Sambutan Presiden RI pada Silaturahmi dengan para Pimpinan Perbankan Indonesia, 1 Maret 2010

 
bagikan berita ke :

Senin, 01 Maret 2010
Di baca 878 kali

 

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA SILATURAHMI DENGAN PARA PIMPINAN PERBANKAN INDONESIA

DI ISTANA MERDEKA

TANGGAL 1 MARET 2010

 

 

 


Bismillahirrahmanirrahim,

 

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

 

Salam sejahtera untuk kita semua,

 

Para Menteri yang saya hormati, para pimpinan dunia perbankan dan masyarakat perbankan yang saya cintai,

 

Alhamdulillah, hari ini kita dapat ber-silaturrahim meskipun kebersamaan kita selama ini sesungguhnya relatif terjaga, baik di kala suka maupun duka. Oleh karena itu, saya memberikan penghargaan yang tinggi, atas prakarsa dari teman-teman, pimpinan, dan anggota komunitas perbankan untuk kembali berkomunikasi, bersambung rasa, dan pikir dengan saya, para menteri, dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu.

 

Demikianlah yang kita harapkan. Jika kita senantiasa bersatu, berpikir, dan melangkah bersama, seberat apapun persoalan yang kita hadapi insya Allah, Tuhan akan memberikan jalan.

Saya termasuk yang fanatik, bahwa setiap persoalan itu ada jawabannya, ada solusinya, tinggal apakah kita tidak menyia-nyiakan peluang, resources, dan momentum yang kita miliki. Orang mengatakan window of opportunity itu tidak selalu terbuka. Buka sebentar, tertutup kembali. Oleh karena itu, sering kali apalagi di masa krisis, di masa darurat, we have to make decision and act quickly and properly.

 

Saya berasal dari kalangan militer. Saudara-saudara dari kalangan perbankan, perekonomian. Sebagian dari kita barangkali berasal dari kalangan politik. Sejatinya dinamika, suasana, termasuk challenge di dunia bisnis, dunia politik, dan dunia militer itu sama. Kadang-kadang situasi berubah dengan cepat, informasi tidak lengkap, but we have to act, tidak bisa diam lantas mengharapkan mukjizat datang dari langit, dan kemudian do nothing, dengan resiko yang tinggi, malapetaka di kemudian hari. Kita bukan hanya bicara, kita mengalami.

 

Untuk periode yang masih segar dalam ingatan kita, ketika kita bersatu, siang dan malam waktu itu, beberapa kali saya masih ingat, pertemuan di Yogja, pertemuan di Jakarta, di banyak sesi ketika mengatasi krisis pangan, krisis minyak, krisis keuangan. Kita memikirkan secara bersama, bahkan ketika pertama kali G-20 Summit diadakan di Washington DC, saya berangkat mewakili Indonesia, mewakili Merah Putih setelah mendengarkan pandangan, masukan dan rekomendasi dari dunia usaha, KADIN waktu itu, dari para ekonom, dari jajaran perbankan, dari pemerintah daerah, dan tentunya pemerintah pusat.

 

Lagi-lagi itu contoh riil, contoh konkret, bahwa Insya Allah solusi akan tersedia dan biasanya tidak terlalu meleset, manakala dikontribusikan oleh mereka yang menguasai permasalahan itu. Kalau berkaitan dengan ekonomi, ya yang tahu ekonomi, apakah teoritisi atau praktisi ekonomi. Perbankan, hukum perbankan, hukum militer, militer, dan seterusnya. Patut saya sampaikan ini sebagai pengantar.

 

Dan tadi saya memegang buku, ini buku baru terbit tahun lalu, 2009 yang berjudul "The Death of Why?". Kita melihat sesuatu harus utuh melihatnya, harus jernih, dan rasional. Ketika sesuatu diambil, mengapa itu diambil, mengapa kalau tidak diambil, dan seterusnya. Ada buku lain yang saya baca, yang terbitnya juga tahun lalu, judulnya kurang lebih "The Edge of Unreasoning". Kalau ada masa sebuah bangsa kurang menggunakan the power of reason, itu dangerous. Saya pernah mengatakan, yang paling mutlak harus ada bagi perjalanan sebuah bangsa, agar bangsa itu makin maju dan berkembang, adalah common sense.

 

Ini "The death of Why?". Kalau ada buku "The Death of Common Sense", itu sama-sama tidak baiknya bagi kehidupan sebuah bangsa. Oleh karena itu, marilah kita juga melakukan inquiry terhadap what's going on di Indonesia ini dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inquiry. Dengan demikian, Insya Allah melihat permasalahan utuh, jernih, rasional. Dan kemudian kalau kita ingin menilai, mengoreksi, dan seterusnya, tentu berangkat dari cara pandang dan pemahaman utuh terhadap permasalahan dengan konteksnya.

 

Saudara-saudara,

Ini pengantar. Saya terus terang mengucapkan terima kasih dan penghargaan terhadap apa yang telah disampaikan tadi, mulai dari Pak Agus, Pak Sigit, Bu Winny, Pak Pradjoto, dan Bapak Yuslam tadi. Saya catat semuanya. Ini lengkap catatan saya, karena bukan sekedar saya catat, pasti ada tindak lanjut. Apakah pada tingkat saya, apakah pada tingkat Menko Perekonomian, apakah pada tingkat Menteri Keuangan, atau saya salurkan kepada Bank Indonesia untuk mewadahi semua apa yang diangkat oleh Bapak, Ibu, Saudara-saudara, pimpinan perbankan tadi.


Saudara-saudara,

Saya menggarisbawahi satu visualisasi untuk mengingatkan memori kolektif kita apa yang terjadi di dunia, dan di negeri kita pada tahun 2008 dan 2009 tadi. Tidak sulit kalau kita sudah mulai lupa, recall kembali, buka kembali berita-berita dari hari ke hari, termasuk statement banyak pihak di dalam negeri maupun di luar negeri pada penggal waktu akhir 2008 sampai medio 2009.

 

Pasti kita berkesimpulan memang ada masalah pada tingkat global, yang dampaknya dirasakan oleh semua bangsa, termasuk Indonesia, yang berkaitan dengan perbankan, keuangan, dan perekonomian. Kesimpulannya mesti seperti itu. Kalau kita buka kembali, barangkali sekarang, karena Alhamdulillah kita terbebas dari krisis yang lebih buruk, ya mungkin tidak lekat lagi suasana kebatinan, kecemasan, kepanikan yang ada pada waktu itu, terutama pada minggu-minggu tertentu, pada hari-hari tertentu.

 

Saudara-saudara,

Perbankan sangat penting. Bung Pradjoto mengatakan, perbankan juga sensitif. Pak Sigit mengatakan ibarat jantung dalam jasad tubuh manusia, itu perbankan, sehingga kalau alirannya mandek, bleeding, pasti terjadi sesuatu pada tubuh manusia itu. Demikian juga perekonomian nasional. Di masa damai, bank menjadi sumber pembiayaan pembangunan. Apapun bagusnya rencana, strategi, aksi, tapi kalau tidak ada aliran pembiayaannya, financing, tidak jalan, tidak bisa dilakukan. Di masa damai kita sungguh menyadari betapa pentingnya peran perbankan untuk menghidupkan dan mengembangkan perekonomian kita.

 

Di masa krisis, kalau bank collapse hampir pasti perekonomian collapse, hampir pasti perekonomian collapse. Indonesia 1998, laboraturium raksasa. Saya membaca buku barangkali lebih dari 10 yang memotret krisis Asia dan krisis Indonesia, 1997, 1998, 1999, the what, the why, and the how, terutama saya review kembali ketika kita menghadapi persoalan pada medio 2008.

 

Ketika saya menghadiri pertemuan G-8 yang diperluas, pertama kali Presiden Indonesia hadir dalam pertemuan G-8 sebagai peserta dan kemudian berlanjut pada pertemuan ASEM (Asia-Europe Meeting) di Beijing dan berlanjut pada G-20. Waktu itu semua dalam keadaaan cemas, panik, ya negara maju, negara berkembang, semua panik, I was there. Saya kira koran-koran internasional, televisi internasional, mewartakan kepanikan dan kecemasan kita semua waktu itu.

 

Ingat, saya hadir G-20, Summit I di Washington, G-20 Summit II di London, G-20 Summit III di Pittsburgh, belum APEC, belum ASEAN Plus, belum East Asian Summit, semua  leaders waktu itu, cemas, khawatir kalau lebih parah dibandingkan dengan the great depression sebelum Perang Dunia II. Indonesia saja ingat dulu, begitu bank collapse, semua collapse, sampai sekarang masih kita rasakan.

 

Kewajiban negara, kewajiban APBN untuk melunasi hutang-hutang kita akibat kejadian itu. BLBI menyisakan lebih dari 400 triliun yang tidak kembali, lost. Pasti ada yang bertanya, kalau 6,7 triliun yang belum boleh dikatakan itu lost, dibikin angket, inquiry, penyelidikan, bagaimana pertanggungjawaban yang 400 triliun tidak kembali? Meskipun saya kurang setuju kalau kita terus melihat ke belakang, sampai kapan.

 

Meskipun saya tahu keadaannya krisis, emergency, darurat, tapi dengan logika yang sama, kalau memang ingin gamblang melihat kejelasan, what was going on waktu itu, bagaimana cara menetapkan kebijakan, apa keputusannya, siapa berbuat apa, dan seterusnya. Barangkali perlu 10 angket lagi. Tetapi barangkali pula kita tidak bisa maju ke depan, terbelenggu atas pekerjaan masa kini akibat apa yang terjadi di masa lalu.

Dunia di tahun 2008 juga begitu. Jadi saya ingin menggambarkan your roles are very-very important. Memastikan pergerakan perekonomian, termasuk sektor riil itu berjalan dengan baik. Perbankan punya 2 wilayah sebetulnya, monetary sector dan real economy. Dua-duanya punya cakupan peran dan kewajiban perbankan, baca bisnis perbankan.

Saudara-saudara,

Saya sebenarnya menunggu kalangan perbankan bisa berbicara di Pansus Bank Century. Saya masih ingat dulu ketika saya membentuk Tim Independen yang berkaitan dengan kasus Pak Bibit dan kasus Pak Chandra. Semua ahli hukum, lawyers, apakah praktisi atau pakar, termasuk pejabat kejaksaan, pejabat kepolisian, pejabat KPK, semua diminta pendapatnya, karena itu masalah hukum, mereka yang ahli bukan saya. Tapi saya memberikan guidance, ajak bicara, minta pendapatnya, dan seterusnya.


Ketika saya membentuk Tim Independen, karena waktu itu 3 tahun yang lalu banyak kecelakaan pesawat, saya bentuk Tim Independen untuk evaluasi transportasi nasional. Bekerjalah sekian bulan dan menghasilkan rekomendasi yang bagus, yang kami jalankan. Alhamdulillah jauh membaik kita punya performance penerbangan kita. Mereka juga bekerja, bertemu dengan, baik regulator dan operator maskapai penerbangan, ahli penerbangan, dan sebagainya. Keseimpulannya menjadi lebih lengkap.

 

Oleh karena itu, saya sesungguhnya sungguh berharap ada kontribusi dari dunia perbankan, pakar perbankan, praktisi perbankan, agar Pansus lebih utuh melihat persoalan itu. Dan kesimpulannya diharapkan kesimpulan yang tepat, membawa manfaat bagi kita semua, bagi bangsa dalam membangun perekonomian yang lebih baik lagi di masa depan.

 

Saudara-saudara,

Tadi Pak Hatta Rajasa sudah memulai dengan ajakan dan permintaan dukungan dunia perbankan bagi suksesnya ekonomi kita 5 tahun mendatang. Saya sungguh berharap Saudara-saudara, mari kita bersatu, agar semua resources yang kita miliki, kita gunakan secara efektif dan efisien untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan, utamanya dalam waktu 5 tahun mendatang yang telah kami tuangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.

Pendek kata, berkontribusilah, agar pertumbuhan kita, growth, makin tinggi. Berkontribusilah, agar investasi makin meningkat dalam dan luar negeri dari segi financing. Berkontribusilah, agar ekspor kita juga makin meningkat. Kalau ekspor meningkat, industri bergerak, pertanian bergerak. Akhirnya pertumbuhan terjadi, dan akhirnya kesejahteraan rakyat bisa kita tingkatkan, pengangguran bisa kita kurangi, kemiskinan bisa kita turunkan.

 

Itu mata rantai mengapa our economy must grow. Food security is very important, energy security juga sangat penting, berkontribusilah. Pembangunan infrastruktur harus, di seluruh tanah air, berkontribusilah. Transportasi harus kita tingkatkan darat, laut, udara, berkontribusilah. Usaha mikro, kecil, dan menengah sangat penting, cara yang paling efektif mengurangi kemiskinan, berkontribusilah. Dan, less but not least, ekonomi daerah harus juga berkembang dengan baik.

 

Saya sudah memberikan direction kepada para gubernur, para bupati dan walikota kembangkan daerah masing-masing, ketahuilah keunggulannya masing-masing dengan memilih cara yang terbaik, majukan. Itu semua adalah sektor-sektor riil sesungguhnya, wilayah-wilayah yang memerlukan sumber-sumber pembiayaan dan pendanaan.


Saudara-saudara,

Saya harus mengatakan sekali lagi, meskipun rencana kita Alhamdulillah sudah kita bikin, strategi dan taktik sudah kita putuskan, manajemen pembangunan akan kita kontrol dengan baik, best practices, good governance, reformasi birokrasi, kami tidak akan lepas itu semua, supaya tidak ada yang bocor, menguap kita punya aset, sehingga semuanya bisa kita gunakan untuk membiayai pembangunan, untuk rakyat kita. Itu semua akan bergerak dan sungguh bergerak kalau ada sumber-sumber pendanaan.

 

Oleh karena itu, akhirnya sentuhan dari dunia perbankan yang akan menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi kita. Saya tidak ingin masuk terlalu dalam, bagaimana membikin aturan agar kredit mengalir dengan baik, bunga yang pas seperti apa, dan segi-segi yang bisa atau protokol-protokol atau artikel yang betul-betul bisa memastikan, bahwa on the one hand, perbankan kita bisa menjaga kinerjanya, tapi on the other hand betul-betul bisa mengalirkan kredit untuk pembiayaan, perekonomian, dan bisnis kita.

 

Itu bagian pertama yang ingin saya sampaikan, menggarisbawahi yang disampaikan oleh Menko Perekonomian, sekaligus tadi menggarisbawahi pula apa yang menjadi concern dan keinginan Saudara-saudara, meskipun dibagian akhir nanti akan saya respon, sekaligus apa yang disampaikan oleh Saudara-saudara tadi.

 

Saudara-saudara,

Kalau kita bicara kasus Bank Century. Ya, saya harus mengajak kembali bukan hanya Saudara, tapi rakyat Indonesia untuk memahami situasi yang ada waktu itu. Setelah tanda-tandanya nyata, dampaknya mulai kita rasakan, dunia tengah bermasalah, baik dari aspek keuangan, global finance, global trade, global investment, global recession dengan segala komplikasinya, maka kita tidak menunggu.

 

Saudara masih ingat, saya mengeluarkan 10 direktif dulu untuk menyelamatkan perekonomian. Saudara masih ingat, saya menetapkan 7 actions yang dilaksanakan oleh kita. Saudara juga masih ingat, kita merumuskan bersama-sama, termasuk segi-segi teknis insentif, special policy, dan sebagainya. Yang penting selamatlah negeri kita dan tidak terjadi krisis seperti 10, 11 tahun lalu. Tidak ada yang tidak deg-degan waktu itu. Meskipun saya menenangkan rakyat dalam hati saya, selamat tidak perekonomian kita ini, jatuh lagi tidak, seperti 1998, 1999. Bekerja, berdoa, kita lakukan waktu itu.

 

Saya masih ingat tanggal 13 November, saya harus berangkat dengan rombongan menuju ke Washington DC untuk menghadiri G-20 Summit yang pertama dan dilanjutkan dengan APEC Summit di kota Lima, Peru. Begitu stop over di Tokyo, terjadi berita yang simpang siur, kepanikan, cemas. Teman-teman pemimpin dunia usaha yang satu pesawat dengan saya, ada yang berkata ini lebih bagus saya lanjut atau balik saja ke Jakarta, karena beritanya luar biasa simpang siur. Pak Hatta sebagai Mensesneg, masih ingat apa yang kita lakukan untuk to calm down the situation.

 

Bahkan Pak Boediono yang harusnya ikut rombongan saya, tidak perlu, sudah tidak usah didampingi saya, take care of urusan di dalam negeri. Dan ketika saya sampai di Washington DC, hari pertama ikut sidang, Ibu Ani, Menteri Keuangan, melapor kepada saya. Saya minta ijin untuk tidak usah pergi ke APEC Summit di Peru, biar saya kembali untuk ikut mengelola persoalan di dalam negeri. Saya langsung, "Setuju Bu Ani, saya hargai inisiatif seperti itu, lakukanlah segala sesuatu untuk menyelamatkan perekonomian kita."

Saya belum terinformasi secara teknis ada 1, 2, 3, bank yang mengalami masalah. Tapi tugas kita tentu menjaga perekonomian kita, jangan sampai jatuh lagi, jangan sampai berurusan dengan IMF lagi, yang tentu akan panjang trauma dan psikologi yang diderita oleh bangsa Indonesia.

Itu adalah situasi hari-hari yang mencemaskan dan menegangkan. Saya harus mengatakan pula, bahwa sampai di Washington DC, semua pemimpin dunia, baik di Eropa, Amerika Utara, karena G-20, 20 Kepala Pemerintahan, Kepala Negara, semua memang gamang, cemas, panik.

 

Terhadap semua itu, saya berada di luar negeri mulai tanggal 13 November sampai di tanah air 26 November. Jadi ada kurang lebih 13 hari. Wakil Presiden di tanah air, dan sebagaimana biasanya, beliau yang menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari.

 

Meskipun saya tidak ada di tanah air waktu itu, meskipun dalam proses pengambilan keputusan dalam merumuskan langkah tindak untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian, yang mesti dilakukan terhadap Bank Century dan meskipun, baik Gubernur Bank Indonesia maupun Menteri Keuangan tidak harus meminta persetujuan saya, karena beliau memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang, dan beliau semua harus bergerak cepat dengan informasi yang ada, saya mengatakan bahwa yang dilakukan dalam upaya penyelamatan perekonomian kita, perbankan kita, benar.

 

Pertama kali saya sampaikan pada tanggal 23 November, mungkin tidak terlalu banyak diliput, diangkat di media massa ataupun di masyarakat luas kita. Saya ulangi lagi ketika saya memberikan ceramah di Cilangkap. Saya ulangi lagi ketika saya memberikan arahan kepada para Bupati yang berkumpul di Madiun, sebagai kebijakan, sebagai tindakan untuk menyelamatkan perekonomian dan perbankan kita, itu benar, dan saya bertanggung jawab, meskipun operasional, teknis dilakukan oleh pejabat-pejabat negara yang memiliki kewenangan Undang-Undang. Meskipun saya tidak memberikan instruksi ataupun direction, tetapi saya benarkan tindakan itu.


Saudara-saudara,

Mari kita pahami apa sih policy itu, kebijakan? Kebijakan itu sesungguhnya adalah pilihan dari opsi yang tersedia, choosing, option, alternatives, dilakukan oleh mereka yang punya kewenangan untuk memilih, untuk memutuskan tentang itu. Dilakukan dengan tujuan dan intention yang baik. Itulah policy. Wilayahnya judgment dari informasi yang ada, dari situasi yang menyelimuti. She or he has to make decision, she or he has to choose the option available, apa yang tersedia? Pilihan-pilihan apa yang perlu diambil dengan segala pertimbangannya, dengan informasi yang ada dan harus cepat.

Kemudian untuk mengukur, apakah kebijakan tepat atau tidak, tentu ya tidak bisa hitam putih.

Tetapi kalau saya, kalau kita menggunakan logika, common sense, apakah perekonomian kita menjadi selamat atau kembali terjatuh dalam krisis seperti 1998-1999. Mengapa memilih? Pilihannya adalah tutup, dengan tetap mengeluarkan uang 6 koma sekian triliun, dengan resiko dan ketidakpastian yang besar atau di-bailout, diselamatkan, mengeluarkan juga uang segitu, tapi masih dalam pengelolaan untuk bagaimana recovery dan pemenuhan kewajiban yang semestinya. Itu opsi yang tersedia. Tidak bisa kita di tengah-tengah, ya harus memilih salah satu dan itu judgment, dimiliki oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan atas kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Clear sekali sebetulnya dalam kaitan itu.

 

Apa ada faktor-faktor yang membatasi. Ada. Kalau kepanikan, kecemasan itu menjadi-jadi, mungkin betul-betul terjadi sistemik, crisis. Negara lain banyak yang memerlukan blanket guarantee atau full guarantee, kita tidak. Menurut perkiraan kita dengan menjadi 2 miliar itu cukup, tidak harus full guarantee, meskipun itu juga kontroversi.

 

Banyak yang menyarankan kepada saya, "Sudahlah Pak, garansi penuh." Ada yang mengatakan, "2 M sudah cukup." Tapi itu faktor, bagaimana si pengambil keputusan harus mengambil keputusan. Kepanikan ada, cemas kalau systemic crisis, harus cepat diambil. Negara lain ada full guarantee, kita tidak, opsi yang tersedia dua itu. Dalam konteks seperti itulah, dalam circumstances seperti itu, dalam keadaan seperti itulah harus diambil tindakan itu. Harus diputuskan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh negara. Dalam hal ini, Bank Indonesia dan pemerintahan, Menteri Keuangan dengan jajaran dan mekanisme yang dimiliki.

 

Pertanyaannya sekarang, apa yang terjadi di negeri kita kalau tidak diambil tindakan sama sekali. Kalau kita masuk ke do nothing scenario, seperti apa? Itu juga memerlukan inquiry tersendiri barangkali, tapi itu tidak terjadi, ngapain diangketin, wong tidak terjadi ya. Orang akan mudah bersetuju, kalau ekonomi kita hancur.

 

Hancur kembali seperti 1998, maka ada apa dulu. Eh Gubernur BI, eh Menteri Keuangan, eh Wakil Presiden yang di tanah air, eh Presiden yang memimpin pemerintahan ini, "Kok sampai hancur-hancuran, apa yang anda kerjakan, apa yang Anda lakukan, keputusannya seperti apa, policy-nya seperti apa?" Itu lebih mudah diterima, karena hancur.

 

Ini ketika tidak terjadi apa-apa, Alhamdulillah kita selamat. Dilakukan inquiry, penyelidikan, angket. Tapi saya juga bisa menerima dan membenarkan untuk memastikan, sekaligus karena isunya macam-macam. Ada aliran dana keluar 1,7 triliun untuk partai politik tertentu, untuk Capres tertentu waktu itu. Kemudian dikatakan ada conflict of interest dan seterusnya.

 

Tetapi juga barangkali rakyat ingin tahu 6,7 triliun itu diarahkan kemana. Apa yang dilaksanakan terhadap pengelola Bank Century yang melanggar hukum. Saya akhirnya oh boleh juga dilakukan angket, asalkan lurus pada tujuan itu, jernih dalam konteks yang memang inquiry atau penyelidikan mesti dilakukan. Meskipun penyelidikan angket oleh sebuah parlemen secara universal, demikian juga dalam Undang-Undang kita, itu tidak termasuk penyelidikan proyustisia, apalagi penyidikan. Bukan! Oleh karena itu, apapun hasil dari Dewan Perwakilan Rakyat nanti, ada proses lanjutan.

 

Saya akan merespon. Saya akan merespon sesuai dengan ketentuan yang ada. Tidak mungkin tidak direspon oleh pemerintah. Tapi untuk diketahui oleh rakyat, bahwa penyelidikan oleh parlemen itu tidak termasuk kegiatan atau tindakan proyustisia. Sebagaimana penyelidikan, penyidikan yang dilaksanakan oleh Kepolisian ataupun Kejaksaaan atau siapa yang diberikan amanah Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan pro-yustisia itu. Ini harus gamblang betul, dengan demikian, rakyat kita mendapatkan pemahaman yang utuh tentang itu semua.


Saudara-saudara,

Saya menunggu dalam kaspasitas saya sebagai Kepala Pemerintahan. Apa yang menjadi pikiran, pendapat dan posisi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam 1, 2, 3 hari mendatang ini. Saya menghormati proses yang dilakukan oleh DPR RI sebagai lembaga negara yang tentu juga bertanggung jawab kepada rakyat, sebagaimana pula saya juga bertanggung jawab kepada rakyat. Oleh karena itu, kita hormati, kita tunggu apa yang akan menjadi posisi Dewan atas angket terhadap Bank Century ini, terhadap apa yang dilaksanakan pemerintah terhadap Bank Century ini.


Saudara-saudara,


Saya ingin merespon beberapa butir yang disampaikan oleh Saudara tadi. Pertama, agar dilakukan upaya untuk meminimalisasi, minimizing the potensial lost dari 6,7 triliun. Saya 200% setuju, dan instruksi saya kepada Kapolri dan Jaksa Agung sudah saya sampaikan beberapa kali, tuntaskan penegakkan hukum terhadap pelanggar hukum di Bank Century. Selamatkan apa yang sudah dikeluarkan.

 

Saya mendapatkan laporan, ada dugaan dana yang di parkir di luar negeri. Bawa kembali dana itu sehingga akhirnya nanti bisa kita kurangi kemungkinan kerugian itu, bahkan tidak harus rugi. Ini sangat-sangat penting untuk dilakukan oleh semua penegak hukum kita. Dan saya minta bantuan semua pihak, agar betul-betul meminimalisasi atau pencegahan kerugian itu dapat kita sukseskan.

 

Kemudian tadi ada kekhawatiran, kita tidak berharap, tapi belum aman betul dunia, belum aman betul. Eropa masih ada guncangan-guncangan. Kalau terjadi lagi keadaan seperti November 2008, apa yang akan terjadi? Gubernur BI, Menteri Keuangan, KKSK, semua akan seperti apa nantinya? Jangan-jangan daripada namanya rusak, daripada terjadi asasinasi yang luar biasa, daripada jadi bulan-bulanan, anak, istri menangis, ah biarkan saja. Kalau itu terjadi runtuh Indonesia, runtuh perekonomian kita.

 

Oleh karena itu, saya sebagai Presiden, tidak, kita akan tetap bertindak. Kita akan tetap berbuat, kita akan tetap menjalankan tugas kita, kita pastikan itu. Resiko selalu ada, tapi selama itu dilakukan dengan tujuan dan niat yang baik, memahami bahwa dalam suasana krisis kecepatan itu diutamakan dan kita memilih opsi yang paling realistik, saya kira mesti dilakukan.

 

Namun demikian saya setuju, bahwa protokol krisis yang berkaitan dengan perbankan kita, berkaitan dengan sistem keuangan kita, termasuk jaring pengaman sektor keuangan memang perlu dimiliki oleh bangsa ini, oleh negara sebagai rujukan sah, supaya nanti tidak menimbulkan komplikasi yang baru dan harus memunculkan penyelidikan-penyelidikan yang baru pula. Saya setujui dan sesungguhnya saya berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama, Undang-Undang itu bisa dirampungkan dengan kesadaran yang penuh, baik dari pemerintah maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Saudara-saudara,


Terhadap usulan agar kasus Bank Century ini, bisa diselesaikan, tentu semua berharap begitu. Ini kalau wait and see terus-menerus, ya tidak bergerak sektor riil, tidak bergerak perekonomian kita. Siapa yang menderita? Rakyat. Bagaimana mau turun pengangguran? Bagaimana mau turun kemiskinan? Bagaimana mau bergerak usaha mikro, kecil, dan menengah? Rakyat. Saya kira kalau kita punya hati nurani, tidak ingin menciptakan keadaan yang akan menyusahkan rakyat kita, boleh tidak suka dengan Presiden, tapi jangan tidak suka kepada rakyat. Ini penting. Itulah etika politik, etika demokrasi yang harus kita junjung tinggi.


Saudara-saudara,

Dikatakan ada survey di perbankan. Saya juga percaya pada survey Bapak, Ibu, saya percaya. Disamping saya merujuk pada survey, saya juga tiap minggu membaca resume dari SMS yang masuk. Dalam waktu 3 bulan, itu ada 609 SMS yang masuk ke Kantor Presiden, yang berkaitan dengan Bank Century, 15% mengatakan tindakan terhadap Bank Century salah, 45% mengatakan benar, 40% mengatakan netral, tidak tahu.

 

Ini SMS, mesti kita cocokkan dengan survey, kita cocokkan dengan yang lain-lain. Kita tidak boleh menggunakan satu rujukan saja, kita gunakan semua rujukan.

Saudara-saudara,

Kita ingin kepastian, bahasa demokrasinya, bahasa politiknya, adalah rule of law. Makanya kita ingin Undang-Undang, peraturan, semua ada dan ditepati, dan dipenuhi. Harapannya seperti itu. Bahaya kalau demokrasi kita yang muncul bukan rule of law tetapi rule of man, rule of group, rule of political party, rule of President, rule of Pansus, harus rule of law, certain. Dengan demikian, tidak menjadi rimba raya yang bisa kesana kemari, melihat sebuah kasus, sebuah persoalan.

 

Diangkat juga kesediaan untuk membantu ini keluar dari Bank Century, KUR (Kredit Usaha Rakyat), saya titip betul. Saya berterima kasih kepada bank yang selama 5 tahun kemarin, 5 tahun mulai tahun 2007 sebetulnya bersama-sama saya seperti BRI, Mandiri, BNI, BTN, Bukopin, Bank Syariah Mandiri. Saya minta lebih banyak lagi, mari kita perbaiki policy-nya, kita perbaiki mekanismenya, kita kerjasama lebih baik lagi dengan daerah, sehingga KUR itu betul-betul bisa mengalir.

 

KUR itu sudah kami alokasikan tiap tahun 2 triliun yang bisa digandakan 10 kali, 20 triliun theoretically bisa kita alirkan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, mestinya seperti itu. "Tabunganku", saya berharap betul-betul bisa berjalan dengan baik, sehingga rakyat kita berapapun penghasilannya bisa nabung, apakah Rp. 10.000 atau Rp. 20.000.

 

Kalau tidak salah untuk Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah, itu Rp. 10.000 bisa. Untuk bank umum dan bank syariah, itu 20.000 bisa tanpa dipungut biaya administrasi. Itu membantu rakyat kita, membantu mereka yang penghasilannya rendah.

Beralih ke isu honor pejabat yang diterima oleh pejabat dari Bank Pembangunan Daerah, ini ramai, demikian juga fee. Saya sudah meminta menteri terkait coba dirumuskan posisi pemerintah, bekerja sama dengan BPK, BPKP, bekerja sama dengan KPK, tidak boleh tidak ada kepastian. Kalau memang akan diatur kembali, mana honor yang boleh, dan mana honor yang tidak, atur. Berlaku bagi semua, yang punya kaitan dengan jasa dalam pembinaan Bank Pembangunan Daerah. Fee juga demikian, diatur.

 

Kalau saya, kalau itu uangnya Pemda kemudian uang itu diletakkan di tempat tertentu, atas peletakkan tempat tertentu itu dalam hubungan bisnis itu mendapatkan fee, ya fee-nya masuk kepada daerah, bukan masuk kepada orang. Harus begitu, ini bukan uang pribadi. Kalau uang saya Rp.100 juta, saya tabung, di bank x, ada bunga masuk ke kantong saya. Tapi kalau Rp.100 juta uangnya Lembaga Kepresidenan ditaruh dapat bunga, ya masuk kepada kantor. Honor silakan, yang penting ada kepastian, yang penting ada certainty.

 

Ada yang memang nakal di daerah, bukan haknya pun minta, diambil. Itu beda. Tapi kalau memang dari dulu itu honor sah, begini, begitu, fee-nya jelas, ya harus kita anggap jelas. Kalau kita anggap tidak cocok lagi jaman sekarang, kita ubah. Peraturannya kita ubah, semua tahu, dijalankan peraturan itu. Jadi ini ada solusinya. Menurut saya menjadi ramai, karena komentar-komentarnya tidak selalu kontekstual. Tidak paham betul, ikut meramaikan, gaduh dimana-mana, akhirnya ya hanya mengganggu dan mengganggu kegiatan kita, perekonomian kita. Saya sudah meminta untuk segera dirumuskan, dengan demikian, memberikan ketenangan dan kepastian bagi semua.

 

Kemudian tentang Pejabat Gubernur BI dalam waktu yang sangat dekat karena saya ingin tidak ingin ada komplikasi dengan apa yang sedang digarap di bank, di Pansus Bank Century ini, biarlah selesai semuanya dan kemudian nanti kita tata kembali. Dan sebetulnya Ibu, Pejabat Gubernur Bank Indonesia itu bisa mengambil keputusan. Jangan kalau ada krisis tidak ada yang berani mengambil keputusan. Namun demikian memang sudah saatnya untuk segera diisi Gubernur yang definitif.

Tadi Pak Pradjoto sudah saya sampaikan, benar, ada pertanyaan yang ada di hati dan pikiran kita, jangan-jangan kalau ada krisis lagi, tidak ada yang berani ngambil keputusan, tidak ada yang menetapkan kebijakan, dibiarkan, do nothing, sehingga nasib kita tidak menentu. Tidak akan terjadi. Kalau ada krisis pun, harus kita ambil tindakan, harus kita lakukan. Judgment tentu tidak tepat dipidanakan, bagaimana mungkin.

 

Saya beri contoh. Ini contoh yang saya ucapkan mungkin lebih dari 10 kali, tapi tidak apa-apa, karena saya jarang bertemu dengan Saudara-saudara dalam hubungan seperti ini yang kita bisa bicara panjang lebar. Contoh favorit saya adalah begini. Di sebuah kabupaten, itu ekonominya tumbuh dengan baik. Kemudian terminal bus itu tidak lagi memenuhi syarat, tempatnya di tengah kota, malah menjadi persoalan, menjadi kemacetan, padahal sebenarnya bisa dipindahkan di luar kota. Yang kota tidak usah bus, tapi angkutan-angkutan kota. Sepakat semuanya, DPRD-nya sepakat, masyarakat sepakat, pemerintah daerah sepakat. Maka ada 2 opsi, satu, dibangun di bagian barat kota, satu dibangun di bagian timur kota. Ada plus dan minusnya.

 

Akhirnya pada saat itu dipilih yang paling baik dibangun di barat kota, jaraknya sekitar 5 kilo meter dari down town, dari pusat kota. Kalau yang di Timur jaraknya misalkan 4 atau 7, terserah berapa begitu. Yang terbaik di bagian Barat, dibangun, 2 tahun selesai. Setelah selesai dibangun bagus, bagus. 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun, tahun ke-9 ternyata tidak ideal lagi, timbul malah macet di situ, segala macam. Tiba-tiba DPRD-nya, "Wah ini kita panggil ini, siapa Bupatinya waktu itu? Bagaimana kok memilih yang barat kota? Tidak mengantisipasi ya, begini segala macam." Bisa saja salah, bisa saja antisipasinya, tapi tidak boleh dipidanakan. "Berarti Anda ini pidana ini." Policy, tidak bisa.


Andaikata miss policy-nya, ya kesalahan policy, tapi tidak serta-merta langsung pidana. Apalagi kalau memang policy-nya tidak keliru, tapi dinamika perkembangan memang tidak selalu linear. Kecuali sang bupati itu bisa dituntut, kalau misalkan ternyata memutuskan dibangun di sebelah barat itu, dia dapat uang 10 miliar dari pemborongnya. Nah, itu not the policy, tapi kasus suapnya, kasus korupsinya, atau implementasinya di tingkat bawah diakali, sehingga harusnya pembangunannya itu memerlukan 5 miliar kok jadi 7 miliar, diambil 2 miliar oleh siapa begitu. Nah, orang itu yang melakukan pidana. But not the policy, mengapa dibangun di bagian barat kota.


Ini contoh yang gamblang, mana yang untuk judgment, punya kewenangan, diputuskan, apalagi DPRD-nya setuju waktu itu, tapi kemudian 7, 10 tahun lagi ada perkembangan, ya bisa terjadi seperti itu. Saya mengatakan yang dinamakan kebijakan tidak bisa disertamerta dipidanakan, maksudnya begitu. Bedakan kebijakan dengan pelanggaran hukum, dengan suap, dengan korupsi, sebagaimana yang saya contohkan tadi.

Saudara-saudara,


Tentang kekayaan negara saya setuju. Silakanlah dirumuskan dengan baik, masih ada waktu, certain, pasti, sehingga tidak menimbulkan perbedaan. Lantas tadi masalah pajak, murabahah tadi, yang dari perbankan syariah, saya minta diselesaikan Bu Ani, Pak Hatta, dengan Dirjen Pajak, yang penting ada certainty, ada kepastian. Dengan demikian, tidak menjadi sesuatu yang gimana ini, gimana ini, dan seterusnya.


Itulah yang ingin saya respon Saudara-saudara. Dan di atas segalanya, terima kasih atas komitmen dan kebersamaan kita untuk terus meningkatkan pembangunan perekonomian. Terima kasih pula atas pandangan yang jernih terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan dengan tindakan terhadap Bank Century dalam rangka menyelematkan perbankan dan perekonomian kita dari krisis yang lebih buruk. Dan yang terakhir, terima kasih atas mengangkat isu-isu penting di dunia perbankan yang harus kita carikan solusi dan aturan-aturan yang lebih baik.

Demikianlah, selamat berkarya, selamat bertugas, semoga dunia perbankan makin jaya, sehingga perekonomian kita pun makin jaya.


Terima kasih.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

Biro Naskah dan Penerjemahan

Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan

Sekretariat Negara