G20 dan Pemberantasan Korupsi

 
bagikan berita ke :

Selasa, 12 April 2022
Di baca 11756 kali

Oleh: Eddy Cahyono Sugiarto (Karo Humas Kemensetneg)

  

“Convince that corruption is no longer local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential.” - UNCAC

 

Pemberantasan korupsi telah menjadi fokus perhatian dunia yang ditandai sejak Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyadari dampak kerugian korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang memiliki daya rusak yang sangat dasyhat karena dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan global, tidak hanya ekonomi namun berdampak merusak terhadap sendi-sendi kehidupan manusia lainnya.

 

Hal ini sejalan dengan pidato Sekjen PBB Kofi Annan pada 30 Oktober 2003 yang menyatakan bahwa praktik korupsi sangat melukai perasaan kaum miskin. Korupsi menjadi penyebab utama rusaknya perekonomian suatu bangsa dan menjadi penghambat utama pengentasan kemiskinan dan pembangunan.

 

Perjalanan historis perhatian PBB terhadap masalah korupsi dapat dirunut pada tahun 2000, di mana dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-55 telah menghasilkan Resolusi PBB Nomor 55/61, yang antara lain mengatur tentang perlunya merumuskan instrument hukum internasional antikorupsi secara global.

 

Kemudian pada tahun 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk Konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption - UNCAC) yang bertujuan untuk mencegah korupsi secara global dengan melakukan kerja sama internasional untuk bersama-sama melakukan langkah-langkah menghapuskan korupsi di seluruh dunia.

 

 


Foto: freepik.com

 

Setelah melalui beberapa sidang dan pertemuan, Majelis Umum PBB akhirnya menerima UNCAC yang disahkan melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada tanggal 9-11 Desember 2003 di Merida, Meksiko. Sampai tahun 2010, terhitung 141 negara pihak telah menandatangani konvensi ini dan bahkan telah diratifikasi oleh 145 negara.

 

Sejak disahkan pada tahun 2003, banyak negara yang kemudian menggunakan mekanisme dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNCAC untuk menangani masalah korupsi di negara mereka masing-masing. Salah satu dari 145 negara yang meratifikasi UNCAC adalah Indonesia, dengan meratifikasi UNCAC pada 18 April 2006 melalui UU Nomor 7 tahun 2006.

 

Perpektif Nasional Pemberantasan Korupsi

 

Bila dicermati dari kepentingan Indonesia pemberantasan korupsi menjadi isu strategis yang memerlukan sinergitas dari seluruh pemangku kepentingan untuk mengakselerasi pencapaiannya, sehingga sejalan dengan pencapaian Visi Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, berkepribadian, dan gotong royong.

 

Capaian visi Indonesia maju sangat tergantung dari sejauhmana upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia dapat berjalan dengan baik agar dapat memperkecil ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, menaikkan tingkat investasi di Indonesia  di tengah kondisi recovery (pemulihan) ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19, agar pertumbuhan ekonomi dapat berjalan dengan demokrasi ekonomi.

 

Sejalan dengan  spirit pemberantasan korupsi di  forum global,  Indonesia telah menjadikan isu pemberantasan korupsi menjadi isu utama, yang diusung Presiden Jokowi dalam  Nawacita yang diinisiasi pada 2014.  Di dalam Nawacita, cita keempat secara jelas menyebutkan "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya".

 

Dalam RPJM 2020 -2024 isu pemberantasan korupsi diterjemahkan melalui penguatan stabilitas penegakan politik kemanan dan hukum dengan penyelenggaraan negara yang bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menjadi pilar dalam setiap langkah pencegahan korupsi. Dalam kurun waktu terakhir yakni di tahun 2018, Peraturan Presiden No.54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) pun telah diterbitkan.

 

Stranas KPK merupakan upaya terintegrasi pemerintah sebagai komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia sebagai wujud membangun komitmen bersama (taking ownership) dengan mengedepankan sinergitas seluruh pemangku kepentingan dalam memberantas korupsi karena korupsi sebagai kejahatan luar biasa tidak dapat diberantas oleh satu pihak saja.

 


Ilustrasi menerima suap

Foto: freepik.com

 

Bagi Indonesia pemberantasan korupsi menjadi suatu keniscayaan dan dambaan masyarakat. Sebagaimana hasil survei nasional di bulan November 2021, pemberantasan korupsi menjadi permasalahan kedua (15,2%) yang dianggap paling mendesak untuk diselesaikan. Urutan pertama adalah penciptaan lapangan pekerjaan (37,3%) dan ketiga terkait harga kebutuhan pokok sebesar (10,6%), jika tiga hal tersebut dilihat sebagai satu kesatuan, korupsi menjadi pangkal dari permasalahan lainnya. Dengan kata lain pemberantasan Korupsi mendesak untuk diselesaikan karena bisa mengganggu penciptaan lapangan kerja dan menaikkan harga kebutuhan pokok.

 

Capaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2021 juga masih menjadi tantangan tersendiri untuk dapat terus diperbaiki di mana dari rilis Transparency Internasional terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2021 sebesar 38 dari skala 0-100, capaian ini masih di bawah rata-rata IPK dunia tercatat sebesar 43, dua per tiga negara masih memiliki skor di bawah 50 yang mengindikasikan negara-negara tersebut memiliki masalah korupsi serius.

 

Bagi Indonesia pemberantasan korupsi harus menjadi kepentingan semua pihak dengan membangun sinergitas produktif, utamanya melalui strategi pendidikan untuk menginternalisasi nilai-nilai anti korupsi pada seluruh elemen masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat  dengan menjadikan anti korupsi menjadi budaya yang menyertai segala sendi kehidupan masyarakat sebagai faktor kunci keberhasilan menanamkan budaya anti korupsi sebagai mana negara Jepang, Singapura, dan Finlandia.

 

Hal ini dapat dilakukan melalui strategi pengembangan boundary spanner  dengan menjadikan  orang atau lembaga yang menjadi penghubung antara kebutuhan masyarakat dengan kebijakan pemerintah atau organisasi (Wiliensky, 1971) agar terbangun kemampuan seorang ataupun lembaga untuk menjembatani kepentingan divisi di mana mereka berada, dengan divisi ataupun lembaga lain, dalam hubungan intra organisasi ataupun hubungan antar organisasi menjalin komunikasi dua arah guna menginternalisasikan nilai-nilai anti korupsi dalam masyarakat .

 

G20 Momentum Akselerasi Pemberantasan Korupsi

 

Pemberantasan korupsi menjadi salah satu fokus G20 sebagaimana dapat dicermati dalam laman resmi Sherpa G20 Indonesia, di mana pada tahun 2010, di Toronto, Kanada, negara-negara anggota G20 membentuk Anti-Corruption Working Group (ACWG) sebagai upaya meningkatkan standar transparansi, akuntabilitas, dan  kontribusi G20 dalam perang global melawan korupsi.

 

Forum ini menjadi bentuk komitmen negara-negara anggota G20 untuk mempromosikan nilai-nilai antikorupsi ke dalam instrumen nasional maupun internasional melalui  rekomendasi yang komprehensif terkait dengan upaya negara anggota G20 untuk berkontribusi secara nyata terhadap pemberantasan korupsi.

 

 


Foto: g20.org

 

Kita patut bersyukur sejak didirikan pada tahun 2010, terdapat sejumlah aksi nyata dari ACWG G20 terkait upaya menelurkan kebijakan-kebijakan yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi untuk selanjutnya diimplementasikan oleh negara-negara anggotanya, bahkan negara lain di dunia.

 

Salah satunya adalah uraian mengenai langkah pencegahan penyalahgunaan badan hukum, seperti perusahaan cangkang (perusahaan yang didirikan hanya di atas dokumen tanpa melakukan kegiatan apa pun). Langkah-langkah tersebut dituangkan dalam “G20 High-Level Principles on Beneficial Ownership Transparency”.

 

Selain “G20 High-Level Principles on Beneficial Ownership Transparency”, langkah terbaru dari ACWG G20 untuk memberantas korupsi di tingkat global adalah menghadirkan deklarasi dari para pemimpin negara-negara G20 yang berkomitmen tidak menoleransi korupsi di sektor publik dan swasta.

 

Pada sektor publik, ACWG G20 mendukung transparansi, integritas, dan akuntabilitas, termasuk dalam pengadaan barang dan jasa untuk publik dan pengelolaan keuangan publik. Dukungan ini termasuk pembukaan peluang G20 untuk pertukaran praktik baik di antara negara-negara anggota, seperti terkait dengan eksplorasi teknologi baru guna meningkatkan kualitas dan aksesibilitas data pemerintah, mempromosikan peran lembaga audit, serta kolaborasi antarbadan antikorupsi.

 

Pada sektor swasta, ACWG G20 mendorong transparansi, integritas, dan akuntabilitas sektor swasta untuk anti pencucian uang dan transparansi keuntungan. Selanjutnya pada sektor kerja sama internasional, ACWG G20 menegaskan penolakan setiap negara anggota G20 untuk menjadi tempat berlindung yang aman dan pemulihan aset bagi para pelaku korupsi.

 


Foto: IG @kemensetneg.ri

 

Kita tentunya berharap dengan Keketuaan Indonesia dalam G20 dapat mengakselerasi pemberantasan korupsi menjadi lebih baik dan optimal  sebagai komitmen bersama  dunia global dalam pemberantasan korupsi, utamanya dengan menjadikan peningkatan peran audit dalam pemberantasan korupsi, meningkatkan partisipasi publik, dan pendidikan antikorupsi serta pengembangan kerangka regulasi yang kondusif sebagai pengarusutamaan kebijakan pemberantasan korupsi. Semoga.

 

 

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
35           18           11           10           6