Diplomasi di Bawah Pohon Rindang

 
bagikan berita ke :

Senin, 27 Oktober 2025
Di baca 202 kali

Oleh:
Dzulfikri Putra Malawi, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Kreatif

 

 

Tentu banyak jalur untuk memperjuangkan royalti. Tak terkecuali berdiplomasi di Jenewa. Ada Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas dan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Kreatif, Yovie Widianto di Sidang Umum ke-66 WIPO (World Intellectual Property Organization) bersama 194 negara anggota.

 

Para figur pejabat negara ini bertolak ke Jenewa, Swiss (06/10/2025) yang lalu. Dalam rangkaian acara, ada hal yang sangat berkait. Terutama untuk ekosistem ekonomi kreatif. Termasuk musik di dalamnya.

Mereka sedang bertugas. Berdiplomasi. Menyampaikan pernyataan dan menyelaraskan pemikiran dari sudut pandang banyak pemimpin negara. Banyak inisiatif yang menjadi inspirasi untuk dijadikan tindak lanjut.

Ada semangat dalam upaya untuk memantapkan posisi negara Indonesia agar dipandang dan punya nilai soft power akan dapat diperhitungkan. Maka tata kelola hak cipta serta kedaulatan digital menjadi dua fokus utama yang disampaikan dalam Sidang Umum tersebut.

Persoalan transparansi dan dorongan kolaborasi terus mengemuka dengan berbagai inisiatif yang ditawarkan. Bahkan gagasan soal ekonomi kreatif baru brojol di Sidang Umum WIPO tahun ini.

Cita-cita untuk meningkatkan transaksi juga menjulang tinggi dari hanya sekadar memamerkan dan mempromosikan produk-produk yang memiliki hak kekayaan intelektual. Promosi dan proteksi menjadi dua keinginan yang hakiki. Agar manfaat bisa dirasakan langsung oleh masyarakat Indonesia.

Namun di sisi lain, masih banyak tantangan yang harus dihadapi dari para pegiat industri kreatif yang mengedepankan pemikiran atas solusi tanpa sinergi. Lagi-lagi pemerintah yang jadi bulan-bulanan. Harus kita akui, jika sosialisasi masih belum maksimal. Sebab kita memang gemar menunjukkan performa diri sendiri seraya ingin menunjukkan taji. Akibatnya silo-silo masih terjadi di berbagai lini. Kita harus punya komitmen membenahi ini bersama.

Untuk urusan royalti misalnya. Baik LMK ataupun LMKN belum juga maksimal menjalankan peran utamanya mengoleksi dan mendistribusi. Kicau burung hingga Indonesia Raya jadi persoalan yang ramai dan memicu problem lain. Belum lagi karut marut transparansinya.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi. Apalagi mengendorse inisiatif dari organisasi dunia. Tapi tentang memberikan pandangan lain. Ada sosok-sosok orkestrator yang disebutkan di atas sedang bekerja meredam silo-silo yang ada dan mengedepankan manfaat untuk bersama.

Termasuk peran KUAI PTRI Jenewa, Achsanul Habib yang memandu dan menuntun negosiasi kerjasama bilateral pengelolaan kekayaan intelektual di bidang KI dengan CNIPA (China), NCAC (China), JPO (Jepang), KIPO (Korea), EUIPO (Uni Eropa), EPO (Uni Eropa), Kyrgizstan, SAIP (Arab Saudi), dan INPI (Perancis) agar posisi tawar Indonesia lebih terjaga. Pertemuan ini dapat terjadi berkat Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum RI, Razilu beserta jajarannya.

Karena yang lagi ramai musik, jelas yang akan dibahas bagian musik saja dari luasnya hukum Hak Kekayaan Intelektual yang ada di negeri kita dan sedang memikirkan urusan musik. Karena bisa jadi, jika musik berhasil maka yang lainnya bisa mengikuti.

 

 

Diplomasi di Bawah Pohon Rindang

Di antara forum-forum formal berkelas dalam ruang sidang dan juga panggung konferensi, ada satu momen informal. Berlokasi di kantin outdoor kantor WIPO, di bawah pohon rindang. Bagi saya ini forum internasional juga yang gak kalah penting. Sebab, kami tidak kebagian ruangan. Namanya orang kreatif, tentu punya banyak alternatif.

Peserta diskusi ini terdiri dari Staf Khusus Presiden Bidang Ekraf, Yovie Widianto bersama para asistennya serta beberapa orang para pemangku kepentingan di WIPO Connect. Sebuah inisiasi sistem digital yang dibuat oleh WIPO untuk lembaga manajemen kolektif (LMK).

Apakah mungkin kelak sistem pendataan, koleksi, dan distribusi hak cipta dapat berjalan dengan baik di Indonesia? Karena dorongan untuk transparansi nyaring terdengar dari seluruh delegasi dunia di forum WIPO.

Saat semua ruangan diskusi penuh. Ada hal urgent. Maka diupayakan pertemuan itu. Kantin pun sedang di set up untuk dinner, maka terjadilah diplomasi bawah pohon. Sebenarnya tidak hanya WIPO Connect yang kami temui, ada juga dari negara lain. Tapi nanti dulu, biar ga makin rumit untuk para warga musik Indonesia. Saya ceritain yang satu ini.

WIPO Connect adalah sistem manajemen data dan distribusi royalti untuk organisasi kolektif (LMK) yang mengelola hak cipta. Sistem ini digunakan oleh lebih dari 60 CMO di dunia dan dirancang agar kompatibel dengan standar internasional (CISAC, SCAPR, IFPI). Belum ada LMK di Indonesia yang menggunakan WIPO Connect. Masih di tataran penjajakan saja.

Pertama, secara prinsip, WIPO hanya memberikan akses kepada LMK melalui permintaan resmi dari otoritas negara, seperti kantor hak kekayaan intelektual (IP Office), dalam hal ini DJKI. Menurut mereka, belum ada permintaan resmi yang jelas dan valid untuk penggunaan oleh LMK di Indonesia.

Kedua, WIPO tidak menyediakan perangkat keras (hardware). Infrastruktur server atau cloud disiapkan oleh negara atau LMK. Perlu waktu dan biaya untuk pengadaan infrastruktur, terutama jika tidak memakai cloud.

Ketiga, soal migrasi dan validasi data lama. Banyak LMK memiliki data lama yang tidak terstruktur dengan baik (diperkirakan “data palsu” atau “komposer fiktif”). Proses data cleaning dan integrasi ke sistem baru memakan waktu dan butuh strategi bertahap. 

Keempat, soal kustomisasi sistem. Meski WIPO Connect bersifat generik, banyak parameter dapat disesuaikan dengan kebutuhan hukum dan operasional lokal. Diperlukan kerja sama intensif antara tim deployment WIPO dan LMK lokal untuk menyesuaikan sistem.

Kelima, audit dan kebutuhan pemerintah. Beberapa pemerintah ingin memiliki akses atau kemampuan audit terhadap sistem ini. Hal ini dimungkinkan dengan mekanisme pelaporan standar atau laporan khusus yang bisa dibuat WIPO.

Keenam, interoperabilitas dengan sistem lain. Perlu koneksi dengan sistem internasional agar data karya dari Indonesia bisa diakui secara global (dan sebaliknya). Interkoneksi dengan jaringan CIS-Net (musical works), SCAPR (performers), IFPI (producers) harus tersedia.

WIPO menyediakan pelatihan gratis dengan jumlah yang tidak terbatas sesuai kebutuhan, termasuk pendampingan dari tim teknis mereka untuk instalasi, konfigurasi, dan integrasi. Waktu implementasi bervariasi: tercepat 1 bulan, rata-rata 6–9 bulan. Tahapan meliputi: instalasi, migrasi data, pembersihan data, integrasi dengan sistem internasional, hingga distribusi royalti.

Bisa dipasang di server lokal atau cloud (Amazon AWS, Microsoft Azure). Disesuaikan dengan kebijakan keamanan data masing-masing negara. Sistem dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan lokal (hukum, jenis distribusi, genre musik, dll). Tim WIPO akan meminta dokumen operasional LMK dan mendesain sistem sesuai kebutuhan.

WIPO membuka kesempatan demo online sistem bagi pihak pemerintah dan CMO untuk mengenal lebih jauh. WIPO terbuka untuk diskusi lebih lanjut soal integrasi, kebutuhan teknis, dan kebijakan. WIPO Connect bukan sistem untuk pengenalan musik otomatis (fingerprinting). Namun WIPO membuka interface untuk diintegrasikan dengan sistem seperti ACRCloud.

Terdapat rencana penggunaan AI untuk meningkatkan akurasi pencocokan data dari laporan pemutaran media. Untuk Indonesia, implementasi WIPO Connect bisa menjadi langkah strategis dalam membangun tata kelola hak cipta yang transparan, akuntabel dengan standar global, dan memberi kepercayaan kepada pencipta.

Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada inisiatif resmi dari pemerintah, komitmen LMK dalam menyiapkan data dan infrastruktur, dan kolaborasi erat dengan tim WIPO.

Artinya, berbagai macam proyek berbasis teknologi atau platform yang digadang-gadang menjadi solusi karut marut royalti dengan jumlah milyaran rupiah perlu dinilai kembali urgensinya. Karena WIPO sebagai organisasi dunia non profit yang usianya sudah lebih dari 100 tahun mau menyediakan layanan tersebut.

Jika pun harus tanpa WIPO Connect, paling tidak jangan menurunkan standarisasi dan komitmen yang sudah dibangun dalam membangun sistem tata kelola digitalnya. Apalagi secara usia, WIPO sudah didirikan sejak 1967. Layaknya manusia yang seharusnya sudah selesai dengan urusan pribadinya. Dan hanya fokus untuk mengamalkan kebaikan.

Dari perbincangan di bawah pohon ini, ada semilir angin yang berhembus sambil membawa sedikit wahyu. Mengajak kita untuk bersungguh-sungguh bersama mental dan pemikiran transparan serta akuntabel.

Pohon tua bersandar. Mereka tak lagi muda.
bergumam dan berandai
ku berteman badai
merangkai bait indah merayu awan
sudilah turunkan hujan

Daripada berpantun, sepenggal lirik lagu Dialog Dini Hari di atas saya jadikan penutup tulisan, yang dalam perspektif saya serupa dengan situasi royalti musik yang sedang terjadi di negeri ini.

 

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           1           0           0           0