Sambutan Presiden RI pada Rapim TNI, 25 Januari 2010

 
bagikan berita ke :

Senin, 25 Januari 2010
Di baca 929 kali

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA ACARA

RAPAT PIMPINAN TNI TAHUN 2010

AULA GATOT SUBROTO MABES TNI CILANGKAP

25 JANUARI 2010

 

 

Bismillahirrahmanirrahim,

Assamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

 

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu,

 

Hari ini saya mengajak Menteri yang memiliki kaitan fungsi, tugas dan tanggung jawab dengan bidang pertahanan, termasuk dengan TNI, yaitu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Negara Badan-badan Usaha Milik Negara, dimana industri-industri strategis dan industri pertahanan di bawah pengelolaan dan koodinasi Menteri Negara BUMN,

 

Saudara Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, beserta para Pimpinan dan Pejabat Utama jajaran TNI yang saya cintai dan saya banggakan,

 

Marilah sekali lagi, kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan ridho-Nya, kita semua masih diberikan kesempatan dan kekuatan, untuk melanjutkan tugas dan pengabdian kita kepada bangsa dan negara tercinta.


Para Perwira yang saya cintai,

 

Kalau kita memasuki gerbang Markas Besar TNI di Cilangkap ini, sebelah kiri, kita melihat ada 3 monumen, Monumen Trikora, Monumen Dwikora dan Monumen Seroja. Latar belakang kita bangun monumen waktu itu, karena saya ikut di dalam upaya untuk menghadirkan ketiga monumen itu. Pertama-tama, dilatarbelakangi oleh hadirnya Timor Leste sebagai negara yang berdaulat. Sedangkan prajurit-prajurit terbaik Indonesia banyak yang gugur di Timor Leste, dan sekarang Taman Makam Pahlawan, prajurit-prajurit kita masih berada di sana. Oleh karena itu, kita dirikan Monumen Seroja. Dengan demikian, bagi keluarga yang tidak bisa berziarah, ke Dili dan kota-kota yang lain, kita harapkan bisa berkunjung ke monumen itu. Kemudian pemikiran berikutnya lagi adalah kalau kita punya Monumen Seroja, mestinya kita juga punya Monumen Trikora dan Dwikora. Tetapi yang ingin saya sampaikan bukan itu, kalau kita datang kemudian membaca apa yang terjadi di Operasi Mandala, baik Operasi Dwikora, Operasi Trikora dan Operasi Seroja, maka kita dapat memetik pelajaran bahwa, pertama bagi politisi, di dalam memutuskan untuk sebuah peperangan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan perubahan sebanyak 4 kali, dikatakan di pasal 11, Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang dan seterusnya. Berarti, keputusan untuk melakukan peperangan itu berada di tangan para pemimpin politik. Pemimpin politik dalam arti yang diberikan mandat oleh rakyat untuk memimpin, dalam hal ini, Presiden dan juga Dewan Perwakilan Rakyat, yang semuanya sesungguhnya dipilih oleh rakyat. Maknanya, dalam mengambil keputusan untuk melancarkan peperangan, harus mempertimbangkan semua aspek, semua faktor karena dampaknya, terlihat sebagaimana, antara lain yang ada di monumen-monumen itu.

 

Setelah keputusan politik diambil, maka pemimpin militer di negeri kita, para pemimpin TNI, melaksanakan keputusan politik itu, sama dengan keputusan negara untuk menjalankan operasi militer. Di sini diperlukan strategi, taktik, teknik, termasuk kepemimpinan, manajemen, serta komando dan pengendalian yang baik, agar perang itu menang, berhasil, dan kemudian bisa mengurangi jatuhnya korban jiwa. Melihat apa yang ada di monumen-monumen itu, bagi para jenderal, laksamana dan marsekal, juga bisa mengambil hikmah, memetik pelajaran, memahami betapa operasi militer itu memiliki akibat, dampak yang tidak kecil, karena berkaitan dengan jiwa raga para prajurit, prajurit Tentara Nasional Indonesia.

 

Saya berharap monumen yang sudah dihadirkan di pelataran Markas Besar TNI ini, bisa didayagunakan dengan baik. Saya kira Panglima TNI, para Kepala Staf Angkatan bisa menugasi para siswa di jajaran TNI untuk juga bisa berkunjung ke monumen itu, kemudian diberikanlah pekerjaan rumah, apapun namanya sehingga dia bisa melihat langsung causes, akibat, dampak dari satu keputusan politik, dan dari pelaksanaan operasi militer yang dijalankan oleh jajaran TNI.

 

Para Peserta Rapim yang saya cintai,

 

Saya datang ke Cilangkap ini, dulu, awal dari pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu yang pertama. Saya datang lagi kali ini, juga pada awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu yang kedua. Tentu ada tujuannya, agar Saudara mengetahui agenda utama pemerintah 5 tahun mendatang, sehingga TNI bisa ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyuksesan agenda negara, utamanya agenda pemerintah itu.


Sebagaimana yang sudah Saudara ketahui, bahwa pembangunan 5 tahun mendatang pada hakekatnya mengagendakan tiga hal utama. Pertama, melanjutkan dan meningkatkan pembangunan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Tentu ini memiliki cakupan yang luas, sebagaimana yang kita kenal sebagai agenda pembangunan selama ini, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.


Agenda yang kedua, atau pilar yang kedua, adalah demokrasi. Dalam arti kita ingin mengembangkan, mematangkan, dan memantapkan kehidupan demokrasi di negeri ini. Demokrasi yang membawa manfaat nyata bagi rakyat kita, demokrasi di satu sisi menghadirkan kebebasan atau freedom, serta hak-hak politik rakyat kita, tetapi di sisi lain, sekaligus menghadirkan kepatuhan pada pranata atau rules, termasuk rule of law, sehingga terjadi harmoni, keserasian dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

 

Sedangkan agenda ketiga, atau pilar ketiga, adalah keadilan, justice. Kita ingin pembangunan itu makin ke depan makin adil, makin merata dan makin inklusif. Yang sering saya sebut pembangunan untuk semua, development for all. Kita ingin seluruh daerah di negeri kita ini tumbuh, dengan demikian peningkatan kesejahteraan rakyat juga dirasakan oleh semua, tidak ada diskriminasi, semua mendapatkan persamaan dalam kesempatan dan perlakuan yang baik, termasuk pelayanan kepada rakyat kita. Justice harus kita maknai seperti itu. Oleh karena itu, bisa kita sebut bahwa pilar utama pembangunan 5 tahun mendatang adalah economy for prosperity, kemudian democracy, dan yang ketiga adalah justice.

 

Tentu saja dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah saya tetapkan dan akan segera kita berlakukan. Kemudian dari RPJMN 2009-2014 itu akan dijabarkan lagi dalam rencana-rencana induk, rencana-rencana yang lebih rinci, termasuk tiap tahun ada RKP dan ada APBN. Semua itu bagian dari manajemen pembangunan yang kita jalankan dengan intensif di seluruh wilayah Indonesia agar bisa mencapai hasil yang setinggi-tingginya.


Masih berkaitan dengan pembangunan kita lima tahun mendatang, para perwira, belajar dari pengalaman pembangunan lima tahun yang lalu atau periode Kabinet Indonesia Bersatu I, saya telah menjadikan tiga hal ini menjadi bagian penting dari manajemen pembangunan, yaitu yang saya sebut dengan debottlenecking. Di waktu yang lalu banyak sekali sumbatan-sumbatan, kemacetan-kemacetan, kemandekan-kemandekan dari pembangunan, termasuk yang ada di daerah-daerah, karena misalnya tumpang tindih penggunaan lahan, peraturan yang saling kontradiktif satu sama lain, kemudian mekanisme pengambilan keputusan yang tidak tertib dan sebagainya. Akibatnya ekonomi kita terhambat untuk mencapai hasil yang paling maksimal. Oleh karena itu, limatahun ke depan kita harus melakukan upaya debottlenecking supaya tidak ada lagi sumbatan-sumbatan yang prinsip dalam pelaksanaan pembangunan.

 

Disamping itu, dengan peningkatan keperluan masyarakat kita, harapan yang lebih tinggi dari rakyat kita, maka saya juga menetapkan yang saya sebut dengan proses peningkatan sasaran. Contoh, setelah --alhamdulillah-- lima tahun ini ekonomi kita tumbuh baik dibandingkan dengan negara lain di waktu krisis. Misalnya, kita tetap tumbuh positif, nomor tiga di antara negara-negara G-20 setelah Tiongkok dan India. Kemudian lima tahun terakhir kemiskinan kita menurun, pengangguran juga menurun. Oleh karena itu, dengan asumsi, dengan beranggapan tidak ada lagi krisis global atau global shocks seperti yang terjadi 5 tahun yang lalu, bahkan masih kita rasakan tahun ini, kita menetapkan sasaran yang lebih tinggi untuk pertumbuhan ekonomi kita, yaitu pada tahun 2014, kita harapkan ekonomi kita sudah tumbuh 7%. Demikian juga pengangguran harapan kita turun menjadi sekitar 6% dari sekarang 8,1%. Angka pengangguran 8,1% itupun dibandingkan negara lain yang meledak penganggurannya karena krisis, kita dalam keadaan relatif terkendali. Harapan kita lebih susut lagi atau lebih banyak lagi lapangan pekerjaan yang bisa kita ciptakan.

 

Demikian juga kemiskinan, angkanya terus susut, kita berharap nanti sekitar 8 sampai 10%. Harapan kita, susut dari sekarang yang angkanya sekitar 14, sekian persen. Jadi peningkatan sasaran, enhancement, promotion, dari apa yang telah kita capai lima tahun yang lalu. Masih satu lagi, setelah debottlenecking, enhancement, ada lagi satu acceleration, proses yang bisa kita percepat, harus kita percepat, terutama implementasi pembangunan di daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Kita tidak ingin menganut business as usual, sekedar jalan begitu. Harus cepat, harus meningkat, dengan demikian, kita bisa mencapai sasaran yang setinggi-tingginya.


Dengan penjelasan itu, para Perwira yang saya cintai, agar ketiga agenda pembangunan bisa kita laksanakan dengan baik, termasuk debottlenecking, enhancement, dan acceleration tadi, maka yang kita perlukan tiada lain adalah lingkungan dalam negeri yang aman dan stabil. Tidak ada negara di dunia ini, apakah negara di dunia timur, dunia barat, dunia Islam ataupun di wilayah yang lain, yang bisa membangun dengan baik, yang keadaan dalam negerinya kacau, tidak stabil, tidak aman. Oleh karena itu, klop dengan apa yang menjadi pemahaman para perwira pimpinan TNI, bahwa negara mana pun, negara maju, negara berkembang, negara kurang berkembang, memerlukan lingkungan dalam negeri yang kondusif untuk itu, yaitu yang aman dan stabil.

 

Kemarin, saya kira para Perwira mengikuti, pada hari Kamis, para Pemimpin Lembaga-lembaga Negara melaksanakan pertemuan di Istana Bogor yang saya pimpin selaku Kepala Negara. Saya dengan didampingi oleh Wakil Presiden, bertemu dengan para Pemimpin Lembaga Negara, Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua BPK dan Ketua Komisi Yudisial. Diantara banyak hal yang kami bicarakan dalam pertemuan di Bogor dan ada pertanyaan di luar itu prakarsa siapa. Sudah saya sampaikan bahwa prakarsa untuk menjalin komunikasi itu, pertama-tama justru datang dari para pemimpin lembaga negara itu. Beliau-beliau berkumpul lebih dahulu, kemudian berkomunikasi dengan saya, apakah bisa kita memelihara komunikasi, tanpa mengintervensi, tanpa mencampuri urusan masing-masing, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Tentu saja saya merespon dan menyambut secara positif dan singkat kata kami laksanakan pertemuan kemarin di Bogor.

 

Dalam pertemuan itu, kami bersepakat bahwa meskipun negara atau kehidupan politik, kehidupan demokrasi dan situasi negara itu bisa sangat dinamis, tetapi yang namanya stabilitas nasional harus bisa kita jaga, apakah stabilitas politik, stabilitas sosial, maupun stabilitas keamanan. Mengapa? Ya agar semua program-program pembangunan bisa dilanjutkan dan ditingkatkan dan rakyat kita merasa tenteram, tidak cemas, dan bisa menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan baik.

 

Dalam pertemuan itu, kami juga bersepakat, bahwa, meskipun kadang-kadang suhu politik memanas, paling tidak menghangat seperti sekarang ini, terutama politik di ibukota dan di kota-kota besar, semua penyelenggara negara harus tetap menjalankan tugas dan kewajiban dengan sebaik-baiknya, tidak boleh terhambat, tidak boleh terganggu. Dan yang ketiga, kami berpendapat, kemarin di Bogor, kalau ada permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita, oleh negara kita, apakah permasalahan politik, permasalahan sosial, permasalahan hukum, permasalahan keamanan, sekiranya atau kiranya dapat diselesaikan sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan, rujukannya Undang-Undang Dasar, Undang-undang peraturan yang berlaku, sehingga penyelesaian masalah itu jernih, kontekstual, tidak ada komplikasi lain yang memang tidak diperlukan dalam penyelesaian sebuah masalah, apapun jenis dan ragam persoalan itu.

 

Saya kira itu satu cara pandang, kesadaran dan komitmen yang tepat di antara kami semua, para pemimpin lembaga negara yang seungguhnya mendapatkan amanah dan kewajiban yang telah diatur oleh konstitusi kita. Oleh karena itu, di akhir ceramah nanti, karena kemarin juga dibicarakan, saya ingin menjelaskan tiga isu, barang kali sedang in sekarang ini, yaitu kasus Bank Century, yang kedua, kasus perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan Tiongkok atau Republik Rakyat Cina, dan kemudian yang ketiga tentang sistem dari kabinet presidensil sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan yang kita anut. Pemahaman para Perwira terhadap tiga isu ini penting untuk bisa dijelaskan kepada jajaran masing-masing, baik di lingkungan Mabes TNI, di masing-masing angkatan, Departemen Pertahanan, dan di tempat-tempat lain dimana para Perwira bertugas.

 

Para Peserta Rapim yang saya cintai,

 

Setelah saya menjelaskan tentang agenda utama kita lima tahun mendatang, baik yang berkaitan dengan pembangunan maupun yang berkaitan dengan pengelolaan kehidupan bernegara, saya ingin menyampaikan satu hal lagi, yang saya pikir tepat untuk para Perwira Senior, Saudara-saudara, para Jenderal, Laksamana dan Marsekal memahami untuk keperluan pembinaan tentara kita, sekaligus untuk pengembangan doktrin, strategi, taktik, termasuk pendidikan dan pelatihan, karena semua itu memiliki kaitan dengan tugas-tugas pertahanan dan keamanan negara, baik itu yang bersifat operasi militer untuk perang, maupun operasi militer selain perang, sebagaimana tadi disampaikan oleh Panglima TNI.

Yang ingin saya sampaikan adalah, kalau kita melihat ke depan, 10, 20, 30 tahun dari sekarang atau dunia di awal abad ke-21 ini, saya ingin mengangkat satu tema, yaitu perkembangan dunia, termasuk geopolitik masa depan. Dua-duanya tidak bisa dipisahkan, geopolitik kemudian strategic environment, pada tingkat global. Kalau Saudara membaca, mengikuti perkembangan pada tingkat global, bisa mengikuti televisi, membaca surat kabar, membaca buku-buku mutakhir, utamanya tentang isu global, pertahanan, keamanan, termasuk apa yang para Perwira lakukan dalam rangka menjalin kerjasama dengan negara-negara sahabat, maka para perwira akan mengetahui yang saya sebut dengan teori dan skenario seperti apa perkembangan dunia di awal abad ke-21 ini atau geopolitik kita pada era itu.


Yang pertama, dunia kini sudah menjadi dunia multipolar. Supremasi Amerika Serikat sebelum krisis perekonomian global yang terjadi di tahun 2008-2009 dan sekarang ekornya masih kita rasakan, dimana Amerika sering disebut dengan single super power, nampaknya tidak lagi begitu, karena sekarang muncul bahwa kembali seperti abad ke-15, dunia itu adalah dunia multipolar abad pertengahan dulu. Konon ada tiga kutub kekuatan dunia, pertama Amerika sendiri, Amerika Utara, yang kedua, Tiongkok atau Republik Rakyat Cina dengan kawasan atau komunitas Asianya. Kemudian yang ketiga adalah Eropa yang sudah menyatu sekarang menjadi Uni Eropa. Jadi interplay, interaction, dari kekuatan besar inilah yang membangun geopolitik dan tatanan dunia di abad 21 ini.

 

Teori lain mengatakan, di samping ada tiga kutub kekuatan dunia itu, juga tumbuh yang disebut dengan emerging economies yang sering disebut dengan singkatan BRIC, Brasil, Rusia, India dan China. Adalagi tulisan, saya sudah membaca beberapa pikiran, bahwa I-nya pun bisa ditambah satu, Indonesia yang dalam tahun-tahun mendatang sudah akan bisa dihitung sebagai emerging economies. Setelah C, setelah China, ada yang berpendapat, S, yaitu South Africa. Jadi orang mengatakan di samping 3 kutub kekuatan dunia tadi, ditambah dengan BRICS.

 

Ada lagi yang mengatakan Timur Tengah harus dimasukkan sebagai satu pilar dalam hubungan antar bangsa, bukan hanya karena sumber energi dunia, tetapi sekarang juga ada sumber keuangan dengat petro dolarnya. Dan konon dari segi politik, dan interaksi antar peradaban atau civilizationinterplay, atau interaksi pada tingkat global tanpa memasukkan Timur Tengah sebagai sebuah pelaku utama, players, dalam hubungan internasional sekarang ini. tidak mungkin melihat

 

Ada juga yang berpendapat akhirnya nanti hanya ada dua kutub, yang disebut dengan G-2 yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok atau China. Bahkan dikatakan dua-duanya saling melengkapi, dua-duanya tidak bisa meninggalkan satu sama lain dan bahkan negara-negara lain tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa memperhitungkan G-2 ini, apakah Amerika Serikat ataupun Tiongkok.


Satu lagi untuk melengkapi, kalau kita ingin melaksanakan satu analisis siapa saja pemain utama dalam globalisasi dalam hubungan antar bangsa ataupun dalam geopolitik di abad 21 ini. Dikatakan Asia, ketika dunia mengalami krisis tahun 2008 dan 2009, ternyata, Asialah yang bertahan sebagai pilar sebagai sabuk pengamanan, tentu Tiongkok di situ, India, Indonesia, Jepang, ASEAN dan sebagainya. Saya menyampaikan seperti itu supaya para Perwira memiiliki ruang untuk menganalisis yang lengkap, yang lebih luas, yang lebih fleksibel, jangan sampai penglihatan tentang geopolitik dan dunia masa kini masih menggunakan mindset perang dingin, keliru, sudah tertinggal, sudah obsolete ataupun mindset ketika dunia belum mengalami krisis yang terakhir yang terjadi mulai 2 tahun yang lalu itu. Tolong dikemaskinikan, dimutakhirkan cara pandang Saudara, wawasan Saudara dan juga cara-cara memahami dunia yang tengah dan terus berubah.


Setelah kita memahami players, siapa actors, aktor dari hubungan internasional ini, maka Saudara tentu memiliki rasa ingin tahu, lantas ancaman atau threat terhadap security di era geopolitik seperti ini, seperti apa? Begitu. Pertama-pertama, yang saya sebut dengan ancaman masih berkisar pada peace and security, perdamaian dan keamanan di kawasan yang bergolak, Timur Tengah. Kita belum bisa mengetahui ending yang pasti dari peperangan yang ada di Irak, di Afghanistan, kemudian di Palestina, termasuk daerah-daerah panas, daerah-daerah bergolak di sekitar Timur Tengah. Banyak pihak mengatakan dalam jangka waktu 5, 10, 15 tahun ke depan, kawasan itu masih menjadi sumber ancaman terhadap international peace and security. Itu pertama.

 

Yang kedua, jangan dikira benturan antar peradaban, meskipun kita sadar sekarang ini untuk janganlah kita terus berhadap-hadapan, hostile antar satu peradaban dengan peradaban yang lain, termasuk antara dunia Islam dengan dunia barat, dan kita harus mulai belajar hidup berdampingan secara damai. Tetapi kenyataannya "clash of civilization", itu masih kita rasakan. Terlebih kalau kita reduksi makna dari clash of civilization itu sebagai gerakan-gerakan ekstrim, termasuk terorisme. Saya kira tanda-tanda yang pasti bahwa dalam waktu dekat ini, tidak ada, itu belum nampak. Oleh karena itu masih kita anggap jenis atau sumber dari ancaman pada tingkat global.


Presiden Obama beberapa bulan yang lalu berpidato di Kairo, yang berjudul "The Beginning of New Era". Artinya mengajak, ini dari kacamata dunia barat, mengajak dunia Islam untuk hidup berdampingan secara damai, saling peduli, saling belajar dan saling bekerja sama begitu. Setelah itu, saya membalas pidato Presiden Obama dalam pidato saya di Amerika Serikat, di Harvard University yang berjudul waktu itu "Reinvent a New World". Itu respon atau jawaban terhadap pidato Presiden Obama di Kairo. Tentunya dunia Islam pun welcome untuk sebuah sikap seperti itu, tentu tidak seperti membalik telapak tangan, diperlukan waktu, diperlukan kesabaran, diperlukan ketekunan untuk membangun tatanan seperti itu. Ini saya ingatkan kembali bahwa kalau kita gagal pada saatnya nanti, membikin harmoni di antara peradaban, maka ini akan menjadi sumber dari konflik dan bahkan peperangan yang bisa terjadi setiap saat di dunia ini.

 

Yang ketiga, sumber konflik tidak lagi ideologi sifatnya. Dulu ingat, antara kapitalisme dengan komunisme yang berhadap-hadapan secara tajam dalam perang dingin, ada pakta Warsawa, ada NATO, dengan segala implikasi dan komplikasinya, maka sekarang ideologis sebagai sumber konflik global itu sudah susut, belum sepenuhnya hilang, masih ada, masih ada, tetapi tidak seperti pada era perang dingin dulu. Justru sumber konflik di masa depan adalah perebutan, "persaingan" di antara negara-negara dalam mendapatkan akses terhadap pangan, energi dan air. Para Perwira, barangkali tidak membayangkan apa betul air itu menjadi satu komoditas yang bisa menimbulkan sengketa. Jawabannya iya, bukan hanya pangan, bukan hanya energi, tapi juga air.


Penduduk bumi sekarang 6,7 miliar, 20 sampai 30 tahun lagi diperkirakan bisa mencapai 9 miliar manusia. Tentu memerlukan sumber pangan, sumber energi, dan sumber air yang tidak terhitung, sehingga ini salah satu sumber konflik di awal abad 21 ini.

Yang keempat, yang disebut global economy imbalances. Krisis yang terjadi di akhir tahun 2008 yang lalu, antara lain karena terjadinya ketimpangan perekonomian global, imbalances. Ketimpangan atau mismatch dalam arti supply dengan demand, dalam arti negara pengekspor dengan negara pengimpor, dalam arti negara penghasil sumber daya alam dan negara penghasil hasil-hasil industri, termasuk keuangan dunia. Sehingga ketika ada pemicu krisis, jadilah krisis yang sesungguhnya lebih dalam dibandingkan krisis tahun 1998.


Bagi Indonesia, krisis 1998 lebih dahsyat. Tetapi bagi dunia tidak, itu hanya bagi Asia dan kemudian Asia Tenggara. Tetapi kali ini semua terkena, Amerika, Eropa, Asia, dan wilayah-wilayah yang lain. Oleh karena itu, kita berusaha dalam pertemuan internasional, misalkan G-20 Summit, saya hadir 3 kali, Menteri Keuangan juga ikut mendampingi saya hadir dalam G-20 itu. Kemudian pertemuan puncak APEC, pertemuan ASEAN, ASEAN + sepakat kita, bahwa gobal imbalances harus kita hilangkan. Oleh karena itu, pertumbuhan, global growth di masa mendatang haruslah tetap kuat, tapi juga inklusif kemudian sustainable. Dengan demikian, diharapkan membawa kebaikan bagi semua, dirasakan oleh semua dan tidak menyimpan bom waktu yang setiap saat bisa meledak menjadi krisis. Itu yang keempat yang berkaitan dengan sumber dan jenis ancaman global masa kini.


Yang kelima adalah jangan dikira, penyakit-penyakit menular, epidemi, communicable diseases itu tidak punya dampak global, punya. Dulu pada tahun, akhir tahun 20-an, ada wabah influenza, korbannya itu lebih dari 20 juta, besar. Sekarang HIV/AIDS masih belum teratasi, kemudian ada lagi flu burung, flu babi, dan barangkali, sejalan dengan perubahan iklim, sejalan dengan perilaku kehidupan masyarakat global bisa terjadi varian-varian baru, mutasi-mutasi baru dari sumber-sumber penyakit itu yang setiap saat bisa menimbulkan wabah pada tingkat dunia. Ini juga menjadi bagian dari non-traditional meaning of security, non-tradional security threat yang kita harus mengetahui.

 

Yang keenam, sumber konflik, sumber ancaman tiada lain adalah climate change. Saya baru kembali dari Kopenhagen, Denmark untuk pertemuan puncak berkaitan dengan upaya global mengurangi pemanasan global dan mengurangi perubahan iklim. Mungkin para Perwira tidak pernah membayangkan, kalau dalam waktu 20 sampai 30 tahun, kenaikan suhu dunia tidak bisa kita jaga untuk tidak melebihi 2 derajat Celcius maka permukaan air laut bisa naik 1,5 meter. Kita punya belasan ribu pulau, bisa dibayangkan kalau pulau-pulau kita tenggalam. Itu salah satu dampak apabila kita gagal untuk mengurangi emisi karbondioksida dan mengurangi kenaikan suhu bumi.

 

Belum perubahan iklim yang ekstrim, sehingga merusak pertanian, menimbulkan kelaparan, akibatnya juga masuk kepada masalah sosial, masalah keamanan dunia. Juga misalkan bencana alam yang bersumber dari perubahan iklim yang sudah mulai terjadi dimana-mana, ditambah peristiwa alam itu sendiri, gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, itu juga menjadi masalah global. Tengok saja sekarang Haiti itu, meskipun sudah didatangkan kekuatan-kekuatan yang tangguh, termasuk logistiknya, tapi belum bisa dikontrol dan diselesaikan dengan baik. Korbannya konon melebihi 150 ribu. Indonesia juga sudah mengirim kekuatan kita 81 orang untuk misi kemanusiaan dan sudah kembali, karena setelah itu ditangani oleh satuan-satuan atau unsur-unsur lain, tapi yang jelas kita juga peduli dan kita bergerak cepat untuk membantu negara-negara sahabat. Poin saya adalah bencana pada tingkat global itu juga menjadi ancaman baru yang dirasakan oleh masyarakat dunia. Karena hampir pasti, kalau skalanya seperti di Haiti, tidak mungkin diselesaikan oleh Haiti sendiri. Demikian juga pengalaman-pengalaman di negara lain, termasuk negara kita.

 

Enam hal itulah yang paling tidak kita bisa sebut sebagai sumber dan jenis ancaman global. Semuanya memiliki kaitan atau berkonotasi dengan keamanan dalam arti yang luas. Setelah saya menjelaskan bayang-bayang geopolitik dunia di abad 21 ini, maka sekaligus pada bagian pertama tadi saya sampaikan tentang pembangunan yang kita lakukan 5 tahun mendatang, kita sekarang bisa menyimpulkan misi besar Indonesia. Dari misi besar ini tentu kita wujudkan dalam grand strategy untuk 10, 20, 30 tahun mendatang.


Yang pertama, agenda besar kita adalah melanjutkan dan meningkatkan pembangunan nasional di segala bidang terus-menerus dengan koreksi dan perbaikan, untuk memastikan bahwa pembangunan adalah untuk semua, development for all. Sedangkan misi besar yang kedua, ya kita menghadapi, siap menghadapi ancaman global yang tadi itu, termasuk bukan hanya kita melihat dan apatis, tetapi Indonesia harus juga berkontribusi, ikut memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia itu. Kita tidak akan menjadi bangsa yang terhormat kalau kita hanya menonton, tidak peduli, dan apatis. Kita harus aktif untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia, dalam mengatasi permasalahan-permasalahan global itu.


Saudara-saudara,

Kalau itu misi nasional, maka kita bisa menurunkan apa misi dan tantangan TNI, atau misi dan tantangan dari kekuatan pertahanan di negeri kita ini. Pertama, ikut menciptakan lingkungan dalam negeri yang kondusif untuk pembangunan. Di awal ceramah, saya katakan tadi, mari jaga TNI terlibat memastikan negara kita stabil dan aman sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Eranya sudah berbeda. Dulu dalam era dwifungsi ABRI, seolah-olah TNI bisa berbuat apa saja, sekarang Saudara tahu, yang dilakukan TNI adalah apa yang dimandatkan oleh negara, oleh rakyat, yaitu yang ada dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang. Mari kita pegang teguh seperti itu.


Yang kedua, TNI juga dalam rangka menghadapi ancaman global, ya harus betul-betul memiliki daya antisipasi, perkiraan-perkiraan strategis, cara pandang atau mindset. Dengan demikian, akan selalu bisa menghadapi tantangan-tantangan itu. Ya singkatnya, jangan sampai merasa terdadak, merasa tidak tahu, merasa terlambat mengetahui bahwa dunia telah berubah dengan segala implikasi dan tantangan-tantangannya.


Sedangkan yang ketiga, tugas TNI dengan jajarannya, ini juga Departemen Pertahanan memiliki cakupan tugas tentunya Saudara harus terus-menerus meningkatkan postur, military posture harus semakin andal, semakin modern, semakin tangguh, kredibel, sekaligus peningkatan kemampuan dan kesiagaan. Readiness bagian dari strategi penangkalan. Kemampuan yang kita jaga dalam standing army, standing armed forces, termasuk yang saya sebut dengan kekuatan yang diperlukan, bahasa inggrisnya minimum essential, kekuatan yang diperlukan. Itu juga harus terjaga. Inilah 3 tugas besar yang TNI harus jalankan sekarang ini dan ke depan.


Saudara-saudara,

Masih berkaitan dengan tantangan dan tugas TNI maka kalau saya harus memberikan instruksi kepada para pemimpin, dan pejabat utama jajaran TNI, maka Saudara harus menyukeskan RPJMN tahun 2009-2014, terutama yang berkaitan dengan tugas pokok TNI. Sukseskan.


Yang kedua, Saudara harus terus melakukan modernisasi dan pembangunan kekuatan yang terarah, terencana, sesuai dengan hakekat ancaman, kondisi geografi, kemampuan negara, serta perkembangan dunia militer yang berkali-kali saya katakan, saya sebut, Revolution in Military Affairs, RMA yang juga dianut oleh negara-negara lain.

 

Kemudian yang ketiga, yang tidak kalah pentingnya, Panglima, para Kepala Staf Angkatan dan Saudara-saudara semua, teruslah meningkatkan kesejahteraan prajurit dengan keluarganya. The quality of life of our soldiers, penting. Karena sebagaimana yang sering Saudara dengar, kemenangan sebuah peperangan ditentukan oleh 2 hal. Satu adalah semangat, keyakinan dan kesediaan untuk berperang dari para prajurit. Yang kedua adalah tingkat kesejahteraan dalam arti luas. Dalam bahasa Inggris, soldiers will not fight and die unless they know why they fight and die. Prajurit tidak akan berperang dan bertempur habis-habisan, kecuali dia tahu mengapa harus berperang dan bertempur.

 

Sedangkan yang kedua, Napoleon mengatakan prajurit merayap di atas perutnya, kalau perutnya kosong ibaratnya, tapi kalau kesejahteraan dalam arti yang luas. Bagaimana mungkin, meskipun dia punya semangat, punya tekad, punya jiwa pengorbanan yang tinggi, dua-duanya penting, sehingga para Perwira pasti mengetahui sejak awal tugas seorang komandan itu satu, laksanakan tugas pokok, yang kedua ada kesejahteraan para anggotanya. Itu masih tetap berlaku dan masih tetap relevan. Pada tingkat Saudara tentu cakupan menjadi lebih luas, tapi hakekatnya sama.

 

Dengan penjelasan itu, sebagaimana yang saya janjikan tadi, di akhir dari pengarahan saya ini, saya ingin menjelaskan 3 isu yang menjadi perhatian rakyat terhadap publik dewasa ini. Kebetulan kemarin dalam pertemuan saya dengan para pemimpin lembaga negara, termasuk Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Mahkamah Agung yang berkaitan dengan masalah ini juga bertukar pikiran dan memiliki penglihatan yang sama, yaitu tentang sistem ketatanegaraan kita atau sistem presidensil. Ini perlu dijernihkan dan diluruskan pemahamannya oleh kita semua. Yang membedakan sistem presidensil dengan parlementer adalah, meskipun dua-duanya ada check and balances. Kalau dalam sistem parlementer, itu bisa saja parlemen itu setiap saat mengeluarkan mosi tidak percaya, baik kepada menteri atau kepada kabinet, sehingga kabinet itu harus bubar, menteri harus berhenti atau dalam istilah sejarah politik kita, kabinet bisa jatuh bangun. Itulah dulu dalam era sistem parlementer di negeri kita. Kadangkala kabinet hanya berusia 3 bulan, setahun itu sudah dianggap lama. Oleh karena itu, Presiden pertama kita, mendiang Bung Karno pada tanggal 5 juli 1959 dulu, dengan alasan lain, bukan hanya itu, kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian bisa saja sistem bahwa kepala pemerintahan bisa membubarkan parlemen, kemudian pemilu kembali atau melikuidasi kabinet, kemudian pemilu kembali. Itu adalah sistem kabinet parlementer, sistem parlementer.

 

Sedangkan sistem presidensil sebenarnya, hakekatnya Presiden tidak bisa membubarkan parlemen. Di negeri kita barangkali sekarang ini Presiden tidak bisa membubarkan DPR, DPD maupun MPR. Kita pernah punya episode politik, Presiden membubarkan MPR dan DPR yang itu akhirnya muncul amandemen dalam Undang-Undang Dasar kita yang mengatur secara spesifik, Presiden tidak bisa membubarkan parlemen kita. Baca Undang-Undang Dasar yang telah diamandemen.

 

Sebaliknya dalam sistem presidensil, parlemen juga tidak boleh ber-mindset dengan cara pandang atau kultur bahkan setiap saat bisa menjatuhkan pemerintah, semacam mosi tidak percaya, vote of no confidence. Ini sudah di-set sedemikian rupa. Lantas bagaimana kalau seorang Presiden atau Wakil Presiden tidak layak lagi untuk memimpin negara, ada aturannya yaitu aturan tentang impeachment, tapi tidak dalam semangat, tidak dalam kultur, tidak dalam mindset, bahwa setiap saat parlemen bisa seperti mengeluarkan mosi tidak percaya, completely different, berbeda.

 

Aturan impeachment jelas. Jelas sekali. Apa itu? Pertama, apabila Presiden dan atau Wakil Presiden menurut pasal 7, itu melaksanakan pelanggaran hukum yang berat, pengkhianatan terhadap negara, korupsi, menerima suap dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang berat lainnya. Yang kedua, melakukan perbuatan tercela. Kemudian yang ketiga, tidak lagi mampu mengemban tugas sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Misalkan masalah jasmani dan rohani, sehingga tidak lagi. Aturannya jelas, bukan pasal karet, bukan bisa ditolak ke sana, ke mari. Oleh karena itu, mari kita kembali pada pemahaman yang utuh dan bulat terhadap Undang-Undang Dasar atau konstitusi kita. Kita semua adalah konstitusionalis yang merujuk segala sesuatunya pada Undang-Undang Dasar. Kalau diturunkan dalam Undang-Undang ya kemudian Undang-Undang sebagai turunan dari Undang-Undang Dasar itu. Ini perlu diluruskan sehingga di luar sudah mulai berbicara, ini sistem kita sistem apa, presidensil atau parlementer, atau setengah  parlementer atau setengah presidensil. Saya kira kita harus kembalikan supaya ada certainty, ada kepastian, kalau tidak terombang-ambing, rakyat menjadi bingung, kemudian jalannya kehidupan bernegara terganggu, termasuk pembangunan yang kita lakukan. Ini masalah yang fundamental, masalah yang mendasar harus kita pahami dalam menjalankan kehidupan bernegara di negeri ini.

 

Yang kedua, yang berkaitan dengan perjanjian apa namanya perdagangan bebas ASEAN dengan Tiongkok yang sekarang diramaikan. Bahkan ada yang menyebut, akan dibentuk Panitia Angket lagi atau Pansus. Saya ingin menjelaskan duduk persoalan dengan ASEAN-China Free Trade Agreement. Begini para Perwira, sebenarnya era investasi dan perdagangan bebas, itu sudah dimulai pada awal tahun 1990-an, sejak APEC berdiri. APEC singkatan dari Asia-Pacific Economic Community. Indonesia menjadi salah satu anggota sekarang, anggotanya 21 negara atau 21 ekonomi. Itu sudah masuk bahwa Asia-Pasifik masuk pada era liberalisasi perdagangan dan investasi. Tahun 1994, di Bogor, itu ada namanya APEC Summit menghasilkan deklarasi yang disebut dengan Bogor Goals. Intinya ya diberlakukannya kawasan investasi dan perdagangan terbuka atau bebas. Kalau negara maju tahun sekian, negara berkembang tahun sekian berlakunya. Mengalir terus. Pada tahun 2000, pada masa era kepemimpinan Abdurrahman Wahid, itu para leaders, para pemimpin sepakat bahwa perlu dibangun Free Trade Agreement antara ASEAN dengan Tiongkok. Mengalir lagi, pada tahun 2003, di Denpasar Bali, pada era kepemimpinan Ibu Megawati, ada ASEAN Summit, ASEAN Plus Summit waktu itu dan masuklah yang disebut dengan Bali Accord. Satu, ASEAN menjadi satu yang namanya political security community. Yang kedua, social cultural community dan yang ketiga, economic community. Artinya diintegrasikanlah ekonomi di ASEAN ini. Jadi lebih structured, tidak loose, tidak longgar lagi.

 
Negosiasi perjanjian perdagangan ASEAN dengan China ini yang sudah disepakati pada bulan November 2000, itu selesai pada bulan Juni tahun 2004. Ketika saya memimpin pemerintahan berikutnya lagi, ini terus mengalir. Jadi sebenarnya, seperti dugaan orang, tidak semua diisukan ini pemerintah baru 3 bulan langsung bikin perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan Tiongkok. Tidak begitu. Saya jelaskan prosesnya. Kemudian persoalannya menjadi bagaimana kalau kita belum siap. Apakah tidak lebih bagus, kita sudah enggak usah ikut-ikutan, sudah kita tunda saja dan sebagainya, dan sebagainya. Mari lihat secara jernih. Kalau kita secara sepihak mengatakan Indonesia tidak lagi terikat dengan perjanjian ini, maka kita akan berhadapan dengan 9 negara ASEAN yang lain, ada apa Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, anggota G-20 kok secara sepihak, tiba-tiba tidak memenuhi kewajibannya apa yang sudah disepakati sejak lama. Kemudian dengan Tiongkok sendiri, tentu tidak bisa unilateral seperti itu.

 

Tetapi saya paham, setelah siap diberlakukan, memang ada elemen-elemen di dalam negeri yang kalau itu kita paksakan mungkin menimbulkan permasalahan bisa serius permasalaan itu. Di sini, negara, pemerintah tentu tidak diam. Oleh karena itulah, dalam klausul-klausul yang ada, ada nanya chapter 6 dan chapter 9, itu kita gunakan untuk terhadap yang nyata-nyata belum siap, kita bicarakan kembali. Pembicaraanya harus kedua belah pihak dan Insya Allah bisa kita bicarakan baik-baik, karena sifatnya ini untuk kebaikan bersama reciprocal, mutual benefit. Kita bicarakan, dengan demikian, kalau ini kita bicarakan, kita bisa melindungi kepentingan rakyat kita, elemen kita yang tertentu, sambil mempersiapkan segalanya dan kemudian siap untuk menjalin kerjasama. Itu yang kita lakukan.

 

Saudara-saudara,

Jangan dikira kalau namanya perjanjian seperti ini, ASEAN dengan China, kita hanya kebanjiran barang-barang yang diekspor oleh Tiongkok. Kita pun juga banyak sekali mengekspor barang-barang kita. Ekspor kita terhadap Jepang menurun. Ekspor kita terhadap Amerika menurun. Yang naik terhadap Tiongkok, bahkan melampaui 30 milyar dollar Amerika Serikat pada tahun 2008. Artinya ini bukan hanya threat, tapi juga opportunity. Maka strategi pemerintah, terus kita perbesar, tingkatkan ekspor kita ke luar negeri, termasuk ke Tiongkok. Kemudian kita perkuat industri kita, sehingga siap dalam daya saing, siap berkompetisi. Kemudian pasar domestik kita awasi, jangan ada penyelundupan, jangan ada dumping, membanjiri barang-barang dan seterusnya. Ada mekanisme, ada alat untuk memproteksi elemen-elemen yang belum siap sambil mempersiapkan mereka.


Dalam perjanjian juga ada klausul. Dalam hal ada masalah yang belum siap, kita bicarakan baik-baik sifatnya bilateral. Ada juga setelah kita jalankan kerjasama perdagangan ini, ada satu, dua jenis usaha yang terpukul habis, sangat serius, maka kita bisa menggunakan yang namanya safe guard measures. Oke, lihat dulu, moratorium dulu, perbaiki dan sebagainya, dan sebagainya. Dalam ketentuan WTO, itupun dimungkinkan. Jadi sebenarnya itulah prosesnya. Ada memang masalah-masalah yang bisa kita carikan solusinya dengan baik. Dengan demikian, tidak perlu dieksaerasi, seolah-olah kiamat perekonomian kita, seolah-olah ini salah dan sebagainya. Saya punya kewajiban melanjutkan semua yang telah ditetapkan oleh pemimpin-pemimpin sebelum saya. Tetapi secara kritis pula, kalau ada perbaikan atau koreksi harus kita lakukan, agar tetap membawa manfaat yang sebesar-besarnya kepada bangsa dan negara kita. Itulah seluk-beluk dari Free Trade Agreement
antara ASEAN dengan Republik Rakyat Tiongkok.

 

Yang ketiga, Saudara-saudara, berkenaan dengan kasus Bank Century. Untuk memahami apa yang terjadi dengan Bank Century, kita harus melihat konteks, melihat circumstances, melihat keadaan waktu itu seperti apa. Jangan membayangkan seperti sekarang, bulan Januari 2010, ketika Pansus DPR sedang bekerja. Mari kita bawa memori kita akhir tahun 2008, baca kembali surat kabar-surat kabar, majalah-majalah, statement dari banyak pihak di negeri ini, para pengamat, para ekonom, para politisi, anggota parlemen dan DPR dan sebagainya. Simak kembali, putar kembali rekaman-rekaman televisi, talkshow, statement. Putar kembali rekaman global, termasuk Asia, termasuk Indonesia pada bulan-bulan itu. Ini penting agar kita memiliki pemahaman yang sama what was going on in indonesia at the end of 2008, yang akhirnya negara --saya katakan negara, dalam hal ini pemerintah-- yang kebetulan yang mendapatkan kewenangan Undang-Undang untuk bekerja adalah Menteri Keuangan dengan jajarannya, dan kemudian BI yang juga mendapatkan kewenangan dan amanah Undang-Undang dengan tatanan, dengan mekanisme yang telah diatur oleh Undang-Undang.


Mereka bekerja. Untuk apa? Mengatasi masalah. Oleh karena itu kalau kita berangkat dari kebijakan, policy negara, terhadap Bank Century yang itu berkaitan dengan terhadap dunia perbankan di Indonesia waktu itu, dan hakekatnya terhadap perekonomian indonesia juga waktu itu. Mari kita pahami, what is a policy? Baca literatur manajemen, literatur administrasi pemerintahan, literatur tentang ekonomi. Policy itu apa, kebijakan itu dalam bahasa Belandanya? Sebetulnya, decisions and actions, putusan dan tindakan. Ada lagi yang mengatakan options, choice, pilihan, dipilih dari beberapa opsi.

 

Yang ketiga, disebut sebagai bagian dari problem solving. Jadi saya kira bukan tidak ada maksud, tidak ada tujuan mengapa diambil tindakan seperti itu. Dan actions and decisions, and choice, itu di-directed, diarahkan untuk memecahkan masalah, to achieve goals. Tujuannya apa? Tujuannya Saudara-saudara, adalah sesungguhnya mencegah terjadinya krisis perbankan dan mencegah terjadinya krisis perekonomian seperti tahun 1998. Itu tujuannya, bukan tanpa tujuan, bukan iseng, bukan main-main, ada tujuan.

 

Masih berkenaan dengan policy. Yang perlu dilihat adalah intention. Apa intentions dari pemerintah atau negara, BI, Menteri Keuangan, Gubernur BI dengan semuanya. Intentions-nya apa? Adakah intentions yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, tidak bisa diketahui? Saya kira bisa kita jelaskan intentions-nya. Kemudian satu lagi, policy impact. Dengan diambil kebijakan itu, dampaknya apa? Mungkin ada debat tentang impact ini, tapi satu hal, krisis perbankan tidak terjadi, krisis perekonomian tidak terjadi, yang lebih berat lagi, Indonesia terpukul, lihat kembali rekaman-rekaman, lihat angka-angka drop ekspor kita, drop pertumbuhan kita dan seterusnya. Ada krisis, tetapi tidak lebih parah lagi, tidak lebih buruk lagi, karena ada tindakan waktu itu.

 

Jadi saya ingin melihat what is a policy, termasuk siapa memutuskan apa, untuk apa, dengan kewenangan apa, dengan intentions apa, dan impact-nya seperti apa. Itu kita lihat di situ dulu. Oleh karena itu, Saudara-saudara, kalau akan ada enquiry, angket, yang itu hak dari Dewan Perwakilan Rakyat harus kita hormati, maka harus jernih, harus kontekstual, harus lurus pada arah untuk menyelidiki, untuk mencari tahu, seluk-beluk, hal-ikhwal diambilnya kebijakan, dilaksanakannya tindakan seperti itu. Itu dalam politik memang muncul, "Wah ini pasti ada korupsinya", begitu. "Ini ada conflict of interest. Ada dana yang mengalir tidak semestinya," begitu. Bisa saja ditanyakan apa ada korupsinya, apa ada conflict of interest, apa ada dana yang mengalir tidak semestinya. Kalau ada, meskipun kebijakannya benar, the policy is right. Tetapi ada masalah-masalah itu, itu penyimpangan. Tapi manakala tidak dapat dibuktikan dan tidak terbukti dan memang tidak ada, misalnya setelah Pansus nanti berakhir, maka kembali kepada tujuan, inquiry terhadap apa yang dilakukan pada akhir November tahun 2008 yang lalu.


Rakyat itu hanya ingin tahu, karena banyak sekali isu, bisa bingung ada apa sebetulnya. Rakyat ingin tahu seluk-beluk dari apa yang dilakukan oleh negara waktu itu, dan sekaligus terjawab apa betul ada penyimpangan-penyimpangan. Kita ingin semuanya terang-benderang, kebenaran diungkap supaya keadilan tegak dan tidak ada komplikasi apapun, tidak ada interest apapun, tidak ada manipulasi apapun terhadap kasus ini. Jadi sepatutnya kita meletakkan kasus Bank Century dalam letak seperti itu.


Lantas, debatnya sekarang, apakah kebijakan itu bisa dipidanakan, apakah kebijakan itu bisa dikriminalkan. Saya mengatakan, the real policy dalam artian yang saya sampaikan tadi, tentu tidak mungkin dipidanakan, diadili. Tetapi kalau dalam implementasi dari policy itu ada, hukum yang dilanggar, nah di situ, harus jelas. Jadi mari, kita jelas. Sebab kalau kebijakan itu setiap saat bisa dipidanakan, tidak akan ada yang berani pejabat negara, termasuk perwira militer yang mengambil keputusan, yang menetapkan kebijakan, yang menjalankan sesuatu, karena bisa diadili.

 

Saya berikan contoh yang sederhana. Sudah saya ceritakan, minggu lalu saya bertemu dengan ratusan bupati di Madiun dalam rangka Rakernas APKASI (Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia). Para bupati bertanya kepada saya dalam acara itu, "Pak Presiden, bagaimana kami ini bisa mendapatkan perlindungan, kadang-kadang kami diperiksa, secara tumpang tindih oleh penegak hukum, kadang-kadang apa yang menjadi kebijakan, dipidanakan dan diadili dan sebagainya." Ini suara mereka, Bupati, Gubernur, mungkin semua. Kalau setiap saat, dag dug dag dug, jangan-jangan pidana, jangan-jangan pengadilan ini, padahal harus menjalankan tugas, mengambil keputusan, menjalan sesuatu sesuai dengan wewenang yang dimiliki, yang melekat pada dia.

 

Contohnya begini para Perwira. Di kabupaten X, kabupatennya tumbuh, ibukota kabupaten mekar, ekonomi bergerak, infrakstruktur bertambah akhirnya muncullah pemikiran rakyat, pemerintah kabupaten, DPRD, mari kita bangun terminal yang baru, yang ada sudah sangat tidak layak, mengganggu, kurang besar dan sebagainya. Maka dipertimbangkanlah ada dua alternatif, dua opsi, di militer cara bertindak cause of action, policy itu juga cause of action menurut literatur.

 

Pertama, di sebelah barat sungai, jarak dari pusat kota 3 KM, yang satu lagi di sebelah timur sungai, jarak dari pusat kota 5 KM. Plus-minusnya selalu adakan, kalau barat sungai plusnya apa, minusnya, timur sungai plusnya apa, minusnya apa. Itu harus dipilih, tidak mungkin, wah ini kok ada minusnya semua ini, biar dipilih salah satu kan begitu. Saudara juga begitu dalam menyusun perintah operasi atau rencana operasi, war gaming, olahyuda.


Dari segala pertimbangan sepakat, DPRD sepakat, pemerintah sepakat katakanlah dibangun di wilayah timur yang berjarak 5 KM karena tidak terlalu dekat sama kota. Bangun, tahun pertama bagus, tahun kedua, ketiga, keempat, kelima, tahun keenam tiba-tiba di situ ada kompleks baru yang dekat sama terminal. Sehingga wah kalau begitu lebih bagus yang barat begitu. Bisa saja. "Pak Bupati, apa pertimbangan dulu membangun di sebelah sana?" "Pertimbangannya ini, ini, ini." Dipanggil yang lain itu, DPRD ini. Bisa saja, tetapi nah ternyata salahkan, adili, pidana, itu berarti merugikan rakyat begini, segala macam, segala macam. Bagaimana kasus seperti itu harus dianggap masalah pidana. Jadi kita harus hati-hati mana yang policy. Tetapi Pak Bupati yang memutuskan membangun terminal di timur tadi, bisa saja kena pelanggaran kalau ternyata mengapa memilih membangun di situ, karena di situ dapat uang Rp 20 miliar, penjara dia. Memilih di situ, karena yang memborong itu saudaranya yang bikin terminalnya, conflict of interest dia. Yang disalahkan itunya bukan policy-nya, mengapa pilih di bagian timur, mengapa pilih di bagian barat tadi. Jadi sebetulnya clear sekali yang harus kita pahami dengan semuanya ini.

 

Saya berharap sebagai Kepala Negara, setiap persoalan mari kita selesaikan dengan baik, ada aturan mainnya, ada koridornya, Undang-Undang Dasar sering mengatur, Undang-Undang sering mengatur, peraturan sering mengatur. Dengan demikan, yang hadir adalah keadilan dan kebenaran dan tidak melakukan sesuatu. Tapi dalam Bank Century kemarin prosesnya cepat sekali, kemudian ada ini barangkali, ada kelewatan yang ini, itu, silakan dicek, diselidiki, dengarkan pandangan dari mereka yang berbuat. Namanya keadaan darurat, diperlukan kecepatan di tengah-tengah kepanikan tertentu, itu bisa dijelaskan. Jadi menurut saya, asalkan lurus saja kepada apa tujuan dari inquiry, dari angket, maka rakyat atau kita semua akan tenang, karena tidak ada kepentingan apapun, kecuali kepentingan untuk penyelidikan dan rasa ingin tahu rakyat kita.

 

Saudara-saudara,

Itulah sebetulnya 3 isu yang sekarang muncul. Saya kira hampir setiap hari ada di arena publik, di media massa kita, saya menjelaskan tadi masalah sistem presidensil, menjelaskan tentang perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan China. Dan yang ketiga, adalah tentang kasus Bank Century. Saya kira itu dan Panglima, para Perwira, negara menaruh harapan yang besar kepada Saudara semua untuk mengemban tugas sebaik-baiknya. Saya yang terakhir mengucapkan terima kasih dalam pelaksanaan pemilihan umum tahun 2009 kemarin, Saudara menunjukkan sikap netral, menunjukkan profesionalitas, kemudian menghormati semua tataran sambil membantu satuan-satuan Kepolisian untuk membikin proses pemilu itu berjalan secara aman dan demokratis. Itu adalah tonggak sejarah yang penting karena ini adalah tujuan dari reformasi yang sama-sama kita canangkan.

 

Saya masih ingat tahun 1998, di ruangan ini, para perwira tinggi waktu itu, Darat, Laut, Udara dan Kepolisian ada di sini dan kita merumuskan bagaimana reformasi TNI salah satu yang ingin kita tuju dalam politik kita harus netral, kemudian tidak masuk dalam politik praktis dan meninggalkan doktrin Dwi Fungsi ABRI. Alhamdulillah, sejarah telah mencatat bahwa TNI yang kita banggakan, telah membuktikan dalam perjalanan reformasi ini dan saya minta dipertahankan, dijaga menjadi apa namanya, nilai dan perilaku tentara di Indonesia.

 

Selamat bertugas.

 

Tuhan beserta kita.

 

Wassamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.



Biro Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,

Sekretariat Negara RI