Konferensi Pers Presiden RI tentang RUU Keistimewaan DIY, di Istana Negara, Jakarta, 2-12-2010

 
bagikan berita ke :

Kamis, 02 Desember 2010
Di baca 905 kali

KONFERENSI PERS

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

RUU KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DI ISTANA NEGARA, JAKARTA
TANGGAL 2 DESEMBER 2010

 



Bismillahirrahmanirrahim,

 

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Salam sejahtera untuk kita semua,

 

Saudara-saudara se-bangsa dan se- tanah air yang saya cintai dan saya banggakan,

 

Dengan terlebih dahulu memohon ridho Allah SWT, pada siang hari ini saya akan menyampaikan penjelasan tentang proses dan substansi Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penjelasan ini sebagai bagian dari komunikasi saya dengan rakyat Indonesia, termasuk saudara-saudara kita yang ada di Yogyakarta.    

 

Beberapa hari terakhir ini, saya mendengar berbagai pendapat, komentar, dan masukan dari masyarakat luas tentang isu Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, baik yang langsung saya terima melalui SMS ataupun telepon, maupun yang saya ikuti dari media massa, baik yang datang dari kalangan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta maupun dari saudara-saudara kita dari berbagai pelosok tanah air. Baik yang masih relevan dan terkait langsung dengan materi dari RUU itu maupun yang saya rasakan sudah memasuki wilayah politik praktis, dan sesungguhnya tidak terkait langsung dengan substansi pokok. Kalau saya teruskan masukan, komentar, dan rekomendasi itu banyak yang disampaikan secara rasional maupun juga ada yang bernada emosional. Dan, baik itu yang, katakanlah dari kalangan yang sedang diramaikan sekarang ini di masyarakat luas, yang pro atau berpandangan sebaiknya posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY itu ditetapkan saja. Otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, maupun saudara-saudara kita yang berpendapat berbeda, sebaiknya itu dilaksanakan pemilihan secraa demokratis. Meskipun sesungguhnya kalau kita berbicara keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak boleh direduksi hanya seputar posisi dan kekuasaan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Saudara-saudara,

 

Kalau saya ikuti perdebatan atau diskursus yang terjadi, baik di kalangan akademisi, kalangan pengamat, kalangan politisi, dan bahkan juga di masyarakat luas, itu menyusul penjelasan saya dalam Sidang kabinet Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan tanggak 26 November 2010 yang lalu. Sebagaimana biasanya, Saudara tahu, dalam Sidang Kabinet saya selalu memberikan pengantar, dan di akhir Sidang Kabinet, saya memberikan arahan dan mengambil keputusan yang perlu saya ambil.

 

Setelah saya ikuti, Saudara-saudara, apa yang diramaikan di media massa dewasa ini, baik cetak maupun elektronik, ada yang memang sesuai dengan apa yang saya sampaikan pada tanggal 26 November itu. Tetapi, saya rasakan ada pula yang bergeser atau digeser ke sisi yang lain. Bahkan, seolah-olah ada konflik pribadi antara saya dengan Pak Sultan, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubenur Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk itu, saya pandang perlu untuk kembali menyampaikan atau mengingatkan kepada rakyat Indonesia apa yang sesungguhnya saya sampaikan pada pengantar Sidang Kabinet tanggal 26 November yang lalu itu.

 

Pengantar saya sesungguhnya cukup singkat, karena memang RUU itu sendiri masih dalam tahap penggoodokan dan pematangan sebelum nantinya kita serahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia utnuk dibahas secara bersama. Kata-kata saya waktu itu adalah berkaitan dengan prestasi yang akan disampaikan oleh Mendagri dalam Sidang Kabinet itu, maka khusus yang mengait kepada Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY adalah sebagai berikut: kita juga akan mendengarkan nanti Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini juga penting untuk segera kita proses bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Kehadiran satu undang-undang yang tepat sungguh diperlukan. Berkali-kali, saya menyampaikan posisi dasar pemerintah berkaitan dengan undang-undang tentang kesitimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta atau tentang pemerintahan daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Pertama-tama, pilarnya adalah sistem nasional, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang-Undang Dasar kita telah diatur dengan gamblang, termasuk dalam pasal 18.

 

Yang kedua, juga harus sungguh dipahami keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri dari bentangan sejarah, dari aspek-aspek lain yang memang harus kita perlakukan secara khusus, sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-Undang Dasar kita, yang harus nampak dalam struktur keistimewaan itu.

 

Namun, yang ketiga, negara kita adalah negara hukum dan negara demokrasi. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi, democratic values, tidak boleh diabaikan, karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi. Saya yakin akan bisa kita temukan satu pranata yang tiga-tiganya bisa dihadirkan: sistem nasional dan keutuhan NKRI, keistimewaan yang harus kita hormati dan kita junjung tinggi di Yogyakarta, dan kemudian implementasi nilai-nilai demokrasi untuk negeri kita, yang itupun sesungguhnya secara implisit juga terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945.

 

Saudara-saudara,

 

Kalau kita simak apa yang saya sampaikan waktu itu, saya belum mengatakan apakah Gubernur DIY mesti dipilih secara demokratis atau otomatis ditetapkan sebagaimana yang diperdebatkan dengan hangat dewasa ini. Sekali lagi, kepada masyarakat luas, saya persilakan memeriksa, membaca, atau mendengarkan kembali kalau yang punya rekaman pernyataan saya pada tanggal 26 November 2010 itu di hadapan Sidang Kabinet.

 

Saudara-saudara,

 

Ini kesempatan yang baik bagi saya setelah hari-hari terakhir saya mendengarkan banyak hal, termasuk komentar-komentar yang mulai dari hangat sampai yang panas, yang mengait pada sisi politik praktis. Bahkan, masuk ke saya seolah-olah Presiden SBY menghalang-halangi Pak Sultan untuk menjadi Gubernur kembali di Yogyakarta untuk lima tahun berikutnya lagi setelah masa perpanjangan beliau selesai pada bulan Oktober 2011 mendatang.

 

Kalau menyimak statement seperti ini, nampaknya ada pencampuradukkan antara fakta dengan perkiraan, dan antara sisi politik praktis dengan urusan mencari tatanan atau sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang memang bersifat istimewa. Kalau dari sisi politik praktis, tolong dicatat tebal-tebal oleh Saudara-saudara, para insan pers, sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan di Republik ini, saya berpendapat untuk kepemimpinan dan posisi Gubernur DIY lima tahun mendatang yang terbaik dan yang paling tepat tetap Saudara Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ini posisi saya sebagai Presiden. Dan dalam kapasitas saya yang lain, saya meminjam tempat pada forum ini sebagai Ketua Dewan Pembina sebuah partai politik, tentu saya akan mengalirkan pandangan dan pendapat ini sebagai garis politik partai yang saya bina.

 

Jadi, tolong betul-betul dipisahkan apa yang sedang dilakukan oleh pemerintah yang saya pimpin sekarang ini dari sisi politik praktis yang sekarang seolah-olah diangkat sebagai ketidakcocokkan antara saya dengan Sultan.

 

Saudara-saudara,

Rakyat Indonesia yang saya cintai,

 

Apa yang sesungguhnya tengah dipersiapkan oleh pemerintah yang saya pimpin dewasa ini tentu tidak mengait sama sekali kepada sisi politik praktis, sebagaimana yang banyak diangkat dewasa ini. Apalagi hanya direduksi menjadi urusan antara Pak Sultan dengan saya. Bukan. Yang tengah kita pikirkan, kita rancang dan nantinya bersama DPR RI agar kita susun dan kita tetapkan dengan undang-undang adalah keistimewaan Yogyakarta dalam arti yang utuh dan menyeluruh, yang dalam undang-undang dan peraturan yang kita miliki dewasa ini belum diatur secara eksplisit. Jadi, bukan hanya soal kedudukan, kekuasaan, masa jabatan, dan cara pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Meskipun itu penting, apakah nantinya dipilih secara demokratis atau otomatis langsung ditetapkan dalam proses pembahasan antara DPR RI dan pemerintah yang juga akan mendengarkan pandangan dan masukan dari masyarakat luas. Tetapi sekali lagi, lebih dari itu yang kita maksudkan dengan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tengah kita pikirkan dan kita wadahi nanti dalam undang-undang mendatang.

 

Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan sisi pemerintahan dan sekaligus tentunya posisi Gubernur dan Wakil Gubernur yang pas dan yang khusus bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentang penghormatan, perlakuan khusus, dan peran istimewa bagi pewaris Kesultanan dan Pakualaman secara permanen, selamanya, kita atur sekaligus dalam undang-undang. Tentang hak eksklusif pengelolaan tanah di Yogyakarta, baik yang menjadi ototritas Kesultanan maupun Pakualaman, dan tata ruang khusus pula bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentang upaya pelestarian budaya dan warisan sejarah yang harus kita junjung tinggi, dan sejumlah elemen keistimewaan yang lain yang perlu kita kukuhkan agar pasti, agar certain dan berlaku selamanya di Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Itulah sesungguhnya keistimewaan yang dalam cara pandang pemerintah hendak dirumuskan dan nantinya dibahas bersama-sama DPR RI dalam proses politik dan diatur oleh Undang-Undang Dasar maupun undang-undang.

 

Saudara-saudara,

 

Pemerintah berpendapat bahwa Undang-Undang tentang Keistimewaan DIY, juga mesti mencakup kepemimpinan, baik yang sedang memimpin sekarang ini, Saudara Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Saudara Sri Paduka Paku Alam IX, termasuk suksesinya nanti jika kedua belua itu berhalangan tetap di masa depan. Undang-undang yang akan kita hadirkan tentu tidak hanya mengatur masa kepemimpinan dan pemerintahan kedua beliau, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX saja. Tetapi juga mengatur suksesi kepemimpinan yang tentu akan terjadi di kelak kemudian hari. Dengan demikian, undang-undang ini justru berlaku ke depan dan tidak situasional sifatnya. Kita juga tidak ingin, Saudara-saudara, karena tidak diatur dalam undang-undang persoalan suksesi lantas menjadi masalah di kemudian hari. Tetapi satu hal, aturan tentang suksesi ini tentu pemerintah akan mendengar pandangan dan pemikiran dari Pak Sultan Sendiri, dari Pak Pakualam sendiri, beserta kerabat Kesultanan dan Pakualaman yang lain. Beliau-beliaulah yang memiliki otoritas, yang lebih tahu, bagaimana proses, mekanisme, dan kearifan dalam suksesi itu.

 

Semua hal inilah yang ingin kita susun dan tuangkan dalam RUU nanti, mana tatanan yang paling baik dan paling tepat. Baik dan tepat bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Baik dan tepat bagi negara Republik Indonesia karena kita menganut konstitusi dan menganut sistem nasional.

 

Saudara-saudara,

 

Dari aspek kesejarahan, dalam menyusun RUU DIY ini, pemerintah tentu memahami dimensi kesejarahan Daerah Istimewa Yogyakarta dari masa ke masa, antara lain sejarah bergabungnya Kesultanan dan Pakualaman ke dalam NKRI pada era pemerintahan Presiden Soekarno, pada era almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan almarhum Sri Paduka Paku Alam VIII. Lantas setelah itu, masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersama Sri Paduka Paku Alam VIII. Berikutnya masa pemerintahan Sri Paduka Paku Alam VIII sampai dengan tahun 1998. Saya pernah bertugas di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bagian dari Muspida waktu itu, dimana Gubernurnya adalah Sri Paduka Pakualam VIII pada tahun 1995.

 

Setelah itu bergeser pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang  pertama. Lima tahun pertama beliau 1998 - 2003. Waktu itu tanpa Wakil Gubernur. Ingat saya persoalan suksesi di Pakualaman belum manifest. Setelah itu, bentangan sejarah berikutnya lagi masuk pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX. Pemerintahan Pak Sultan yang kedua, 2003-2008. Di sinilah dulu kita masih ingat ada dinamika politik dengan menjelang berakhirnya masa jabatan ke-2 Pak Sultan. Catatan saya pada tahun 2007 muncul sejumlah perdebatan, bagaimana kelanjutan DIY setelah Pak Sultan memimpin dua periode. Seperti biasa, ada yang mengatakan ya otomatis lanjut saja beliau, ada yang mengatakan perlu aturan baru. Sampai saya punya catatan bahwa tahun 2007, satu tahun sebelum berakhirnya masa jabatan Pak Sultan, ingat saya pada ulang tahun yang ke-61 menyampaikan orasi budaya di depan publik, bahwa beliau tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai pada tahun 2008. Beberapa saat kemudian, dalam Pisowanan Agung tanggal 18 April 2007, Pak Sultan kembali menegaskan bahwa beliau tidak ingin menjadi Gubernur lagi. Saya mengikuti dengan seksama. Namun, Saudara-saudara, secara eksplisit walaupun disampaikan di hadapan publik ketidaksediaan Pak Sultan untuk menjadi Gubernur DIY lagi, selaku Presiden Republik Indonesia, dengan mempertimbangkan situasi politik dan psikologi masyarakat DIY, saya mengambil inisiatif untuk memperpanjang masa jabatan Gubernur dan wakil Gubernur DIY selama tiga tahun, dari tahun 2008 - 2011. Berarti tahun depan, alhamdulillah, kedua beliau bersedia untuk saya perpanjang selama tiga tahun itu.

 

Nah, Saudara-saudara,

 

Dalam masa perpanjangan tiga tahun inilah sesungguhnya kita ingin dengan jernih memikirkan dan merumuskan undang-undang yang tengah kita godok sekarang ini yang tepat, yang bisa menjawab semuanya. Sehingga posisi pemerintah sekarang ini justru tengah memfinalkan, penggodokan akhir, pematangan, dan RUU ini untuk dalam waktu dekat bisa kami ajukan ke DPR RI dan kemudian kita bahas secara bersama.

 

Saya konsisten sebelum tahun 2009 pada masa Pemilihan Umum 2009 ketika juga dibahas masalah RUU ini, sekarang ini bahwa apapun nanti rumusan dari undang-undang itu janganlah meninggalkan tiga pilar yang mesti kita tegakkan. Saya ulangi lagi, sistem nasional dan NKRI yang semuanya ada dalam Undang-Undang Dasar 1945. Yang kedua, keistimewaan Yogyakarta itu sendiri yang harus nyata dan eksplisit diwadahi. Dan, yang ketiga adalah implementasi dari nilai dan sistem demokrasi.

 

Saudara-saudara,

 

Kalau boleh saya mengelaborasi dan saya mengikuti dinamika yang hangat, yang ada di masyarakat luas baik di Yogyakarta, di Jakarta, maupun di tempat-tempat lain di negeri kita, dari semua elemen penting dari keistimewaan Yogyakarta, yang menjadi perhatian publik dan sekaligus menjadi perdebatan, akhirnya mengarah pada opsi pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Ada yang berpendapat yang tepat adalah pengangkatan secara otomatis tanpa pemilihan. Itulah istimewanya. Ada yang berpendapat yang lain, tetap pemilihan secara demokratis, tetapi tunjukkan juga keistimewaan bagi Yogyakarta. Mungkin ada alternatif yang lain, ada varian lain yang mungkin belum dibahas. Tetapi kalau kita jujur, apa yang ada di dalam liputan media massa, baik cetak maupun elektronik, ya diskursus atau debat dari dua alternatif itu.

 

Saya ingin menyampaikan sebagai Kepala Negara, bagi yang berpikir atau berpendapat model pemilihan secara demokratis itu yang paling baik, saya minta Saudara bisa membaca Undang-Undang Dasar Negara kita pasal 18b ayat (1), untuk dimana titik temunya. Pasal 18b ayat (1) dalam Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan: "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang". Silakan carikan titik temunya.

 

Bagi yang berpendapat bahwa yang paling baik model penempatan langsung, otomatis saja ditetapka. Saya berharap temukan pula dengan pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: "Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Silakan bagi kedua alternatif itu cocokkan dengan Undang_undang Dasar kita karena kita tentu tidak ingin merancang undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

 

Saya berpendapat, apapun model dan opsi yang dipilih, jangan lupa memberikan hak, peran, dan peluang yang besar kepada para pewaris Kesultanan dan Paku Alaman. Sejarah mengatakan demikian. Keistimewaan Yogyakarta juga bisa kita tarik dari sisi itu, dan yang penting pula bagi pemerintah dan harapan saya juga bagi DPR RI, ketika kelak mulai membahas secara formal, hendaknya sungguh memperhatikan pandangan dan masukan dari berbagai pihak di negeri ini, baik dari kalangan saudara kita di Yogyakarta maupun sekali lagi dari kalangan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tentu, Saudara-saudara, pada saatnya pemerintah akan menentukan posisi tentang ini semua, tentang elemen-elemen mendasar dari keistimewaan Yogyakarta ini, yang akan diajukan ke DPR RI untuk dilaksanakan pembahasan bersama. Tetapi, pada akhirnya nanti, apapun yang menjadi kesepakatan bersama antara DPR RI dan pemerintah, pemerintah akan tunduk, pemerintah akan menghormati, dan pemerintah akan menjalankannya.

 

Itulah hakikat dan makna dari demokrasi. Kewajiban saya sebagai Presiden dan pemerintahan yang saya pimpin sekarang ini justru untuk menjalankan tugas konstitusional dalam penyiapan RUU ini, dengan cara pemerintah menyiapkan RUU ini dengan niat yang baik serta dengan pikiran yang jernih dan rasional. Dan apapun nanti, sekali lagi, yang menjadi pilihan negara, pemerintah akan menghormati, tunduk, dan menjalankannya.

 

Yang terakhir, pada kesempatan yang baik ini, Saudara-saudara, saya ingin menyampaikan himbauan dan harapan kepada seluruh rakyat Indonesia , termasuk saudara-saudara kami yang ada di Yogyakarta, untuk semuanya kembali tenang serta tetap berpikir dan bertindak jernih. Saya harap semua menghormati proses dan mekanisme pembuatan undang-undang ini. Silakan menyampaikan masukan rekomendasi. Silakan, terbuka. Kalau untuk pemerintah karena Menteri Dalam Negeri adalah yang memiliki otoritas dan yang saya yang memberikan mandat untuk mempersiapkan, menggodok, mematangkan RUU ini, silakan disampaikan kepada Mendagri atau kepada saya sekalipun.

 

Khusus untuk saudara-saudara kami masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, saya menaruh hormat dan terimalah salam saya. Sebagai Kepala Negara saya sangat menghormati keistimewaan Yogyakarta. Justru undang-undang yang tengah kita rancang ini untuk menghormati saudara semua, warga Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk memberikan kepastian dan mewadahi keistimewaan yogyakarta dalam undang-undang yang akan kita keluarkan. Dan secara khusus pula, saya ingin bersama-sama menyelesaikan masalah ini dengan baik. Dan atas musibah bencana Gunung Merapi kemarin, saya juga tetap ingin memastikan dengan kebersamaan kita pemerintah pusat, pemerintah DIY, masyarakat luas agar langkah-langkah rehabilitasi dan rekonstruksi pasca letusan Gunung Merapi dapat kita laksanakan dengan baik.

 

Itulah, Saudara-saudara, yang ingin saya sampaikan pada kesemaptan yang baik ini. Dan, sekali lagi, pemerintah akan menjalankan tugas dan kewajibannya memfinalkan RUU ini dan kemudian akan kita serahkan kepada DPR RI untuk dilakukan pembahasan secara bersama.

 

Terima kasih, Saudara-saudara.

 

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Â