Peran Data Dalam Perumusan Kebijakan

 
bagikan berita ke :

Senin, 26 September 2022
Di baca 4925 kali

“Data merupakan hal paling penting dalam pengambilan kebijakan. Suatu negara dapat memenangkan perang hanya dengan mengetahui posisi strategis menyerang lawan.”

 

Menurut Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Peningkatan Daya Saing, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres), Guntur Iman Nefianto, “Data dan informasi merupakan isu yang sangat seksi dan menjadi milestone di beberapa negara, seperti pemenangan peperangan, pemenangan pemilu, hingga sebagai solusi bagi permasalahan ekonomi”. Guntur pun memberikan beberapa contoh, di antaranya seperti yang terjadi pada perang Arab-Israel, pemenangan pemilu oleh Donald Trump, dan yang baru saja mayoritas masyarakat Indonesia rasakan yaitu kasus minyak goreng hingga subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Data dan informasi perlu digali secara benar agar pengambilan keputusan tidak salah. Namun demikian, parameter yang digunakan dalam memperoleh data dan informasi harus dapat dipenuhi.

 

Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) dan Keputusan Presiden (Keppres), Wakil Presiden menerima mandat untuk mengatur beberapa urusan, seperti masalah kemiskinan, stunting, kesejahteraan Papua, pertimbangan tentang otonomi daerah, pembinaan olahraga, dan lain sebagainya. Sejalan dengan hal tersebut, para Pejabat Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) di Setwapres pun menyadari pentingnya data dan informasi dalam memberikan dukungan analisis kepada para Pejabat Pratamanya berupa perumusan kebijakan terkait tugas Wakil Presiden. Oleh karena itu, Kedeputian Bidang Pembangunan Manusia dan Peningkatan Daya Saing menggelar Webinar Seri 1 bertema Pemanfaatan Data dan Informasi Untuk Bahan Kebijakan pada Senin (26/09).

 

Kegiatan webinar ini menghadirkan Chief Executive Officer (CEO) KataData Metta Dharmasaputra dan Direktur Diseminasi Statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) Dwi Retno Wilujeng Wahyu Utami sebagai narasumber. Webinar ini diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas pejabat fungsional, khususnya JFAK agar mendapatkan pengetahuan dari pengalaman para narasumber dalam mengelola data.

 

Saat ini pertumbuhan pengguna internet di Asia Tenggara naik enam kali lipat dibandingkan pertumbuhan pengguna internet sebelum adanya pandemi. Namun, literasi pengguna internet dalam mempercayai berita yang valid masih rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan KataData Insight Center (KIC), 60% penduduk Indonesia masih percaya hoaks.

 

Metta mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman KataData dalam menggali informasi yang akan disajikan di media digital, Indonesia belum memiliki data yang baik dan terpadu. Padahal data sangat diperlukan bagi sebuah lembaga publik dalam menentukan arah kebijakan di masa depan.

 

Derasnya informasi yang lalu lalang di berbagai platform media juga nantinya akan membuka harapan ke depan. Dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, media akan bergerak dari data driven menjadi research based. Dengan semakin gencarnya pemanfaatan media sosial dalam menyampaikan data hasil riset, apabila media tidak ikut bertransformasi maka lambat laun data yang tidak berdasarkan hasil riset tersebut akan terdegradasi.

 

Namun demikian, Metta optimis bahwa hoaks yang sering kali menimbulkan perpecahan di masyarakat akan dapat diminimalisir karena adanya peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Tentu saja caranya dengan menyajikan data dan informasi yang benar melalui platform media sosial secara menarik dan interaktif.

 

Dalam webinar 1 ini, Dwi Retno memaparkan mekanisme kerja BPS berdasarkan Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Dalam Perpres tersebut BPS ditunjuk sebagai lembaga pengelola data, Satu Data Indonesia. BPS bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengelola data terindeks. Data-data BPS tersebut tersedia di website bps.go.id dan dapat diakses melalui gawai (mobile phone) atau didapatkan melalui penandatanganan kerja sama (Memorandum of understanding/MoU) untuk permintaan data spesifik.

 

Saat ini sistem pengumpulan data yang dilakukan oleh BPS dilakukan dengan metode canvassing, yakni dengan melakukan sensus, survei, kompilasi produk administrasi, atau dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Diakui oleh BPS bahwa survei hanya merupakan data pelengkap. Data utama berdasarkan sensus penduduk dan data dari Kementerian/Lembaga (K/L) pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Metode canvassing beranggaran tinggi dan memiliki time lag (selisih waktu) sehingga sering tidak up to date.

 

Menurut Dwi, dibandingkan dengan metode canvassing, Pusat Data Korea Selatan yang pernah dikunjungi, menerima data dari berbagai kementerian maupun per wilayah secara inter-operationalizing. Data dikumpulkan oleh para manajer di departemen secara rutin, merupakan data valid yang dapat dipercaya.

 

Asisten Deputi Industri, Perdagangan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif, Setwapres Muchammad Zulkarnain menyampaikan apresiasinya kepada kedua narasumber yang telah memberikan wawasan kepada peserta. Muchammad pun mengatakan bahwa dalam merumuskan kebijakan perlu paradigma baru, yakni data harus berasal dari sumber yang kredibel, data dikemas dalam konten yang jelas dan terstruktur, bukannya berupa penumpukan data tanpa arti. Perumusan kebijakan saat ini tidak perlu panjang, bahkan cukup satu atau dua lembar, tetapi berkualitas dan berisi.

 

Para perumus kebijakan menyadari betapa krusialnya data dalam perumusan kebijakan. Tidak terkecuali bagi para JFAK di Setwapres yang terlibat dalam proses penyiapan bahan kebijakan bagi Presiden dan Wakil Presiden. Indonesia memiliki banyak data yang penting dan krusial. Selain itu, kehadiran orkestrator yang handal dalam pengelolaan big data kementerian dan lembaga, baik pusat dan daerah sangat diperlukan sehingga Indonesia Satu Data dapat segera terwujud dan terimplementasi dengan baik. (Thetanaya_Asisten Deputi Industri, Perdagangan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif, Setwapres)

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
21           10           1           6           8