MENERIMA PESERTA PERTEMUAN BESAR UMAT BERAGAMA INDONESIA, DI ISTANA NEGARA, JAKARTA, 22 MEI 2008

 
bagikan berita ke :

Kamis, 22 Mei 2008
Di baca 982 kali

SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA
ACARA MENERIMA PESERTA PERTEMUAN BESAR
UMAT BERAGAMA INDONESIA
DI ISTANA NEGARA, JAKARTA
TANGGAL 22 MEI 2008

 


Bismillahhirahmannirrahim,

 

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

 

Salam damai dan salam sejahtera untuk kita semua,

 

Yang saya hormati para Menteri Koordinator, para Menteri dan Mantan Menteri,


Yang saya hormati para pimpinan majelis-majelis agama, para pimpinan organisasi keagamaan,

 

Para pemuka dan tokoh agama yang saya cintai dan saya muliakan,

 

Marilah pada kesempatan yang baik dan semoga senantiasa penuh berkah ini, sekali lagi kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas perkenan rahmat dan ridho-Nya, kita semua masih diberi kesempatan, kekuatan, dan kesehatan, untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, serta tugas dan pengabdian kita kepada umat, masyarakat, serta kepada bangsa dan negara tercinta. Kita juga bersyukur, karena para pemuka agama telah dapat melaksanakan pertemuan besar dengan tujuan dan tema yang tadi telah sama-sama kita dengar dari Bapak Slamet Effendi Yusuf yang menyampaikan kepada kita semua tadi.

 

Hadirin yang saya muliakan,

 

Pertama-tama tentu sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak, ibu, hadirin sekalian yang memiliki prakarsa dan inisiatif untuk menyelenggarakan pertemuan besar ini. Pertemuan besar semacam ini sangat-sangat penting, karena sesungguhnya bapak, ibu terus memelihara silaturahim, dialog, dan komitmen yang kuat untuk bersama-sama berkontribusi bagi kehidupan bangsa dan negara.

 

Dibanyak kesempatan saya sampaikan, jika di negeri tercinta ini, seluruh penyelenggara negara, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan semua penyelenggara negara menjalankan tugasnya dengan baik, termasuk jajaran pemerintahan, dari saya sampai kepala desa, sungguh mencurahkan pikiran, waktu, dan tenaganya untuk rakyat, untuk membangun bangsa, dan ada pula para pemuka agama juga terus melakukan bimbingan kepada umat menuju arah yang benar, kehidupan yang religius untuk bersama-sama membangun hari esok yang lebih baik, dan jika umat serta masyarakat luas juga bisa berpartisiapasi secara positif, insya Allah dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, perjalanan bangsa kita akan semakin efektif, akan betul-betul bisa menuju terwujudnya cita-cita para pendiri dan pejuang bangsa.

 

Oleh karena itu, sekali lagi pertemuan yang bapak, ibu lakukan sangat penting dan menjadi mata rantai, menjadi bagian untuk sekali lagi meningkatkan kehidupan antar umat beragama yang rukun dan bersatu di negeri ini, secara khusus dan secara umum akan bisa membangun peradaban yang baik, yang mulia, prasyarat bagi negara yang ingin menjadi negara yang maju dan sejahtera. Tema yang dipilih, yang dikaitkan dengan komitmen kebangsaan, yang dikaitkan dengan satu abad kebangkitan nasional, juga tepat, relevan, dan sungguh menjangkau apa yang hendak kita lakukan bersama menuju ke masa depan yang kita cita-citakan.

 

Hadirin yang berbahagia,

 

Saya ingin sejenak mengajak saudara untuk melakukan refleksi 100 tahun perjalanan bangsa ini, dan mengintip 100 tahun perjalanan kita ke depan. Sejak generasi 1908 hingga sekarang 2008, dan dengan satu visi, satu penglihatan jangka jauh, katakanlah pada tahun 2090 berapa? 2108, betul? 08 ditambah 100, 2108. Kalau kita ingin melakukan refleksi, syaratnya adalah kita harus memiliki pikiran yang positif, jiwa yang terang, dan sikap yang optimis. Berangkat dari posisi itu, untuk refleksi yang akan kita lakukan menjadi lebih tepat. Jiwa yang terang, pikiran yang positif, sikap yang optimis ini menjadi ajaran agama-agama manapun yang sama-sama kita ketahui.

 

100 tahun perjalanan negeri ini, kita mencatat sejumlah tonggak, tonggak sejarah, ’08, ’28, ’45, ’66, ’98, dan nanti pasti ada tonggak-tonggak baru dalam perjalanan bangsa kita ke depan. 100 tahun ini pula, kita melihat yang saya sebut dengan kontinuitas dan diskontinuitas. Ada kalanya kita mengalami shock, goncangan, crisis, seperti yang sama-sama kita alami. Selama 100 tahun pasti ada perubahan, change, dan ada pula kesinambungan, continuity. Dan sebagaimana pengalaman negara-negara lain, selalu ada keberhasilan dan kegagalan, success and failure.

 

Kita harus betul-betul meletakkan semua itu dalam bentangan sejarah yang kita lalui 100 tahun ini. Tetapi saudara-saudara, sesungguhnya kalau kita jujur dan objektif, bangsa kita dari masa ke masa terus bergerak maju dalam arah yang benar. Sejak ‘08 sampai sekarang, kewajiban kita memelihara arah ini ke depan, yang akan dilanjutkan oleh generasi-generasi mendatang agar arah pembangunan dan perjalanan bangsa tetap benar.

 

Beberapa saat yang lalu, ketika kita mengalami krisis, banyak sekali ramalan Indonesia akan buta, Indonesia akan pecah belah, Indonesia akan jatuh, dan tinggallah sebuah nama, ramalan itu tidak terjadi. Pada era Bung Karno tahun ’50-an, ramalan itu juga muncul, Indonesia yang berusia muda, tidak akan mampu bertahan, akan collapse, akan bubar, itu pun tidak terjadi. Mengapa ramalan-ramalan yang sebagian besar dilakukan bangsa lain terhadap kita, termasuk sebagian orang-orang kita itu tidak terjadi? Pertama, karena pertolongan Tuhan, ridho Allah Subhanahu wa Ta’aala. Yang kedua, karena kita tidak rela dan tidak mau negara kita buta. Dua kekuatan dahsyat itulah yang meskipun kita mengalami pasang surut, mengalami dinamika yang tidak ringan, ujian dan cobaan yang keras, negara kita tetap tegak berdiri. Sehingga kita harus semakin yakin bahwa ramalan-ramalan yang sangat pesimis itu tidak boleh terjadi, dan justru harus menjadi tantangan bagi kita untuk membuktikannya bahwa ramalan itu tidak benar.

 

Hadirin yang saya sampaikan,

 

Sesungguhnya pula, 100 tahun ini banyak sekali yang dicapai oleh bangsa kita, oleh pendahulu-pendahulu kita, oleh kita semua, dan saya yakin, insya Allah oleh generasi yang akan datang. Di sinilah kita harus terus dan pandai bersyukur, di sinilah kita harus terus dan pandai berterima kasih kepada para pendahulu, para pejuang bangsa, para pahlawan yang mengorbankan pikiran, jiwa, dan raganya, bahkan untu kebaikan bangsa kita. Tetapi untuk kita tidak terlena, masih panjang jalan yang harus kita tempuh, masih banyak yang harus kita capai untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera, masih banyak yang harus kita lakukan agar kita tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dahulu membangun diri. Oleh karena itu, resepnya mari kita ke depan makin bersatu dan bekerja keras, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

 

Kita tahu, para pemuka dan tokoh agama sekalian tahu bahwa makin ke depan tantangan yang dihadapi oleh bangsa kita dan bangsa lain tentunya akan makin berat dan makin kompleks. Nah menghadapi itu tidak perlu gamang, tidak perlu kehilangan kepercayaan diri, sekali lagi kita justru lebih bersatu, bersama-sama mencari solusi, bersama kesulitan ada kemudahan, selalu ada solusi terhadap persoalan yang kita hadapi seberat apapun. Dikatakan in crusial things unity, menghadapi masa-masa yang berat, menghadapi krisis justru bersatu, bukan bercerai berai, bukan berjalan sendiri-sendiri.

 

Kita ingat ketika terjadi krisis Asia tahun 1997, 1998, tetangga-tetangga kita justru lebih bersatu, Thailand, Korea, Malaysia, lebih cepat mereka keluar dari krisis. Kita harus belajar mengapa kita lebih lambat, memang lebih kompleks masalah yang dihadapi oleh bangsa kita, kemudian ada pergantian kepempimpinan politik, Pak Harto lengser diganti oleh Presiden-presiden berikutnya lagi, dan kemudian ada reformasi berskala besar. Memang ada, tetapi barangkali kita juga harus memetik pelajaran, sungguhkah kita dulu bersatu ketika krisis itu datang, kemudian bersama-sama mengatasinya? Sekarang kita menghadapi persoalan baru yang tidak kalah beratnya, krisis pangan, krisis minyak dunia. Menghadapi ini, ajakan moral saya mari kita tetap bersatu, jangan saling salah-menyalahkan, jangan hanya menonton, dan meskipun tahun depan ada pemilihan umum, mari kita utamakan mengatasi persoalan bersama ini ketimbang kepentingan masing-masing yang kental dengan kepentingan politik, ini seruan moral kita. Tahun depan pasti ada kompetisi, di situ akan ada kompetisi yang terbuka, yang bebas, masing-masing bisa mengikuti kompetisi itu untuk tujuan regularitas demokrasi terbuka. Tapi jangan kita tidak bersatu mengatasi krisis pangan dan energi ini, yang juga sesungguhnya dihadapi oleh bangsa-bangsa yang lain.

 

Dengan cerita saya itu, marilah kita melihat perjalanan bangsa sejak 1908 hingga 2008 ini dalam perspektif seperti itu, perspektif yang jernih. Saya berharap ke depan, 100 tahun ke depan kita juga bersama-sama mengelola kehidupan bernegara ini, sekali lagi dengan perspektif yang jernih, dengan jiwa yang terang, dengan pikiran yang positif, dan dengan sikap yang optimis.

 

Bapak-ibu, hadirin sekalian yang saya muliakan,

 

Tanggal 20 Mei yang lalu, saya menyampaikan pidato saya selaku Kepala Negara, saya berbicara terus terang kepada saudara-saudara kita di seluruh tanah air, tentang perjalanan bangsa ini, tentang tantangan-tantangan yang kita hadapi, tentang apa yang harus kita lakukan secara bersama ke depan, agar Indonesia betul-betul di abad ini, abad 21 ini menjadi negara maju dan sejahtera, develop nation. Sejahtera dalam arti tentu keadilan tegak, keamanan terjaga, kehidupan makin baik, dan seterusnya, dan seterusnya.

 

Dalam pidato yang saya sampaikan pada tanggal 20 Mei yang lalu, ada dua hal yang amat penting yang ingin saya garis bawahi. Pertama, sebuah pertanyaan, bisakah negara kita, Indonesia ini menjadi negara maju dan sejahtera di abad 21? Seratus tahun ke depan, bisa kah? Ini pertanyaan kita yang juga harus kita jawab. Ya kedua pertanyaannya, untuk menuju negara maju dan sejahtera itu, apa modal utama? Apa syarat-syarat fundamentalnya? Yang kedua ini modal utama kita, syarat-syarat fundamental sangat menentukan apakah kita bisa menjadi negara maju dan sejahtera. Tiga syarat fundamental itu tiada lain adalah kita harus memiliki kemandirian yang semakin tinggi, kita harus memiliki daya saing yang semakin kuat, dan yang tidak kalah pentingnya kita harus memiliki peradaban bangsa, terhormat, civilitation.

 

Menyangkut kemandirian dan menyangkut daya saing sudah sangat sering kita bicarakan, bapak, ibu, dan hadirin sekalian sudah memahami makna dari kemandirian dan daya saing itu. Pada forum yang mulia ini, sesuai dengan tema yang saudara-saudara angkat, saya ingin menyampaikan pandangan, pikiran, sekaligus ajakan dan harapan saya kepada para pemimpin agama dan seluruh rakyat Indonesia menyangkut upaya kita membangun peradaban bangsa yang makin tinggi, yang makin mulia.

 

Banyak elemen yang menyangkut civilitation. Pertama, nilai, jati diri, dan karakter bangsa yang luhur dan terhormat, kita punya sesungguhnya, tinggal apakah kita pandai mempertahankannya. Yang kedua, semangat dan etos kerja yang kuat dan gigih, dan bukan karakter bangsa yang lemah dan mudah menyerah. Kita kenal, konon bangsa Korea, bangsa Jepang, bangsa-bangsa tertentu memiliki etos kerja dan semangat yang tinggi, kita pun bisa membangun karakter itu.

 

Ketiga, masuk dalam civilitation adalah persaudaraan dan kerukunan diantara kita, makin rukun, makin bersatu, makin kuat, sebaliknya, makin berjarak, makin bermusuhan, dalam tanda kutip makin lemah bangsa itu kita pastikan. Yang keempat adalah tanggung jawab untuk memelihara kelestarian lingkungan. Saatnya telah tiba, akibat kesalahan di waktu yang lalu, lingkungan kita rusak, dampaknya kita rasakan, dan kalau berlanjut anak cucu kita akan lebih menderita. Masuk civilitation, masuk peradaban yang mulia, tanggung jawab dan aksi nyata untuk memelihara lingkungan hidup.

 

Yang kelima, bangsa yang berperadaban baik ketika menghadapi konflik dan mengatasi masalah, mengedepankan cara-cara yang damai, cara yang demokratis, dan cara-cara yang beradab, bukan cara-cara yang mengedepankan kekerasan, yang mengabaikan dan melanggar pranata agama, pranata sosial, dan pranata hukum. Bisa kita menyelesaikan masalah secara damai. Kemudian yang keenam, dalam dunia yang telah berubah dan akan terus berubah, warna kita, identitas kita, keindonesiaan kita, kebangsaan kita harus terus kita jaga.

 

Hadirin tahu bahwa dunia ini makin gaduh, lihat konflik di berbagai belahan dunia, makin panas, climate change, global warming, makin penuh sesak, 6.5 milyar manusia berebut energi, berebut pangan. Ini bukan mimpi, ini bukan ilusi, ini bukan alam yang tidak riil, ini riil, kita hidup dalam dunia seperti ini, jangan terlambat mengetahui bila ada persoalan besar yang kita hadapi, yang tentunya saya berharap kita bersama-sama mampu menyelamatkan diri, bangsa ini, dan kemudian membangun bersama-sama menuju cita-cita kita, cita yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa.

 

Mengapa sekali lagi saya garis bawahi pentingnya membangun peradaban ini? Saya punya keyakinan, peran agama sangat-sangat penting, watak, jati diri, nilai dan semuanya tadi, ajaran agama merupakan sumber dan rujukan membangun civilitation, membangun peradaban bangsa yang mulia. Dan peran pemuka agama, bapak-ibu sekalian, dalam membimbing umat juga sangat-sangat penting. Tiga-tiga inilah yang akan menjadi pilar dalam membangun peradaban yang dikontribusikan oleh agama dan para pemuka agama.

 

Kalau saya perluas, membangun peradaban bangsa, saya juga sangat mengandalkan satu, para pemuka agama, dua, para pendidik yang mengelola, mengajari, membimbing anak-anak kita sejak TK, SD, SMP, SMA, sampai universitas, dan para orang tua yang memberikan sejak dini nilai-nilai moral, nilai-nilai agama, akhlak, dan budi pekerti yang luhur. Tiga-tiga itulah yang menjadi pilar penting dalam membangun peradaban bangsa yang sama-sama kita lakukan dengan baik ke depan ini.

 

Bapak-ibu, hadirin yang saya muliakan,

 

Sesuai dengan tujuan dan tema pertemuan besar ini, di samping yang saya sampaikan tadi tentang refleksi 100 tahun perjalanan bangsa, tentang bagaimana kita bisa membangun kemandirian, daya saing, dan peradaban bangsa agar kita betul-betul bisa menjadi negara maju dan sejahtera di abad 21 ini, maka saya ingin mengedepankan dua hal lagi. Saya angkat sebagaimana tadi yang disampaikan oleh Saudara Slamet Effendi Yusuf, pertama tentang komitmen kebangsaan, saya sungguh bergembira para pemuka agama mengangkat tema komitmen kebangsaan ini. Dan yang kedua nanti, apa yang mesti kita lakukan bersama, konkrit, nyata, riil, terutama para pemimpin dan pemuka agama.

 

Masalah komitmen kebangsaan, pada tanggal 1 Juni tahun 2006, dua tahun yang lalu, dalam sebuah Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, saya menyampaikan pidato kalau masih ingat sebagian dari bapak-ibu yang saya hormati, yang saya beri judul “Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila”. Saya katakan waktu itu diantaranya, menyangkut kebangsaan, menyangkut semangat, wawasan dan rasa kebangsaan, apapun identitas kita, agama, etnik, suku, daerah, kita adalah bangsa Indonesia. Meskipun ada ikatan kita dengan komunitas internasional, ikatan keislaman dunia, ikatan kekristenan dunia, ikatan ketionghoaan dunia, dan macam-macam ikatan karena kita hidup dalam perkampungan global, tetaplah, dan haruslah ikatan kebangsaan kita lebih kuat, mesti lebih kuat dibanding ikatan-ikatan. Sekarang demokrasi, hak asasi manusia, pasar terbuka menjadi semacam ideologi yang dianut oleh semua bangsa. Elemen di dalam negeri kita ada yang sangat mendukung, setia pada nilai-nilai itu, saya mengingatkan tetaplah ikatan kebangsaan kita, keindonesiaan kita lebih kuat di atas berbagai ikatan-ikatan global itu.

 

Ini akhirnya cek list, pertanyaan kritis untuk mengukur apakah kita memiliki semangat, wawasan, dan rasa kebangsaan yang tinggi, itu saja. Kalau dua ini jawabannya ya, kita tetap bangsa Indonesia apapun identitasnya. Ya, kita tetap bangsa Indonesia meskipun kami punya ikatan-ikatan dengan komunitas internasional. Saya ingin, mari kita pelihara, kita pupuk, kita suburkan kesan kebangsaan ini, tidak perlu ada dekotomi, tidak perlu ada konflik, tidak perlu ada jarak, menyatu, inilah pilihan kita, inilah ideologi kita, inilah sistem kita, tidak perlu habis waktu kita untuk melihat hubungan agama dengan negara, sudah sangat indahnya, sudah sangat harmonisnya kita meletakkan dalam bingkai kehidupan bernegara yang sama-sama kita jalankan.

 

Bapak-ibu, hadirin yang saya hormati,

 

Lantas, apa yang mesti kita lakukan bersama, terutama permohonan saya kepada para pemimpin, pemuka, dan tokoh agama. Sederhana sekali, marilah kita menjadi contoh dan memberi contoh. Para pemimpin agama jadilah contoh dan berikan contoh. Jika kita ingin akhlak dan budi pekerti umat baik, akhlak dan budi pekerti rakyat kita baik, termasuk sikapnya, tutur katanya, perilakunya yang mencerminkan kehidupan yang religius, ayo mari kita berikan contoh, mari kita menjadi contoh, jika kita ingin umat kita memiliki moral keagamaan yang kuat, sekaligus rasa kebangsaan yang kokoh yang menjadi tema dari pertemuan besar ini, ya mari kita menjadi contoh dan kita berikan contoh.

 

Jika kita ingin umat kita menyelesaikan permasalahan termasuk konflik secara damai tanpa kekerasan, sebagai pemimpin mari kita menjadi contoh, memberi contoh, dan ikut memimpin, membimbing, menyelesaikan masalah itu secara damai tanpa kekerasan. Dan di atas segalanya, karena berkaitan dengan aspek kejiwaan, aspek rohani, aspek moral, aspek spiritual yang akan diwujudkan dalam sikap, perilaku, dan perbuatan umat, rakyat, bangsa kita, kita juga harus menjadi contoh dan memberi contoh bahwa kita semua memiliki jiwa yang terang, memiliki pikiran yang positif, dan memiliki sikap yang optimis.

 

Sepertinya sangat idealis, tidak, bisa kita praktekkan, apalagi para pemuka agama, para pemimpin agama yang tentu memiliki tingkat spiritualitas, moralitas, nilai-nilai keagamaan yang tinggi, sangat bisa untuk diwujudkan dalam membimbing umat, membimbing kehidupan bangsa kita. Saya sekali lagi sangat-sangat berharap semua itu dapat diwujudkan.

 

Sebelum saya mengakhiri sambutan saya ini, saya ingin merespon apa yang disampaikan oleh Saudara Slamet Effendi Yusuf tadi. Saya juga bersetuju untuk mencegah dan membuktikan bahwa itu tidak terjadi di negara kita paling tidak, syukur-syukur di dunia, yang disebut dengan class of civilitation, dengan cara kita membangun harmoni among civilitation, harmoni antar peradaban dan bukan benturan antar peradaban. Dengan cara-cara yang riil, dengan cara-cara yang konkrit, dengan cara-cara yang nyata, kalau tidak, terjadi betul yang ditesiskan oleh Huntington. Saya banyak sekali berkomunikasi dengan para pemimpin komunitas dunia, saya baca-baca ya, apakah dari Asia, dari negara-negara Islam, dari Eropa, dari Amerika, dan belahan-belahan lain, saya konsisten mengatakan kalau kita tidak sungguh-sungguh memelihara harmoni among civilitation, yang terjadi benar-benar class of civilitation. Tidak bisa datang dengan sendirinya, taken for granted, harus kita lakukan upaya yang sangat-sangat serius. Negara kita ini, ini saya laporkan kepada pemimpin dan pemuka agama, banyak diharapkan untuk berperan secara lebih luas.

 

Indonesia dikenal sebagai negara yang moderat, bisa bersahabat dengan peradaban manapun, bisa bersahabat dengan negara bangsa manapun, kehidupan antar umat beragama pun dianggapnya rukun, damai, penuh dengan harmoni dan toleransi. Indonesia karena penduduknya sebagian besar Islam, Muslim, Indonesia juga dipandang sebagai sebuah negara dimana Islam, demokrasi, dan modernitas bisa berjalan seiring sejalan dalam kedamaian dan harmoni.

 

Ini berat, ini tantangan, sambil bersyukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’aala, kalau bangsa lain melihat kita punya potensi, punya modal, punya karakter seperti itu, mari kita buktikan bahwa itu benar, dengan pertama-tama menjalankan semuanya itu di negeri sendiri, setelah itu bersama-sama dengan masyarakat global.

 

Selama saya mengemban amanah selama tiga setengah tahun ini banyak sekali komunikasi saya dan rata-rata saya menerima komunikasi itu, telepon, minggu ini saja ada, dua minggu ini ada tiga atau empat pemimpin dunia yang berkomunikasi ke saya, karena berharap Indonesia itu bisa mengambil peran yang bagus, Sekjen PBB, Perdana Menteri Australia, Perdana Menteri Inggris, beberapa saat yang lalu sebetulnya Perdana Menteri Lebanon, dan beberapa pihak yang ingin berkomunikasi dengan kita untuk Indonesia itu bisa berbuat misalnya memastikan bahwa penanganan badai di Myanmar apakah dapat dilaksanakan dengan baik, ini contoh bagaimana kita diharapkan bisa berperan lebih luas, belum peran-peran yang lain. Ketika saya menghadiri Konferensi Organisasi, Organisasi Konferensi Islam, OKI, di Dakkar, Senegal, saya juga bertemu dengan para pemimpin negara-negara Islam, mereka pun juga ingin bagaimana Indonesia ini, sekali lagi demokrasi Islam dan modernitas itu ternyata bisa hidup berdampingan secara baik.

 

Saya ingin membagi semua ini, membagi harapan komunitas internasional terhadap negeri kita, terhadap bangsa kita, kita bersyukur, jangan kita sia-siakan dengan terlebih dahulu menjalankan, membuktikan semua itu dapat kita hadirkan di negeri tercinta ini. Dengan demikian, kita akan tegakkan harkat dan martabat kita akan semakin tinggi, kita di manapun hadir pada kegiatan internasional selalu mendapatkan pandangan yang positif dari sahabat-sahabat kita.

 

Inilah bapak-ibu, hadirin sekalian yang saya sampaikan, sebagai rasa terima kasih dan penghargaan saya terhadap prakarsa yang bapak-ibu ambil untuk melakukan pertemuan besar ini, semoga bukan hanya pertemuan besar tapi kebersamaan pemuka agama untuk berperan serta secara konstruktif di negeri ini dapat lebih mempercepat perwujudan cita-cita kita menuju negara yang maju dan sejahtera, dan saya berharap para pemimpin dan pemuka agama untuk terus melakukan perannya dengan nyata. Tidak mudah, tantangan yang besar dan berat, badai kadang-kadang menghadang, tapi percayalah dengan terus memohon petunjuk dan bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Subhanahu wa Ta’aala, kita akan terus dibimbing untuk menyelesaikan masalah itu, membangun masa depan kita bersama yang kita cita-citakan.

 

Demikian, terimakasih.

 

Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Biro Naskah dan Penerjemahan,
Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,
Sekretariat Negara RI