Pagi yang cerah dan angin semilir sejuk menyambut kedatangan Tim Biro Pengelolaan Istana, Sekretariat Presiden di Desa Gajebo, Kabupaten Lebak, Banten. Setidaknya diperlukan waktu kurang lebih satu jam berjalan kaki untuk mencapai lokasi ini. Sepanjang perjalanan tim disuguhkan dengan pemandangan yang tak hanya menarik tetapi juga menggugah rasa penasaran. Dari kampung pertama menuju Desa Gajebo tampak para wanita duduk di depan rumah mereka tengah sibuk menenun. Pemandangan bersahaja yang sangat indah dan harmoni pun kian terasa ketika tim tiba di tempat ini. Kunjungan budaya kali ini sungguh sangat menarik.
Kunjungan ini merupakan salah satu program kegiatan Biro Pengelolaan Istana untuk mengangkat kembali kerajinan lokal Indonesia sebagai cendera mata pada acara-acara Presiden Republik Indonesia yang dihadiri tamu VVIP (Very Very Important Person). Lokasi pertama tim beranggotakan enam orang yang dipimpin oleh Kepala Biro Pengelolaan Istana, Darmastuti Nugroho adalah ke lokasi penenun kain Baduy.
Penduduk Baduy dikenal sangat menghargai waktu. Terlihat dari aktivitas mereka sehari-hari. Setelah pergi berladang, penduduk Baduy mengisi waktu luangnya dengan bermusik atau bahkan membuat kerajinan tangan khas suku Baduy. Ini bentuk ketaatan mereka dalam mematuhi pikukuh (larangan adat) yang sudah ditetapkan oleh karuhun (leluhur) mereka.
Penduduk Baduy memiliki beragam jenis kerajinan tangan, di antaranya tas jarog dan koja, parang, tenun, dan aksesoris lain seperti gelang. Semua kerajinan tersebut nantinya akan digunakan untuk keperluan sandang ataupun dijual sebagai cendera mata kepada wisatawan yang berkunjung.
Untuk jenis kerajinan tenun, Suku Baduy memiliki dua jenis tenun yaitu Tenun Baduy Dalam dan Tenun Baduy Luar. Masing-masing tenun tersebut memiliki ciri khas yang berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk motif dan makna dari motifnya. Tenun Baduy Dalam khas dengan warna-warnanya yang sederhana dan lebih polos sedangkan Tenun Baduy Luar memiliki lebih banyak ragam hias.
Tenun Baduy merupakan tenun yang lebih memperhatikan citra warna dibandingkan dengan perupaannya. Karakteristik ini dapat terlihat dengan jelas dari visualnya yang konsisten dengan bentuk geometris dan garis saja. Adapun motif ragam hias tenun Baduy Dalam adalah tenun Aros sedangkan motif ragam hias tenun Baduy Luar antara lain Adu Mancung, Suat Songket, dan Poleng. Warna-warna tenun Baduy pun lebih simpel memungkinkan untuk dipadukan dengan warna atau bahan lainnya.
Untuk menyelesaikan satu potong kain tenun diperlukan waktu sedikitnya satu bulan, tergantung tingkat kesulitan motifnya. Menurut perajin tenun, Arsid, satu potong kain tenun Baduy dipasarkan mulai harga Rp250.000,00 hingga jutaan rupiah. Di kunjungan kali ini, tim pun akhirnya membeli dua kain tenun Baduy dengan motif yang berbeda. Satu kain tenun dengan motif geometri penuh seharga Rp850.000,00 dan satu kain tenun bermotif geometri tidak penuh seharga Rp500.000,00.
Kualitas tenun Baduy dianggap sudah sangat layak untuk dijadikan sebagai cendera mata. Tentunya, masih perlu dikemas dengan menarik jika ingin digunakan untuk acara VVIP. Sayangnya, tenun Baduy tersebut belum dikemas dengan menarik padahal kemasan dapat memengaruhi konsumen untuk memberikan respon positif dalam membeli produk yang ditawarkan.
Menyusuri Kebersahajaan Suku Baduy
Selain kain tenun, oleh-oleh khas Baduy yang sudah cukup terkenal yaitu Madu Odeng (Manis/Merah) dan Madu Pahit (Hitam). Madu khas Baduy dihasilkan langsung dari sarang lebah liar di pedalaman Hutan serta gula aren olahan langsung penduduk suku Baduy. Kedua produk makanan tersebut juga termasuk kategori makanan organik tanpa menggunakan bahan kimia.
Mendengar cerita menarik tentang Madu Baduy, Tim pun terlihat sangat bersemangat untuk mengunjungi lokasi selanjutnya. Lokasi kunjungan kedua adalah pemukiman Suku Baduy yang berada di kaki gunung Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten yang berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Rangkasbitung.
Medan yang sangat menantang dengan jalan yang mendaki tidak mematahkan semangat tim untuk sampai ke Desa Kanekes. Mengetahui cerita indah tentang Desa Kanekes dari penulis buku “Gerimis di Tanah Kanekes (Baduy)”, Jenny Mahastuti yang juga mendampingi tim melakukan kunjungan semakin menguatkan niat untuk semangat mencapai desa tersebut.
Tak terasa tim telah sampai di Desa Kanekes setelah menempuh perjalanan selama 2,5 jam. Rasa lelah di perjalanan perlahan sirna setibanya di lokasi. Pemukiman yang masih sangat menyatu dengan alam. Area berlembah, pepohonan yang rindang, udara yang dingin membuat rasanya ingin berlama-lama di desa ini. Menjelang sore, tim pun memutuskan untuk bermalam di kediaman Bapak Sardi di Desa Cibeo karena hari terlihat semakin gelap.
Wilayah Baduy memiliki topografi berbukit dengan kemiringan tanah rata-rata 45 persen. Di Baduy terdapat 56 kampung dan terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu Baduy Dalam yang terdiri dari tiga kampung yaitu Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik serta Baduy Luar yang terdiri dari 53 kampung.
Untuk mencapai area Baduy Dalam dibutuhkan waktu sekitar kurang lebih 2 jam. Lokasi areanya pun cukup menantang karena tim harus menyusuri jalan setapak perbukitan yang naik turun. Namun, pemandangan indah berupa hamparan ladang dan rumah-rumah adat Baduy yang dibangun dengan sistem panggung tidak mengurangi semangat tim.
Rumah adat Baduy memiliki karakterisik yang khas karena dibangun mengikuti kepercayaan mereka. Rumah diberi jarak dengan tanah sebagai bentuk rasa hormat terhadap konsep buana larang, yaitu tempat orang yang sudah meninggal. Bahan atau material rumah tidak boleh terbuat dari tanah, seperti batu bata dan genteng tanah liat, karena tanah merupakan tempat tinggal orang yang sudah meninggal. Susunan rumah rumah di suku Baduy diatur sedemikian rupa sehingga semuanya berkiblat ke arah Selatan, tempat di mana Sasaka Domas atau tempat tersuci atau tempat di mana roh-roh leluhur berkumpul yang terletak di hulu Sungai Ciujung.
Selain rumah adatnya, bangunan lain yang menjadi ciri khas masyarakat Baduy adalah lumbung padi yang menyimpan hasil panen seperti padi, kacang, dan buah-buahan atau biasa disebut dengan Leuit. Selain itu, ciri khas lain dari Suku Baduy adalah alat musik yang seringkali dimainkan yaitu Kecapi, Celempung, dan Angklung Buhun.
Suku Baduy Dalam diketahui masih sangat tegas terhadap aturan yang berlaku. Mereka tidak terkontaminasi oleh teknologi modern dan perkembangan zaman. Bepergian dengan berjalan kaki dan tanpa menggunakan alas kaki. Tidak menggunakan gawai dan tidak menggunakan alat transportasi dalam bentuk apapun. Masyarakat Baduy pada dasarnya tidak mengenal sistem pendidikan formal.
Dalam sistem pemerintahan, jabatan tertinggi yang ada pada suku Baduy adalah Puun. Puun harus berasal dari penduduk Baduy Dalam. Mereka adalah orang yang menetapkan hukum dan semua hal yang terkait dengan adat mereka. Masing-masing kelompok Baduy Dalam memiliki Puun yang memimpin kelompoknya. Puun dibantu oleh jaro sebagai pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan. Setiap puun di Baduy Dalam memiliki wewenang yang berbeda.
Puun Desa Cibeo memiliki tugas urusan pelayanan masyarakat Baduy, sosial kemasyarakatan, dan terkait wilayah. Tugas pemerintahan, pertanian, dan komunikasi dengan warga luar juga masuk wewenang masyarakat Cibeo. Sedangkan Puun Desa Cikertawana bertugas sebagai penasihat urusan keamanan, ketertiban, kesejahteraan, dan pembinaan warga Baduy. Terakhir Puun Desa Cikeusik bertugas soal keagamaan, pelaksanaan kalender adat, serta memutuskan hukuman bagi pelanggar adat.
Kunjungan ke Desa Baduy telah berakhir tapi penuh dengan kenangan dan pengalaman yang sangat berarti. Melihat Indonesia dari sisi lain merupakan kebanggaan tersendiri untuk Tim Biro Pengelolaan Istana. Berbagai pelajaran berharga didapatkan selama mengunjungi Desa Baduy. Kehidupan yang sangat harmonis, menyatu dengan alam, mencintai lingkungan. Kebersahajaan masyarakat Baduy yang begitu menyentuh setiap orang yang hadir di desa ini adalah mandat yang akan dirasakan sendiri-sendiri. (SLN-Biro Pengelolaan Istana/Humas Kemensetneg)