Sambutan Presiden RI Pd Orasi Ilmiah dan Ilmu Penganugerahan Gelar, di Banda Aceh tgl. 19 Sept 2013

 
bagikan berita ke :

Kamis, 19 September 2013
Di baca 895 kali

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA

ORASI ILMIAH DAN PENGANUGERAHAN

GELAR Dr. (H.C.) BIDANG ILMU HUKUM PERDAMAIAN

KEPADA BAPAK Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

DARI UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DI UNIVERSITAS SYIAH KUALA, DARUSSALAM BANDA ACEH

TANGGAL 19 SEPTEMBER 2013

 

 

 

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Salam sejahtera untuk kita semua, 

Yang saya hormati para Menteri dan Anggota Kabinet Indonesia Bersatu II,

Yang saya hormati para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Yang saya hormati Saudara Gubernur Aceh dan para Pejabat Negara dan Pemerintahan yang bertugas di Aceh, baik dari unsur Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, maupun TNI dan Polri,

Yang saya hormati sahabat saya Bapak Malik Mahmud,

Yang saya hormati Saudara Rektor, para Guru Besar, para Dosen, dan para Mahasiswa, serta segenap Civitas Academika Universitas Syiah Kuala yang saya cintai dan saya banggakan,

Yang saya cintai dan saya muliakan para Alim Ulama, para Cendekiawan, para Pemuka Adat, dan para Tokoh Masyarakat,

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan bagi saya, atas rahmat dan karunia Allah SWT, pada hari yang bersejarah dan insya Allah penuh berkah ini, saya diundang oleh Saudara Rektor Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Bapak Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, untuk menyampaikan Orasi Ilmiah dalam rangka penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Ilmu Hukum Perdamaian, kepada saya.

Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada saudara Rektor, para guru besar, dan segenap jajaran Civitas Akademika Universitas Syiah Kuala, atas anugerah gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Hukum Perdamaian kepada saya.

Gelar Doktor Honoris Causa yang saya terima pada hari ini, sungguh sebuah kehormatan yang sangat besar bagi saya, terlebih diberikan oleh Universitas Syiah Kuala, sebuah lembaga pendidikan terhormat yang memiliki predikat "jantong hate rakyat Aceh". Dengan kerendahan hati, saya dedikasikan anugerah Doktor Honoris Causa ini kepada Saudara-saudara saya tercinta seluruh rakyat Aceh, sebagai rasa sayang saya kepada mereka semua, dan tentunya kepada bangsa Indonesia.

Dari mimbar yang terhormat ini, seiring dengan pemberian gelar doktor kehormatan ini, saya ingin berbagi pemikiran, pengetahuan, dan pengalaman, dalam upaya menciptakan ketenteraman dan perdamaian, utamanya di Aceh.

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mencintai perdamaian. Kecuali, manakala kedaulatan dan keutuhan wilayahnya terancam, dan tidak terbuka solusi damai apa pun, maka cara lain bisa ditempuh. Namun, bagaimanapun perang adalah opsi terakhir, apabila tidak ada pilihan lain. Oleh karena itu, segala upaya harus ditempuh untuk mengatasi masalah secara damai. Tidak terlalu sulit untuk memulai peperangan, yang sulit adalah mengakhiri peperangan itu. Itulah keyakinan dan pandangan saya sebagai pemimpin di negeri ini. Itulah yang selama ini saya anut dan saya jalankan.

Kita mencatat, bahwa di Indonesia, kerja keras kita untuk melanjutkan pembangunan bangsa dan transisi demokrasi, termasuk pula di dalamnya upaya untuk menyelesaikan konflik dan melakukan rekonsiliasi. Sembilan tahun saya mengemban tugas sebagai Presiden, saya menemukan bahwa menyembuhkan luka akibat konflik, bukan hanya merupakan tugas yang menantang, tetapi juga tugas yang paling bermakna. Saya berkeyakinan, tidak akan ada perdamaian, tidak akan ada kemerdekaan, dan tidak pula ada stabilitas, kecuali jika kita mampu mengangkat sepenuhnya benih-benih konflik dan kebencian dari masyarakat kita, dan menggantinya dengan persahabatan dan niat baik untuk hidup rukun dan damai.

Saya juga meyakini bahwa pada dasarnya, pada setiap hati manusia terdapat kasih sayang dan kebaikan. Hal ini menjadikan setiap perjuangan untuk perdamaian sangat mungkin dilakukan. Hal inilah yang menjadikan saya berkeyakinan kuat, bahkan konflik bersenjata seberat apa pun selalu ada peluang untuk diselesaikan secara damai dan secara politik, sebuah solusi yang bermartabat 

Di dunia, kita ketahui banyak konflik yang telah berlangsung sangat lama. Tetapi tidak berarti bahwa konflik-konflik itu tidak bisa diselesaikan selamanya. Suatu hari kelak, ketika terjadi kombinasi yang tepat antara peristiwa, kepentingan, pergantian generasi, hadirnya pemimpin baru, datangnya nasib baik, dan tentunya pertolongan Allah SWT, maka saya yakin situasinya akan berubah. Artinya, konflik terbuka untuk diakhiri.

Bayangkan berapa lama yang dibutuhkan untuk menghancurkan politik apartheid di Afrika Selatan. Pikirkan pula berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik di Irlandia Utara. Hingga terjadi kombinasi kejadian yang tepat, maka kesabaran dan kesungguhan menjadi suatu keharusan, agar kita dapat menuju pada akhir dari suatu konflik.

Saudara-saudara,

Sebagaimana kita pahami bersama, sejarah mencatat lebih dari 30 tahun bumi Serambi Mekah berada dalam situasi konflik yang berlarut. Puluhan tahun, kita tidak dapat mencari jalan keluar untuk lepas dari konflik dan trauma yang melanda rakyat Aceh. Sebagaimana kata pepatah, "kalah jadi arang, menang jadi abu".

Sudah cukup lama, jauh sebelum menjadi Presiden di negeri ini, saya berpikir dan bahkan bertanya, "apakah konflik di Aceh tidak dapat kita selesaikan?" Apakah bangsa yang besar ini tidak mampu menemukan solusi yang damai, adil dan bermartabat, bagi pengakhiran konflik bersenjata di Serambi Mekah ini? "Sebagai seorang prajurit, dan sebagai seorang anak bangsa, terus terang saya tidak ingin darah terus tertumpah di tanah ini.

Alhamdulillah, saya memiliki peluang sejarah, untuk mewujudkan mimpi dan niat baik saya bagi penyelesaian Aceh secara damai. Pada saat saya menjabat sebagai Menkopolkam, pada tahun 2000, saya bertekad untuk menangani langsung, atau hands on, merintis jalan menuju perdamaian di tanah Rencong.

Saya sadar, untuk meredam konflik yang berlangsung begitu lama, tentulah tidak semudah membalik telapak tangan. Di tengah pro dan kontra, dukungan dan penentangan, peluang dan kendala, serta pasang dan surut, saya terus melangkah. Saya mengenang, jalan yang kami tempuh sungguh berat. Langit tidak selalu cerah. Kadang-kadang saya hampir menyerah. Tetapi, begitu ingat bahwa telah banyak darah yang tertumpah di tanah ini, dan saya ingat kembali kekuasaan dan kebesaran Allah SWT, hati saya kembali teguh, dan semangat saya kembali membara.

Ratusan pertemuan dan silaturahim, rapat, perundingan, hingga diplomasi, saya tempuh mulai dari tingkat lokal di Aceh, tingkat nasional, dan tingkat internasional. Pada tingkat lokal, selama berbulan-bulan saya dan teman-teman mengunjungi semua kabupaten inti di Aceh untuk melakukan silaturrahim dan dialog, dan untuk menyerap aspirasi masyarakat, termasuk dari para ulama dan tokoh masyarakat. Saya ingin memperoleh masukan, saran dan pemikiran, termasuk harapan-harapan rakyat, langsung dari tangan pertama. Saya ingin mendapatkan informasi aktual yang memang ada dan berkembang di lapangan. Saya tidak ingin dianggap bekerja dari menara gading tanpa memahami persoalan yang sesungguhnya.

Semua pihak yang saya temui melibatkan diri, dan semua berharap agar penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh betul-betul dapat diwujudkan. Selama kurang lebih 2 tahun, apa yang saya lakukan bersama elemen pemerintahan pusat tersebut, saya bicarakan secara intensif di tingkat kabinet. Di samping melapor kepada Presiden, juga kita libatkan Panglima TNI, Kapolri dan Menteri-menteri terkait.

Pada tataran internasional, saya beserta Tim Pemerintah menjalankan diplomasi yang terbentang mulai dari Tokyo, Jepang, Paris, Perancis. serta Jenewa, Swiss, dan tentu saja di Swedia yang memiliki pertautan dengan keberadaan pimpinan GAM di luar negeri.

Berbagai langkah yang kami tempuh untuk perdamaian Aceh, sedikit demi sedikit membuka jalan terang. Geneva Agreement yang kemudian dikenal sebagai Kesepakatan Penghentian Permusuhan atau Cessation of Hostilities Agreement, CoHA, dapat kita sepakati di Jenewa, Swiss. Kesepakatan itu kita tujukan untuk menghentikan segala bentuk pertempuran, sekaligus sebagai kerangka dasar untuk negosiasi damai, antara semua pihak yang berseteru di Aceh. Kesepakatan CoHA juga kita tujukan sebagai akses untuk menciptakan perdamaian, dan peningkatan intensitas dialog antara semua pihak yang terlibat dalam konflik.

Saudara-saudara,

Namun, kesepakatan CoHA dan pembentukan Komite Keamanan Bersama, Joint Security Committee, JSC yang mengiringinya, ternyata tidak mampu mengatasi tantangan dalam upaya penyelesaian konflik di Aceh. CoHA harus kandas, karena tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Kita mengalami banyak sekali hambatan dari pada implementasi kesepakatan itu. Hambatan terjadi tidak hanya di Aceh, tetapi juga di Jakarta. Sekalipun sangat disadari, penyelesaian konflik Aceh harus dilakukan dengan penuh pengertian, serta dengan kompromi dan tingkat kesabaran yang tinggi, namun pada akhirnya tidak semua komponen utama yang terkait, memberikan dukungannya secara penuh.

Di sinilah penyebab gagalnya kembali perjanjian itu. Harus saya akui, apa yang saya lakukan sebagai Menkopolkam beserta banyak pihak, baik yang ada di Jakarta maupun di Aceh sendiri untuk terciptanya perdamaian di Aceh waktu itu, belum sepenuhnya membuahkan hasil. Namun, 4 tahun perjuangan dan pergulatan untuk mencari perdamaian di tanah Aceh itu, bagi saya bukanlah sesuatu yang sia-sia. Saya katakan itu sebuah modal, dan awal yang baik. A new begining. Oleh karena itu, semangat untuk solusi damai bagi Aceh tidak pernah padam di hati saya.

Hadirin sekalian yang saya muliakan.

Ketika saya mencalonkan diri sebagai Presiden dalam Pemilu Presiden tahun 2004, pemilu pertama yang dipilih langsung oleh rakyat, semangat untuk mencari solusi damai di Aceh muncul kembali. Bersama Pak Jusuf Kalla, sebagai calon Wakil Presiden ketika itu, semangat menciptakan perdamaian di Aceh menjadi salah satu tema kampanye kami berdua. Kami bahkan berani menjanjikan untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan pendekatan perdamaian. Kami berusaha untuk meyakinkan publik, bahwa pendekatan damai adalah solusi terbaik. Sebaliknya pendekatan kekerasan, yang mengandalkan operasi militer, hanya akan menjadikan konflik di Bumi Rencong makin berkepanjangan.

Syukur alhamdulillah, dengan dukungan dari segenap rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Aceh, Allah SWT menakdirkan saya terpilih menjadi Presiden pada Pilpres tahun 2004. Sejak dilantik menjadi Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2004, sesuai janji kampanye saya, saya bertekad dan mulai bekerja untuk mewujudkan perdamaian di Aceh insya Allah selamanya.

Dalam kunjungan pertama saya sebagai Presiden di bumi Aceh, saya serukan kepada masyarakat Aceh untuk bersama mengakhiri konflik dan memulai lembaran baru, lembar perdamaian dan pembangunan. Pada tanggal 26 Nopember 2004, satu bulan sebelum Tsunami, di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, saya katakan dengan jelas : "...saya datang dengan membawa tekad baru dan semangat baru, untuk bersama-sama seluruh Saudara kami yang ada di Aceh dapat segera mengakhiri konflik yang telah berlangsung begitu lama". Saya datang untuk itu.

Dalam pikiran saya saat itu, kalau konflik masih berlanjut dan Aceh tetap tidak aman, pembangunan di wilayah ini akan terhambat. Dengan terhambat dan terganggunya pembangunan, maka kesejahteraan saudara-saudara kami yang ada di Aceh tidak dapat ditingkatkan. Padahal, sebagai seorang pemimpin di negeri ini, bangsa Indonesia termasuk saudara-saudara kami di Aceh, haruslah memiliki tingkat kesejahteraan yang makin baik dari waktu ke waktu.

Pada kesempatan itu, saya juga menekankan akan pentingnya menyatukan persepsi dan keyakinan, untuk melahirkan solusi terbaik bagi penyelesaian konflik di Aceh. Jika kita benar-benar bersatu dalam persepsi dan keyakinan, dan kemudian kita mau melakukannya, maka dengan ridho Allah akan terbuka jalan untuk betul dapat menghentikan konflik yang telah memakan banyak korban itu.

Di samping itu, saya juga menyampaikan pentingnya penerapan otonomi khusus di Aceh, sebuah otonomi yang luas, wide ranging special autonomy. Dalam pemikiran saya, jalan tengah yang mulia dan yang menjadikan masa depan yang baik bagi Aceh adalah Otonomi Khusus. Saya tahu, solusi ini juga didukung oleh banyak kalangan dari dalam dan luar negeri. Sesungguhnya otonomi yang luas adalah solusi yang lazim ditempuh oleh negara-negara di dunia, ketika terjadi perselisihan di antara keluarga besar bangsanya.

Saya sampaikan pula secara terbuka pada saat itu, bahwa sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya akan berbicara kepada DPR RI untuk memikirkan bergabungnya kembali saudara-saudara kita itu dengan kebijakan amnesti, untuk kemudian setelah itu melangkah ke depan secara bersama. Kita bangun kembali Aceh secara bersama dengan agenda yang konkret, dengan sasaran yang konkret, dengan kerangka waktu yang konkret, dan semuanya sesuai dengan tatanan Undang-undang Otonomi Khusus yang luas.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Di tengah upaya awal pencapaian perdamaian itu, kita dikejutkan dengan bencana maha dahsyat gempa bumi dan tsunami, yang menimpa Aceh dan Nias pada tanggal 26 Desember 2004. Bencana gempa bumi dan tsunami itu, selain menghancurkan sebagian wilayah Aceh, juga merenggut nyawa lebih dari dua ratus ribu orang. Aceh dan Indonesia sungguh berduka. Saya dan istri, ketika berkali-kali datang ke tanah ini untuk melakukan kegiatan tanggap darurat harus berkali-kali menyeka air mata kami. Di sinilah, di tengah upaya keras untuk melakukan langkah-langkah mengatasi bencana tsunami ini, terbersit sebuah pemikiran di benak saya, untuk kembali merintis jalan guna mewujudkan perdamaian abadi di Serambi Mekah.

Di tengah lautan kehancuran dan penderitaan yang sangat dahsyat, saya melihat secercah sinar dan sebuah celah yang sempit. Bukan pintu yang terbuka lebar, tetapi jendela yang hanya terbuka sedikit dalam waktu sekejap, a narrow window of opportunity. Saya bermohon, "Ya Allah, bimbing dan tolonglah kami, untuk bisa mengakhiri konflik di Aceh ini secara damai dan bermartabat".

Sekalipun peluang yang ada tidaklah besar, namun keputusan saya sudah bulat untuk memulai kembali dialog Perdamaian Aceh. Dari kacamata perdamaian, saya sungguh ingin mengubah musibah itu menjadi berkah. From crisis to opportunity. Saya melihat melalui keikhlasan dan ketulusan semua pihak, bencana tsunami dapat membalikkan keadaan di Aceh. Saat itu saya sangat yakin, bahwa di tengah penderitaan rakyat Aceh akibat tsunami, semua pihak, baik pihak GAM maupun seluruh komponen bangsa, akan berlapang dada dan membuka hatinya untuk sebuah babak baru di Aceh, babak yang akan menghapuskan penderitaan dan melahirkan perdamaian.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Di tengah berbagai keraguan banyak pihak, termasuk dari para menteri dan staf saya sendiri, saya tetap yakin bahwa akan terbuka peluang. Pada suatu kesempatan diskusi staf internal pada awal bulan Januari 2005, menjawab keraguan beberapa orang staf yang hadir saat itu tentang apakah perundingan ini dapat berjalan, saya dengan tegas berucap, "...pada awalnya mungkin tidak. Pada saat COHA juga begitu. Tapi semua proses perdamaian kan ada resikonya. Saya yakin, kalau kita bisa menunjukkan bahwa kita tulus dan serius, kalau kita menawarkan win-win solution, insya Allah perdamaian akan dapat kita wujudkan".

Di banyak forum, saya menyampaikan kepada berbagai pihak bahwa usulan perundingan damai dengan GAM ini tentu berangkat dari kerangka penyelesaian yang jelas, serta memiliki prinsip, agenda, dan sasaran yang jelas pula. Salah satunya adalah, penyelesaian konflik Aceh harus ditujukan kepada upaya menciptakan perdamaian di Aceh secara permanen, namun tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di samping itu, di samping itu, dari pengalaman sejarah dan juga pengalaman langsung saya sebagai Perwira TNI, dan kemudian sebagai menteri baik di Kabinet Presiden Gus Dur maupun di Kabinet Presiden Megawati, saya memiliki pandangan yang kuat bahwa solusi militer tidak akan menyelesaikan masalah secara permanen. Sejarah mencatat bahwa pendekatan militer yang telah berlangsung selama 30 tahun tidak bisa mengakhiri konflik. Justru, yang terjadi adalah sebuah siklus dendam dan kebencian di antara pihak GAM, masyarakat Aceh, dan Pemerintah RI khususnya Prajurit TNI. Sebuah kompleksitas sosial yang justru makin menjauhkan kita dari terwujudnya perdamaian dan persaudaraan sesama anak bangsa.

Mengingat berbagai peristiwa masa lalu yang berkaitan dengan perundingan dengan GAM, maka sebelum perundingan dilakukan saya menyampaikan pandangan dan posisi saya kepada Crisis Management Initiative (CMI), yang dipimpin oleh Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, selaku pihak yang akan memfasilitasi perundingan. Dalam pertemuan antara saya dengan Presiden Ahtisaari di Jakarta, saya menyampaikan 2 hal mendasar: Pertama, saya sungguh menginginkan terciptanya perdamaian di Aceh, dan konflik dapat diakhiri. Kedua, solusi yang saya inginkan adalah semacam otonomi khusus yang luas, sehingga Aceh memiliki ruang dan kewenangan yang luas untuk mengatur dirinya, tetapi tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mantan Presiden Martti Ahtisaari mengerti dan memiliki pandangan yang sama. Pertemuan bersejarah itulah, pada bulan Januari 2005, yang secara resmi menandai dimulainya negosiasi antara Jakarta dan Pihak pimpinan GAM. Selaku mediator dan fisilitator, saya ulangi, selaku mediator dan fasilitator, Presiden Ahtisaari merasa memiliki mandat dan status yang pasti, sehingga bisa menjalankan misinya dengan baik.

Kepada dunia internasional, prasyarat dan keinginan saya itu juga saya sampaikan kepada Sekjen PBB, saat itu Kofi Annan, Sekjen NATO Javier Solana, Presiden Amerika Serikat, George Bush, dan para pemimpin dunia yang lain, yang menanyakan rencana penyelesaian konflik Aceh secara damai itu kepada saya. Para pemimpin dan tokoh dunia itu mendukung penyelesaian Aceh secara damai, dengan konsep Otonomi Khusus dan tetap berada dalam naungan Republik Indonesia.

Saudara-saudara,

Selanjutnya, berdasarkan pengalaman sewaktu peace process Aceh yang pertama, perjanjian Jenewa Agreement, yang kandas di tengah jalan akibat kurang bulat dan kurang kuatnya dukungan di tingkat domestik, baik dari kalangan DPR, kalangan militer, maupun kalangan komunitas lainnya, maka ketika memulai perundingan damai pada awal tahun 2005, saya melakukan upaya yang sangat serius untuk mendapatkan dukungan politik yang kuat. Sebagai Presiden, yang tentu memiliki power dan otoritas yang lebih kuat dibandingkan menteri, pertama-tama saya instruksikan agar TNI dan Polri memberikan dukungannya secara penuh. Saya juga berkali-kali berkonsultasi dengan DPR RI, DPD RI dan MPR RI untuk mendapatkan dukungan terhadap prakarsa perundingan damai ini. Alhamdulillah, berbeda dengan masa-masa sebelumnya, saya merasa bahwa dukungan baik di Jakarta, di Aceh, dan bahkan dari masyarakat internasional cukup tinggi.

Dengan bekal seperti itulah, sejak awal Januari 2005, pemerintah segera melakukan langkah nyata. Melalui rapat-rapat internal dengan Wakil Presiden dan anggota Kabinet terkait, mulailah disusun dan dibangun konsep perundingan damai itu. Sinyal ajakan perundingan baru, saat itu juga, langsung disampaikan kepada pimpinan GAM. Dalam keseluruhan proses resolusi konflik Aceh ini, peran Wakil Presiden Jusuf Kalla cukup besar. Tekad, semangat, dan komitmen kami sama kuatnya. Di pihak GAM, sejarah juga tidak akan pernah melupakan peran dan jasa Bapak Malik Mahmud, Bapak Zaini Abdullah, dan para Pemimpin GAM lainnya.

Guna menjaga momentum yang baik itu, saya segera memutuskan untuk menciptakan kondisi untuk membangun kepercayaan, khususnya di pihak GAM. Saya perintahkan agar TNI menghentikan segala bentuk Operasi Militer terhadap GAM. Segala kekuatan TNI yang ada kemudian dipergunakan sepenuhnya untuk penanggulangan bencana tsunami di Aceh, menolong saudara-saudaranya yang terkena musibah yang tak terperikan itu.

Saat itu pula, saya menyampaikan seruan kepada GAM untuk dengan kesadaran menghentikan permusuhan, dan bersama-sama mengatasi penderitaan rakyat Aceh akibat tsunami. TNI juga saya perintahkan untuk tidak membeda-bedakan dalam memberikan bantuan kemanusiaan, baik kepada korban yang berasal dari GAM atau pun non-GAM. Dalam pandangan saya, semua harus diperlakukan sama dalam masalah kemanusiaan, apa pun latar belakang politiknya.

Pada saat yang sama, saya juga meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla, melalui jejaring yang sudah dikembangkan sebelumnya, untuk melakukan pendekatan baik kepada pihak CMI yang akan diminta bertindak sebagai fasilitator, maupun pendekatan informal kepada pihak pimpinan GAM.

Gagasan dan inisiatif ini terus bergulir. Akhirnya, setelah dibicarakan secara utuh dengan seluruh instansi terkait, baik secara formal maupun informal, pada tanggal 28 dan 29 Januari 2005, perundingan antara RI dan GAM dalam format informal dilangsungkan di Helsinki, Finlandia. Perundingan itu difasilitasi oleh mantan Presiden Martti Ahtisaari, Ketua Dewan Crisis Management Initiative.

Bagi Delegasi RI, sudah sejak awal saya tekankan bahwa orientasi perundingan ini haruslah untuk penyelesaian masalah Aceh secara damai, adil, menyeluruh dan bermartabat dalam bingkai NKRI. Di samping itu saya tekankan pula bahwa Otonomi Khusus yang luas merupakan solusi politik terbaik agar konflik bersenjata dapat diakhiri, pembangunan Aceh dapat dilakukan, dan rakyat Aceh dapat ditingkatkan kesejahteraannya.

Beberapa koridor lain yang saya tegaskan sebagai pedoman dalam perundingan ini adalah bahwa masalah Aceh merupakan masalah Indonesia, masalah kita, dan tidak perlu diinternasionalisasikan. Peran CMI adalah sebagai fasilitator dan mediator. Keputusan akhir, setelah dibicarakan dengan seksama antara delegasi pemerintah dan GAM, berada di tangan saya selaku Presiden Republik Indonesia.

Konsep dasar perundingan sebagaimana saya gariskan itu, dijaga dan diwujudkan secara baik dan tegas oleh fasilitator perundingan, Presiden Martti Ahtisaari. Sejak awal, fasilitator tidak mengizinkan kedua pihak untuk mendiskusikan isu di luar agenda yang telah ditetapkan.

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Sejarah mencatat, bahwa perundingan putaran pertama sampai putaran ketiga penuh dengan dinamika, dan situasinya sangat tidak mudah. Pasang surut, maju mundur. Suasananya sering menjadi emosional. Namun pada perundingan putaran ketiga mulai dibahas "drafting" untuk menyiapkan naskah rancangan kesepakatan. Yang melegakan saya dan Delegasi RI pada perundingan ketiga ini adalah adanya kemajuan menyangkut sejumlah soal yang terbilang fundamental dan substansial, misalnya soal Otonomi Khusus Aceh.

Pada perundingan keempat, yang dilaksanakan pada tanggal 26 sampai dengan 31 Mei 2005, sejumlah draft pokok mulai dibicarakan, di antaranya mengenai masalah amnesti, sistem pemerintahan, dan bidang ekonomi dan politik, yang hampir seluruhnya dapat disepakati. Demikian pula terhadap usulan GAM agar Delegasi Uni Eropa turut melakukan monitoring, bila telah dicapai kesepakatan perdamaian antara RI dan GAM. Capaian yang cukup baik pada perundingan keempat ini, akhirnya mengantarkan kedua pihak untuk bertemu kembali pada perundingan kelima, pada tanggal 12 sampai 17 Juli 2005, di Helsinki. Dalam perundingan kelima ini, seluruh detail perundingan secara umum sudah diwadahi dalam draft yang disepakati oleh kedua pihak, oleh kedua belah pihak.

Akhirnya, setelah menunggu lebih dari tiga puluh tahun, setelah melalui negosiasi dan diplomasi yang tiada henti, setelah pula kita alami kegagalan demi kegagalan, serta setelah bencana gempa bumi dan tsunami, takdir Allah SWT akhirnya tiba. Pada tanggal 15 Agustus 2005, atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, kita sepakat menandatangani Nota Kesepahaman Helsinki, MoU Helsinki yang ditandatangani di kota Helsinki, Finlandia. Perjanjian Helsinki, secara resmi mengakhiri konflik bersenjata di bumi Rencong yang telah berlangsung sejak tahun 1976 yang lalu.

Sebuah harapan besar segera terbentang di wilayah Aceh, dan juga di seluruh Indonesia. Harapan akan kekalnya perdamaian, dan meningkatnya kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat Aceh. Namun saya sangat menyadari, semua itu tentu tidaklah semudah membalik telapak tangan. Juga tidak seindah kata-kata yang tertulis dalam MoU. Implementasi MoU di lapangan sedari awal sangat disadari tidak akan sepi dari tantangan dan permasalahan. Berkali-kali saya katakan ada proses yang tidak kalah beratnya dibanding proses perundingan damai itu sendiri, yaitu proses, saya ulangi, proses membangun rasa percaya, trust building, dan reintegrasi pasca konflik, post conflict reintegration.

Saudara-saudara,

Proses ini tentu tidaklah mudah. Mengapa? Konflik Aceh telah berjalan dalam waktu yang sangat lama. Posisi Pemerintah Indonesia dan GAM selama itu secara diametral berseberangan. Dalam periode itu pula, kedua pihak pernah melakukan dialog, namun jeda kemanusiaan dan penghentian kekerasan gagal di tengah jalan. Dan setiap kali dialog gagal dilaksanakan, maka ketidakpercayaan, kecurigaan, dan kebencian menjadi semakin besar di antara kedua pihak.

Dari kondisi yang seperti itu, tentu menjadi tidak mudah untuk seketika berubah menjadi saling percaya, dan segera bisa bersatu kembali di antara sesama warga bangsa yang tadinya saling berhadapan. Oleh karena itu, ketika MoU mulai diterapkan, saya segera melakukan langkah-langkah dan memimpin langsung upaya untuk menjaga agar perjanjian damai ini bisa diwujudkan di lapangan. Trust building dan post conflict reintegration harus berhasil kita lakukan, meskipun saya sadari tetap memerlukan waktu yang relatif lama. Bisa mencapai 5 sampai dengan 10 tahun.

Saya menugaskan Menteri Hukum dan HAM untuk meyakinkan bahwa ribuan tahanan politik yang dilepaskan dari belasan lembaga pemasyarakatan di Tanah Air, dapat kembali dengan selamat dan dapat dipulangkan dengan tertib ke daerah asalnya masing-masing, segera setelah MoU Helsinki ditandatangani. Mereka yang pulang itu juga harus dipersiapkan dengan baik, dengan baik terutama dari aspek sosial, seperti pemberian layanan kesehatan dan jaminan sosial lainnya, sehingga mereka juga dapat merasakan perbedaan antara era konflik dengan era damai yang sekarang.

Pada saat yang sama, saya juga memanfaatkan kehadiran Aceh Monitoring Mission dari Uni Eropa yang bekerja sama dengan ASEAN, guna membantu Pemerintah Indonesia dan GAM dalam mengimplementasikan MoU Helsinki di lapangan. AMM juga saya dorong untuk memerankan diri sebagai katalisator bagi terbangunnya rasa saling percaya trust building, di antara unsur Pemerintah RI di Aceh dan GAM.

Bahkan dalam hal rekonstruksi pasca tsunami yang dilakukan oleh BRR Aceh, pada suatu kesempatan saya mengingatkan kepada Kepala BRR dan jajarannya: "Jangan pernah membeda-bedakan perlakuan apa pun, baik terhadap masyarakat umum maupun mantan anggota GAM, dalam proses rekonstruksi pasca tsunami".Penekanan ini senantiasa dipedomani oleh jajaran BRR, bahkan dalam proses rekonstruksi cukup banyak mantan anggota GAM yang menjadi bagian dari BRR. Keberadaan mereka penting agar ada saling percaya dan agar tidak terjadi kecemburuan sosial yang dapat memicu timbulnya konflik baru, atau setidaknya ketegangan antara masyarakat umum dengan mantan GAM.

Selanjutnya untuk semakin mempercepat terwujudnya reintegrasi pasca konflik, pemerintah membentuk Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Badan ini juga bertugas untuk memikirkan program-program pemberdayaan ekonomi lokal, meskipun sudah barang tentu hal ini juga menjadi tugas dan kewajiban gubernur, para bupati dan walikota yang ada di seluruh Aceh.

Sekalipun berbagai langkah telah dilakukan, disadari benar bahwa periode 5 tahun pertama adalah periode yang kritis, yang harus dikelola dengan baik. Oleh karena itu, dalam periode yang kritis itu, ketika terjadi potensi konflik atau gesekan antara pihak-pihak yang dulu pernah berseteru di Aceh, saya selalu langsung memerintahkan untuk diselesaikan secara tuntas. Bahkan, terkadang secara langsung saya melibatkan diri dalam penyelesaiannya. Saya instruksikan agar baik Gubernur maupun pimpinan, dan ulangi, maupun pimpinan TNI dan Polri yang bertugas di Aceh selalu bersikap bijak dan berhati dingin, dalam menyelesaikan setiap masalah atau gesekan.

Saudara-saudara,

Pada sisi lain, sejalan dengan upaya mencari jalan damai di Aceh pasca tsunami, Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Pertama, segera merespon musibah tsunami itu dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005, tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Kita bentuk pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Nias.

Setelah bekerja tidak kenal lelah, dalam kurun waktu lima tahun, BRR Aceh dan Nias telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Program rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan BRR Aceh dan Nias, telah berhasil membangun kembali ratusan ribu unit rumah, ribuan sekolah, ribuan kilometer jalan dan infrastruktur lainnya, serta memulihkan ratusan ribu hektar lahan pertanian. Kita bangun pula rumah sakit, sekolah, dan beragam fasilitas umum lainnya.

Kita patut bersyukur, mohon maaf. Terima kasih atas kesabarannya. Kita patut bersyukur, kinerja pembangunan yang dikelola BRR Aceh dan Nias itu, telah ikut memperkuat dan menyukseskan proses perdamaian di Aceh. BRR Aceh dan Nias telah menjadi semacam katalis, yang mempercepat dan memperkuat kepercayaan kolektif mengenai komitmen pemerintah untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan pendekatan damai dan berorientasi kesejahteraan.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Itulah peristiwa besar yang terjadi di bumi Aceh selama 9 tahun terakhir ini. Sebuah proses yang amat bersejarah, dan insya Allah akan mendatangkan kebaikan di tanah ini untuk selamanya.

Di balik musibah dan proses panjang perdamaian di Aceh, banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik. Ada sejumlah hikmah dan pelajaran yang ingin saya bagikan kepada Hadirin sekalian pada kesempatan yang amat baik ini. Pertama, saya sangat percaya bahwa setiap konflik selalu ada solusinya. Seberat apa pun konflik itu, kalau selalu diikhtiarkan untuk diakhiri, selalu ada jalan ke arah itu. Kedua, setiap konflik memiliki ciri dan kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua konflik yang sama. Setiap konflik memiliki karakter, persoalan dan dinamikanya sendiri. Ketika saya bersama elemen pemerintah yang lain menyelesaikan konflik komunal di Sampit, Poso dan Ambon, mengakhiri konflik Indonesia-Timor Leste, dan menyelesaikan konflik Aceh sendiri, kami mengembangkan strategi kebijakan, pendekatan dan cara yang berbeda-beda.

Ketiga, adalah lebih baik mencegah konflik sebelum terjadi, daripada menyelesaikan sebuah konflik setelah meletus. Mencegah konflik sebelum terjadi adalah lebih baik, lebih mudah, lebih murah, lebih aman, lebih cepat, dan lebih efektif. Keempat, resolusi konflik, serta rekonsiliasi dan reintegrasi pasca konflik memerlukan kepemimpinan kuat dan efektif. Pemimpin tingkat nasional harus memiliki visi, konsep, dan pemikiran yang segar tapi realistik. Dalam hal ini, pemimpin harus mampu "thinking outside the box". Pemimpin resolusi konflik juga mesti memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang sulit, terkadang berlawanan dengan arus besar yang ada, dan berani mengambil resiko politik yang dapat menyebabkan kejatuhannya. Tanpa kepemimpinan, proses perdamaian tidak akan memiliki kekuatan dan arah, dan pada akhirnya tidak akan berhasil.

Ketika pemerintah yang saya pimpin mulai memperjuangkan proses perdamaian di Aceh pasca tsunami, hal itu bukanlah sesuatu yang populer untuk dilakukan. Ada resiko yang tinggi bagi saya jika proses itu gagal, apalagi saya belum genap 1 tahun menjadi Presiden waktu itu. Namun saya mengambil keputusan itu, karena saya tahu masa depan Aceh pasca tsunami akan makin gelap dan makin tidak menentu tanpa adanya perdamaian.

Kelima, ketika sebuah konflik belum dapat diselesaikan, maka kelolalah dengan baik. Jika persyaratan untuk terjadinya resolusi konflik tidak terpenuhi, jangan dipaksakan. Tapi jagalah agar konflik tidak meluas, dan tetap dapat dikelola dan di-kendalikan. Keenam, setiap konflik selalu ada peluang dan kesempatan yang tiba-tiba datang untuk mengakhirinya atau window of opportunity. Kesempatan ini biasanya kecil dan hanya sekejap. Bagian tersulit bagi seorang pemimpin adalah untuk secara cerdas dan cepat mengenali peluang itu, dan tidak melewatkannya.

Ketujuh, untuk menyelesaikan sebuah konflik diperlukan pendekatan yang pragmatis, fleksibel, dan menjangkau jauh ke depan. Pendekatan yang rijid dan dogmatis akan sulit menghasilkan solusi. Menetapkan opsi bagi sebuah perdamaian membutuhkan banyak mendengar, dan sering sekali lagi,harus melawan asumsi-asumsi yang lama. Kedelapan, hal paling penting untuk dicapai dalam suatu perjanjian damai adalah membangun kepercayaan di antara para pihak yang berkonflik. Oleh karena, penting untuk diciptakan prakondisi bagi sebuah "peace process". Apa yang saya lakukan bersama pihak-pihak lain sejak tahun 2000 hingga tahun 2004, hakikatnya juga untuk membangun kepercayaan.

Kesembilan, harus dikatakan bahwa yang lebih penting dari menciptakan perdamaian adalah menjaganya. Banyak sekali contoh dalam sejarah, sebuah perdamaian yang diraih dengan sangat sulit, runtuh, karena para pemangku kepentingan menjadi berpuas diri setelahnya. Menjaga dan menyelamatkan perdamaian memerlukan upaya yang serius, sistematik, dan berkelanjutan. Diperlukan pula keteguhan dan "political will" dari para pemimpinnya. Kesepuluh yang terakhir, khusus untuk penyelesaian konflik di Aceh ini ada satu hal penting yang ingin saya sampaikan. Ketika sebagai Presiden saya telah memutuskan dan menetapkan untuk kembali melakukan "peace process" di Aceh, saya berjanji untuk tidak mengulangi lagi berbagai kesalahan yang membikin gagalnya upaya damai yang dilaksanakan di masa lalu, utamanya setelah Perjanjian Jenewa di tahun 2002.

Melalui analisis dan evaluasi yang saya lakukan, upaya damai tahun 2002 - 2003 gagal, karena sejumlah faktor, yaitu, tiadanya dukungan yang kuat dari jajaran TNI dan Polri, tiadanya dukungan politik yang kuat di Jakarta, tiadanya kebulatan dan dukungan dari pihak GAM secara keseluruhan, dan absennya kepemimpinan yang mengambil tanggung jawab secara penuh dengan segala risiko yang harus diambil. Oleh karena itu, selama proses penyelesaian konflik secara damai berlangsung, saya dengan dibantu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan para pejabat pemerintahan yang lain, termasuk Panglima TNI dan Kapolri, berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya. Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah SWT, hal itu dapat kami lakukan.

Inilah pelajaran yang dapat kita petik dari terciptanya peace deal, baik di Aceh maupun di berbagai tempat lain di Tanah Air, yang telah saya alami dan saya lakukan selama ini. Meskipun saat ini proses rasa saling percaya dan reintegrasi pasca konflik masih terus kita lakukan dan masih akan memakan waktu, namun percayalah, saat ini Aceh telah jauh berubah. Aceh kini menjadi kawasan yang damai. Aceh menjadi teritori yang siap membangun dan memajukan dirinya, menuju masa depan yang jauh lebih maju, lebih adil dan lebih sejahtera. Oleh karena itu, saya mengajak Saudara semua, rakyat Aceh yang saya cintai dan saya banggakan, untuk tetap optimis dalam menapaki masa depan Bumi Rencong yang makin cerah ini. Mari kita pendam dalam-dalam luka sejarah yang ada di masa lalu. Mari kita bangkit dan terus membangun, menyongsong hari esok di bumi Serambi Mekah yang makin teduh dan damai ini.

Hadirin sekalian yang saya hormati, terutama Saudara-saudara kami masyarakat Aceh yang saya cintai.

Akhir tahun 2014 mendatang, insya Allah saya akan mengakhiri tugas saya memimpin negeri yang sangat kita cintai ini. Saya berharap dan mengajak, marilah kita jaga dan lestarikan perdamaian di Aceh ini. Jangan terganggu dan koyak oleh sebab apa pun. Perjalanan sudah amat jauh, korban sudah terlalu banyak. Kita ingin melihat Aceh yang makin maju, makin damai, makin adil, dan makin sejahtera. Itulah harapan kita, dan harapan saya pribadi yang amat mencintai Aceh.

Akhirnya, sekali lagi saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus atas kepercayaan, kehormatan, dan anugerah gelar doktor honoris causa kepada saya dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Saya juga mengucapkan selamat Ulang Tahun, Dies Natalis yang ke-52 dan kita mendoakan, kita membantu Universitas ini tumbuh menjadi kelas ternama di Indonesia dan juga di dunia insya Allah bisa. Semoga di bawah naungan Allah SWT, Universitas Syiah Kuala dapat tampil sekali lagi untuk memberikan yang terbaik kepada Aceh, kepada Indonesia, dan kepada dunia. Dengan harapan yang sama, kita berharap kehidupan yang damai di Aceh terus tumbuh bersemi. Majulah, dan jayalah Aceh yang sama-sama kita cintai.

Terima kasih.

 Wassalaamu'alaikum warrahmatullaahi wabarakaatuh.

 

 

 

 

 

Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan,

Kementerian Sekretariat Negara RI