Protokol Perlu Fleksibel

 
bagikan berita ke :

Rabu, 12 April 2017
Di baca 10514 kali

Secara definisi protokol adalah seperangkat aturan tentang perilaku dalam tata kehidupan resmi dan dalam upacara yang melibatkan pemerintah dan negara serta wakil–wakilnya. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010, Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat. Karena definisi itu pula protokol, sering identik dengan kata kaku.

 

Tata Tempat dalam keprotokolan mengatur bagaimana menempatkan seseorang berdasarkan preseance-nya. Kata preseance berasal dari bahasa Perancis atau dalam bahasa Inggris precende yang artinya urutan. Orang yang mendapat tempat untuk didahulukan adalah seseorang karena jabatan, pangkat, atau derajat di dalam pemerintahan atau masyarakat. “Apabila jumlah pejabat yang hadir genap maka orang nomor dua ada disebelah kiri orang nomor satu, sementara bila jumlahnya ganjil, maka orang nomor dua ada disebelah kanan,” jelas Yayat.

 

Elemen kedua adalah Tata Upacara. Elemen ini adalah aturan untuk melaksanakan upacara dalam acara kenegaraan atau acara resmi. Di dalamnya dibagi menjadi dua jenis, yakni upacara bendera dan non upacara bendera.

 

Ketiga adalah Tata Penghormatan. Penghormatan dibagi menjadi dua bentuk, yakni penghormatan kepada “Orang” atau subjek sesuai dengan status, kedudukan, jabatan, dalam upacara, dan acara resmi kedinasan. Bentuk penghormatan yang kedua adalah penghormatan kepada “Lambang Negara” atau objek seperti Bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dan gambar Presiden dan Wapres.

 

Tak Harus Kaku

 

Di luar semua peraturan yang ada, Kepala Bagian Acara, Sekretariat Presiden, Yayat Hidayat merasa protokol juga harus bisa fleksibel. Bahkan menurutnya, protokol juga memiliki seni tersendiri agar bisa dilaksanakan. “Protokol juga sebagai seni, dimana bahwa kita juga harus luwes. Secara keilmuan kaku, tapi kita juga namanya pelayanan,” ujarnya. Ini ia ungkapkan saat memberi paparan kepada belasan anggota delegasi PT. Angkasa Pura II, Rabu (12/4). Sudut pandang yang tidak biasa memang, namun Yayat bisa menjelaskannya sehingga lebih masuk akal.

 

Menurut Yayat, protokol menjalankan fungsi yang strategis, bisa dibilang protokol merupakan unit yang selalu melekat dengan pimpinan. “Segala apa yang disiapkan, apa yang disajikan kepada Presiden, Presiden tahunya protokol. Listrik mati, AC gak dingin ya protokol,” ungkapnya. Karena sifatnya yang seperti itu membuat protokol harus mengetahui apa yang diinginkan oleh pimpinan. Inilah salah satu alasan megapa protokol harus bisa fleksibel, keinginan pimpinan juga harus diakomodir. Namun protokol harus mampu menjaga agar keinginan tersebut tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Saat melayani pimpinan sudah disiapkan jalan ke sini, tau-tau jalan ke sana. Masa kita mau bilang Bapak tidak boleh ke sana. Sejauh jalan ke sananya tidak melanggar, tidak membahayakan,” ungkap Yayat sambil tersenyum.

 

Selain karena keinginan pimpinan, hal lain yang membutuhkan fleksibilitas protokol adalah dasar nonyuridis seperti adat istiadat, nilai sosial dan budaya, asas timbal balik/resiprositas, kaidah agama, dan  logika umum. Protokol harus bisa menyesuaikan agar bisa diterima oleh tempat di mana acara dilaksanakan. Misalnya memakai pakaian daerah masyarakat yang dikunjungi akan memberikan nilai lebih bagi kehadiran Presiden saat itu. (MAP – Humas Kemensetneg)

 

 

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
20           31           8           5           14