhukam selaku Ketua Kompolnas, ada Kapolri sendiri, ada Mensesneg, ada Seskab dan KaBIN. KaBIN harus melaporkan apakah ada catatan-catatan menyangkut banyak hal lah, kejahatan, kepribadian dan segala macam, begitu.

 

Setelah Ketua Kompolnas menyampaikan, setelah Kapolri menyampaikan, saya persilakan yang lain memberikan tanggapan, pandangan dan usulannya one by one termasuk Wapres. Setelah itu baru saya putuskan, ok, sesuai dengan usulan Kompolnas, sesuai dengan usulan Kapolri, sesuai dengan pandangan semua, saya putuskan dan saya setujui Komjen Sutarman untuk menjadi calon Kapolri. 

 

Memang ada pihak-pihak yang menyampaikan kepada saya dengan cara yang berbeda-beda, agar saya mengusulkan nama-nama yang lain. Justru ini yang partikelir. Yang diusulkan ada yang tidak masuk enam, empat nama itu, ada juga yang masuk empat nama itu. Saya, selama sembilan tahun tidak bisa model begitu, harus terang, harus akuntabel berdasarkan sistem, dan itu sejarah. Oleh karena itu, ini ketika digulirkan melalui sejumlah media massa, bagus sekali bagi saya untuk entry point, untuk bicara lebih dalam hari ini.

 

Pertama, sayang sekali tidak dilakukakan cross-check terlebih dahulu kepada pelaku-pelaku pengambilan keputusan, ya. Saya prihatin karena isu ini dibeli oleh masyarakat, not all, tapi pasti ada yang membeli. Yang dituduh melobi saya stress sekarang, kita tersenyum tapi kalau yang stress kita? Bapak-Ibu yang jadi korban? Malu sama yang lain, kok dianggap aneh-aneh begitu sama anak, istri, keluarga, orang tua, ini victim sudah terjadi, korban sudah ada. Internal Polri bisa kacau balau, wah ini ternyata kok diusulkan, siapa ini? Bisa, ya harus kohesif, organisasi itu bisa terganggu dengan berita itu. Kalau kita teruskan, politik juga bisa gaduh oleh sesuatu yang tidak ada, begitu. Ada siaran TV yang mengangkat itu, ada berita di sebuah majalah yang mengangkat itu, ada media online, internet yang juga mengangkat itu.

 

Contoh, sesuatu yang harus kita telaah bagaimana baiknya ke depan seperti ini, untuk negara yang kita cintai, untuk kehidupan masyarakat yang ingin kita semua menjadi the good society, baik-baiknya bagaimana, karena masih banyak yang lain. Nah, dari situ favorit pers, favorit PWI, sama dengan favorit saya, bagaimana sih sebetulnya setelah pers memiliki kemerdekaan, setelah tidak ada kontrol, dan setelah semua sadar etika jurnalisme itu penting? Bagaimana sekarang ke depan? Bagaimana kita memahami, dan mengaplikasikan etika jurnalisme itu? Saudara tahu, lebih tahu dibandingkan saya, meskipun saya study mendalam tentang pers, media, politic and media, press and democracy, tapi banyak sekali teori, konsep, dan praktik tentang etika jurnalisme, banyak sekali, bisa sebulan kita belajar di situ. Tetapi ada yang lebih universal negara mana pun, demokrasi mana pun menganut prinsip-prinsip demokrasi tertentu.

 

Nah, ingin saya sampaikan yang pertama  truthfulness, berita itu ada, benar, ada faktanya, dan secara jujur diberitakan. Yang kedua accuracy, akurat, yang ketiga objectivity, objektif, yang keempat impartiality, tidak berpihak, yang kelima fairness, adil, yang keenam public accountability, dapat dipertanggungjawabkan, sumbernya jelas berita itu, isinya logis, sudah di cross check oleh sumber dan keterangan yang lain. Bayangkan kalau negeri ini berita yang diangkat oleh media-media konvensional berasal dari social media yang sumbernya tidak jelas. Who are them, siapa dia? Tapi menjadi rujukan terus menerus. Let's talk now. Mari kita bicara, bagusnya bagaimana? Yang ketujuh balance and cover both sides, berimbang. Yang kedelapan proportionality, tidak melebihi kepatutannya. Bapak mau menghajar seseorang sampai masuk liang kubur, atau menelanjangi sesuai dengan pola kelakuannya, perbuatannya ini termasuk proportionality, tidak melebihi kepatutan. Nyambung dengan prinsip kesembilan limitation of harm, bukan ham, Hak Azasi Manusia, harm, supaya orang itu mau dibunuh atau gimana ini, padahal belum tentu salah ini, jadi ada limitation of harm.

 

Sumber penting, begini Bapak, lagi-lagi maafkan saya, kalau saya memberi contoh di dunia militer. Kalau dalam peperangan, saya panglima perang, ada seorang bintang dua melaporkan intelijen, maka intelijen itu harus benar, informasinya benar, beritanya benar. Beritanya salah masuk saya, pengambilan keputusan, misalkan dalam keadaan perang, besok kita serang Ambalat, atau dua hari lagi serang Ambalat, Linud terjun di sebelah Sebatik, marinir merapat, airforce interdiksi, kita daratkan Divisi II dari Malang, kita rebut, dan saya minta Ambalat dan sekitar sudah kita rebut dalam waktu dua minggu. Berdasarkan informasi yang masuk ke saya.

 

Informasinya benar, kemungkinan operasi kita berhasil, mungkin juga tidak berhasil, tapi tidak akan fatal. Informasinya salah, intelijennya salah, bisa habis itu pasukan, berita juga begitu. Berita ini siapa sumbernya? Reliable tidak? Orang itu kok, yang kedua logis enggak berita ini? Sudah di-cross-check belum berita ini? Diperkuat tidak dengan informasi yang lain? Jika jawabannya ya, ya, maka intelijen militer mengatakan A1. Kalau intelijennya tidak benar, perangnya kalah, yang dimasukkan pengadilan adalah pemimpin intelijen tadi. Tapi kalau segalanya benar, panglima perangnya yang tidak betul strateginya, segala macam, dia yang dimintai pertanggungjawaban.

 

Dulu dalam perang Vietnam Jenderal Westmoreland dilapori ada kejadian begini-begini dan akan ada Tet offensive, Hari Raya Tet, entah bagaimana tidak bisa dicegah, terjadilah serangan di mana-mana oleh Viet Kong, mengubah jalannya sejarah. Rakyat Amerika tidak percaya, kongresnya gaduh, dan itu leading to mundurnya Amerika dan jatuhnya Saigon pada tahun 1975. Apakah intelijen failure? Apakah process decision making yang tidak tepat? Tapi satu hal, harus akurat, sumbernya jelas, isinya logis, sudah di-cross-check dengan sumber ataupun informasi yang lain.

 

Tentu tujuh prinsip ini masih bisa diperpanjang Bapak-Ibu yang lebih tahu, saya hanya terbatas pengetahuan saya, tujuh seperti ini. Memang ada kontra argument, ini satu, orang mengatakan "Press is the mirror of reality." Jangan marah sama persnya, memang ada, kenyataannya begitu ya pasti diceritakan begitu. Saya setuju, point-nya there is a reality, ada faktanya, ada kejadiannya, ada orangnya, begitu. Nah begitu ada fakta, ada realitas, ada kejadian, ada peristiwa, ya, silakan diberitakan, dikasih opini, ditanggapi, mau kritik sana, ada faktanya.

 

Kalau Presiden mengambil keputusan, menetapkan kebijakan, mengambil tindakan apa pun bebas, salah SBY enggak begitu, kebijakannya buruk, tindakannya kok begitu. Boleh, karena ada keputusan saya, ada kebijakan saya, ada tindakan saya, dan itulah demokrasi. Saya mendengarkan, ada nggak setuju, ada yang setuju, saya lihat-lihat mungkin juga ada modifikasi policy, itu gunanya. Tapi tanggapi keputusan mana, kebijakan mana, dan program mana, reality, fakta.

 

Yang kedua, kontra argumen adalah, masyarakat tidak mudah percaya jika beritanya bohong. Ya, bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan yang cukup, bisa menalar, bisa ah nggak masuk akal berita ini. Tetapi 250 juta saudara kita di seluruh pelosok Tanah Air sangat bisa ada yang percaya terhadap berita apa pun yang dimunculkan di media kita. 

 

Nah, dengan cerita sederhana ini Saudara-saudara, keluar dari hati saya, saya sudah lama menyimpan, selama 9 tahun ini, dan kalau setahun terakhir tidak saya sampaikan salah saya, berdosa saya. Saya harus sampaikan baik-baik. Tugas kita, tugas Bapak-Ibu adalah, saya sebagai Kepala Negara, saya juga dipilih oleh rakyat, bukan maunya saya tiba-tiba jadi presiden, bukan nyegat presiden di tikungan, terus mobilnya masuk jurang saya jadi presiden, bukan. Saya ikut pemilihan 2004-2009 dan sangat bisa kalah saya dulu, tapi Tuhan, rakyat memilih sehingga di akhir masa jabatan saya tentu secara moral saya ingin berbagi, dengan niat yang baik.

 

Pertanyaannya sekarang bagaimana baiknya pers dan media untuk bersama-sama menjadi kekuatan yang luar biasa tadi menuju negara maju dan modern? Yang lebih tahu Saudara silakan dipikirkan dan dirumuskan oleh para pemimpin, oleh para tokoh dan insan pers. Yang disampaikan Pak Margiono, sepuluh poin tadi, sebenarnya, ya sebagian besar sudah menjawab apa yang saya sampaikan ini. Bagaimana baiknya pers dan media kita, kita semua, demokrasi kita makin ke depan makin baik?.

 

Saya harus mengulangi lagi kekuasaan Saudara besar sekali, ya jangan tergoda. Ingat, power can too corrupt, korbannya bisa sangat banyak. Kalau orang diberitakan besar-besar padahal ternyata tidak salah, karena masuk pengadilan ternyata bebas, itu tujuh turunan sudah menanggung aib selamanya, seperti itu. Saya, boleh ditulis ini, salah satu korban pers, tetapi saya sekaligus berterima kasih kepada pers, kalau tidak dikritik, dikecam, dihujat sejak hari pertama saya jadi presiden, mungkin saya sudah jatuh, mungkin saya semau-maunya, mungkin gegabah dalam mengambil keputusan, mungkin kebijakan saya malah aneh-aneh, mungkin saya merasa, wah saya sudah pemimpin, bisa berbuat apa saja, I have to be thankful, saya berterima kasih terhadap semuanya itu. Banyak kisah diktator tirani yang tidak ada satu pun yang mengkritik setelah 30 tahun jatuhnya sakit. Saya sudah saya cicil, sakitnya sudah 9 tahun ini, karena tiap hari, tiap minggu, tiap ini, banyak sekali yang saya terima. Tapi berterima kasih Saudara menyelamatkan saya, Alhamdulillah untuk tidak, apa, terlena, tidak, ya begitulah. Saya kira saya berterima kasih.

 

Idealisme pers saya dukung penuh, pastilah Saudara dalam hatinya ingin menjadi agent of democracy, mari kita matangkan, demokrasi kita belum matang benar, tapi better dibandingkan tanpa demokrasi, demokrasi yang civilized. Yang kedua, Saudara juga ingin menjadi agent of development, pembangunan belum selesai. Mari kita sukseskan bersama-sama. Saudara juga ingin menjadi agent of truth and justice, pastilah, enggak mungkin pers punya cita-cita tidak menegakkan kebenaran dan keadilan. Mulailah dari berita yang benar dan berita yang adil. Kemudian agent of civilization, peradaban kita harus peradaban yang modern, penuh dengan toleransi, menguasai pengetahuan, bertekad menjadi bangsa yang berhasil dan sebagainya, it's civilization.

 

Saudara punya semuanya itu dan yakin sampai perjalanan negeri ini, perjalanan bangsa ini termasuk apa yang Saudara perankan. Mungkin setelah saya bicara ini ada yang mengatakan, ah tidak usah didengar SBY toh mau selesai juga, ndak apa-apa, tapi saya berdosa kalau hari ini tidak bicara seperti itu. Saya harus bicara dan do'a saya tentu untuk semua.

 

Nah, sekarang yang terakhir saya ingin merespon Pak Margiono masalah pemilu dan Capres-capres itu, mudah-mudahan tidak membingungkan lagi. Tapi saya, Pak Margiono, tentu enggak mungkin ah saya dukung ini saja, enggak mungkin, saya Presiden. Kalau toh ada kepentingan politik saya, saya tahu batasnya. Saru, tidak bagus kalau saya kelihatan berpolitik praktis gentayangan ke mana-mana, memakai jaket partai terus, dan sebagainya, ndak. Saudara juga tahu kalau tidak ada musibah Partai Demokrat, enggak mungkin saya untuk sementara menyelamatkan. Dahsyat itu kerusakan yang terjadi akibat kegiatan sekelompok kader yang keliru, meskipun partai lain juga ada yang seperti itu, tapi Demokrat cukup menderita karena 2,5 tahun menjadi headline dari semua media cetak dan elektronik. Dalam keadaan terpaksalah saya, tapi tetap saya kembali lagi, saya mengutamakan pemerintahan ini satu tahun terakhir, tiba-tiba ada gejolak ekonomi, macam-macam. Oleh karena itu, saya minta kebersamaan, minta dukungan mengatasi ekonomi, mengatasi yang lain-lain untuk saya serahkan nanti kepada presiden berikutnya lagi pada tanggal 20 Oktober 2014.

 

Saudara-saudara,

 

Begini, kalau, kalau saya tidak terlalu heran yang memang turn over, turn out masyarakat yang berpartisipasi dalam election itu di banyak negara rendah memang, 40%, 50%, 60%. Mengapa Indonesia sekitar tahun 2004 tinggi sekali? Karena ini sesuatu yang baru. Wah ini dia, pilpres langsung, pilgub langsung, pilbup langsung, pilwalkot langsung. Wah ini kalau Presiden kita pilih langsung, Indonesia minggu depan berubah, enggak mungkin setahun, minggu depan sudah berubah ini, adil makmur, gitu, sesuatu yang baru, kampanye, debat. Jadi ada gairah, ada semangat.

 

Nah lihat itu, kita akan memilih pemimpin yang baru demikian juga gubernur, bupati, walikota over time, tahun demi tahun, 5 tahun, 5 tahun, 5 tahun menjadi sesuatu yang normal, sesuatu yang biasa, maka nasib kita bisa seperti negara demokrasi yang lain, ya segitu-segitunya, tetapi saya akan menyerukan terus bahwa jangan golput, gunakan hak pilihnya, supaya tidak menyesal. Disuruh milih enggak mau, begitu terpilih, eh kenapa dia? Lah Anda enggak milih. Begitu yang lain memilih ini, eh kenapa dia? Ikutlah memilih, jadi saya dukung semangat pers, semangat wartawan, semangat media untuk menggugah saudara-saudara kita tidak apatis, tidak golput, dan menggunakan hak pilihnya.

 

Satu tahun kurang 3 hari lagi, siapa pun yang akan mengucapkan sumpahnya di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, pengganti saya nanti, harus kita terima dengan penuh, siapa pun, siapa pun. Satu, dengan satu catatan, mari kita pastikan proses pemilu tahun depan, proses pemilihan presiden benar. Kalau benar sesuai dengan undang-undang, sesuai dengan Undang-Undang Dasar, siapa pun yang terpilih menjadi presiden harus kita terima dan kita dukung, siapa pun. Begitu konstitusionalisme, begitu kematangan demokrasi, begitu politik adiluhung, siapa pun. Jangan kita tebang pilih belum-belum, jangan kita diskriminatif, jangan kita ah ini enggak mungkin, enggak mungkin, semuanya serba mungkin. Kalau Allah menentukan, Tuhan menakdirkan, tapi  manusia, kita, negara, saya, Saudara punya kewajiban, mari kita pastikan prosesnya benar. Muncul calon-calon yang oke, mengikuti aturan pemilihan umum dengan, apa namanya, transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, media memberikan ruang yang kurang lebih seimbang, saya tahu tidak mungkin sama, karena Bung Margiono yang sudah mengatakan panjang lebar, tetapi paling tidak biarkan rakyat tahu siapa calon-calon itu.

 

Saya tidak tahu berapa pasang nanti, apakah tiga pasang? Apakah dua pasang? Apakah lima pasang?. Kalau 5 pasang agak sulit mungkin, karena dengan undang-undang kan 20 %. Kalau 2004, mengapa ada 5 pasang karena dulu yang penting lolos threshold, sehingga ada 5 pasang mulai dari Pak Wiranto dengan Pak Salahuddin Wahid, Ibu Megawati dengan Pak Hasyim Muzadi, Pak Amin Rais dengan Pak Siswono Yudhohusodo, Saya dengan Pak Jusuf Kalla, dan Pak Hamzah Haz dengan Pak Agum Gumelar, lima calon.

 

Nah, tahun 2009 karena sudah diatur 20%, tiga pasangan. Bu Mega dengan Pak Prabowo, Pak Jusuf Kalla dengan Pak Wiranto, Saya dengan Pak Boediono. Tahun depan kita tidak tahu berapa pasang. Ya, memang sudah ada hasil survey sekarang peringkat satu misalkan, ini beda-beda survey-nya, antara Golkar sama PDI Perjuangan, Demokrat dikasih peringkat ketiga dan seterusnya, seterusnya.

 

Masih ada waktu enam bulan, bisa ada, ada perubahan-perubahan meskipun mungkin ya tidak terlalu banyak. Intinya kita juga belum tahu berapa pasang nanti. Mudah-mudahan apakah tiga pasang misalnya, itu betul-betul melalui proses election yang bagus, kampanyenya bagus, coverage-nya bagus, rakyat melihat betul, pandangannya realistic apa tidak, apa terlalu banyak janji, dan seterusnya, dan seterusnya sehingga pada hari H, jam J, memilihlah bangsa ini pemimpin yang baru. Dan ketika rakyat mengatakan yang dipilih A, kita harus bersuka cita, harus kita sambut baik-baik, dan saya akan menyerah terimakan Bapak atau Ibu,  inilah yang saya lakukan selama 10 tahun, ini yang telah kita capai, ini yang belum, silakan dilanjutkan untuk 5 tahun berikutnya lagi.

 

Kira-kira seperti itu yang kita harapkan terjadi di negeri kita tahun depan. Diskursusnya saya dengar saja di masyarakat luas begini, ‘Pak agak sulit sekarang' loh kenapa? Kalau dulu tahun 2004 ada 5 pasang, setelah untuk putaran pertama belum jelas dulu, tapi setelah putaran kedua rada jelas, karena Pak SBY dengan Pak JK, Ibu Mega dengan Pak Hasyim Muzadi, kemungkinan besar yang menang Pak SBY tapi juga bisa Bu Mega menang, artinya lebih mudah. Tahun 2009 hanya ada dua kemungkinan saya sebagai incumbent menang lagi, terpilih lagi atau Bu Mega atau Pak JK yang terpilih, hanya dua kemungkinan. Sekarang kemungkinan itu masih lebar, masih belum manifest menjadi the most possible option, apa yang terjadi. Tapi ini bagus, masih memberi ruang kepada rakyat kita untuk memilih siapa-siapa di antara beliau-beliau itu yang didukung.

 

Warung kopi mengatakan, "Pak bagaimana ada tokoh mungkin satu orang, dua orang popular, populer sekali, tapi apa sudah siap?" Gitu, atau juga, "Pak ada orang yang dianggap capable tapi tidak popular". Saya katakan dua-duanya tetap memiliki opportunity. Orang yang popular tapi dianggap jenjangnya, prosesnya  belum siap, disiapkan, dikasih, dikasih ilmunya, diingatkan, nanti presiden begini loh bukan hanya mimpin 17 Agustus, bukan pidato di depan DPR, bukan itu. Itu satuseperseribu dari pekerjaan presiden. Dijelaskan Bapak-Ibu siapkan ini, ini tugasnya, ini pekerjaannya, berikan. Apa artinya? Kalau yang popular itu terpilih betul, bangsa ini, kita sudah melengkapi apa yang diperlukan oleh beliau-beliau itu karena terpilih, ok.

 

Yang kedua, sebaliknya dia capable tapi popularitasnya masih belum tinggi, elektabilitasnya masih belum tinggi, ya berikan kesempatan, masih ada, berikhtiarlah. Seorang capres mesti berkeringat dong, mesti mengambil resiko, istilahnya mesti berdarah-darah, siap kalah siap menang, tidak ada tiba-tiba datang dari langit terus mengucapkan sumpah di depan MPR. Mesti dialami semua itu. Nah, mudah-mudahan dengan mengalami itu makin popular, makin popular, makin populer.

 

Jadi menurut saya, semua kandidat itu tetap memiliki peluang, memiliki kesempatan. Biarlah sejarah yang akan memutuskan nanti, tapi demokrasi harus memberikan ruang. Nah, pers mestinya Pak Margiono, ikutlah memberikan ruang, ikutlah menguji, menyeleksi. Yang menentukan baik atau tidak baik bukan pers, bukan SBY, bukan politisi, bukan pengamat, tapi rakyat Indonesia, dan rakyat itu the real power, the silence majority. Belum tentu yang dianggap baik oleh pers, oleh pengamat atau oleh saya, si A itu yang dianggap baik oleh rakyat. Maunya kita rakyat menyenangi calon A, nah calon A itu betul-betul siap dan kita semua juga ikut mempersiapkan, begitu sebetulnya.

 

Jadi kesimpulannya this is democracy, terbuka semuanya, berikan kesempatan tapi dengan cara-cara yang benar, jangan dengan cara-cara yang tidak benar karena menjadi bom waktu. Kekuasaan itu must be given, the mandate must be given by the people. Tidak boleh merebut di tengah jalan, mengambil dengan cara-cara yang tidak benar, karena hakekat soft of power dari mana kekuasaan itu berasal, harus lurus dan benar. Itulah election. Jadi kalau election-nya benar, begitu digunakan pasti selamat, kalau tidak bisa menjadi bom waktu. Sejarah banyak sekali menceritakan tentang itu di seluruh dunia.

 

Bapak-Ibu sekalian maafkan saya terlalu banyak bicara, tetapi ini refleksi Banjarmasin saya kira sesuatu yang penting, dan mungkin kapan-kapan kita bertemu lagi, enggak usah khawatir ketemu saya, saya bukan capres. Enggak usah khawatir, saya bukan capres, saya bisa suatu saat duduk di situ juga, presidennya ganti di situ. Jadi kalau ketemu saya rileks, akan bicara-bicara seperti ini, tapi Saudara punya pahala karena ikut memikirkan masa depan kita bersama-sama saya dan yang lain.

 

Terima kasih.

 

Selamat berjuang !

 

Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan,

Kementerian Sekretariat Negara RI