Stop Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus!

 
bagikan berita ke :

Kamis, 08 Februari 2024
Di baca 4737 kali

Foto Cover: https://www.freepik.com/author/sorapop


Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk salah satunya di lingkungan kampus. Kampus yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu yang aman dan nyaman agar mahasiswa dapat belajar secara maksimal, justru menjadi salah satu tempat penyumbang terjadinya kekerasan seksual.

 

Pelecehan seksual dapat berupa pelecehan verbal maupun fisik. Pelaku pelecehan seksual sendiri tidak mengenal usia dan siapapun orangnya. Kebanyakan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus yaitu perempuan. Ketidakberdayaan dan kelemahan perempuan menjadi celah bagi para pelaku untuk membujuk korban agar menuruti hawa nafsunya.

 


Data Jumlah Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus dari Tahun 2015-2021/Foto: Katadata.co.id

 

Tidak jarang kekerasan fisik menyertai kekerasan seksual. Apabila sang korban tidak mau mengikuti ajakan pelaku, pukulan yang disertai ancaman kepada korban seringkali terjadi. Hal ini menyebabkan trauma yang mendalam bagi korban. Dari survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020, sebanyak 77% responden dari kalangan dosen mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 60% dari angka tersebut tidak melaporkan tindakan kekerasan seksual.

 

Ketika menjadi korban pelecehan seksual, seringkali perempuan tidak ingin melapor kepada pihak yang berwenang karena takut terhadap ancaman pelaku dan stigma negatif dari masyarakat. Hal ini menciptakan efek seolah-olah perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual menjadi penyebab dan bertanggung jawab atas kasus kekerasan seksual yang dialami. Sebaliknya, pelaku cenderung santai dan tidak terlalu memikirkan dampak yang ditimbulkan akibat dari perbuatannya. Tentu saja, hal ini tidak dapat dibenarkan dan dibiarkan berlarut-larut.

 

Lebih parahnya lagi, masih terdapat kampus yang menutup-nutupi kasus kekerasan seksual untuk melindungi nama baik kampusnya. Kampus sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya mencetak sumber daya manusia yang unggul untuk Indonesia yang lebih baik tidak sepatutnya menutupi kasus kekerasan seksual. Hal ini akan dinilai sebagai upaya kampus untuk melindungi pelaku. Yang diperlukan adalah adanya pernyataan dari pelaku kepada publik agar terkena sanksi sosial, atau bahkan dijerat hukum jika diperlukan. Selain itu, kampus juga perlu memberikan klarifikasi kepada publik dan menjelaskan sejujur-jujurnya mengenai kronologis dan tindakan tegas terhadap kekerasan seksual pelaku kepada korban.

 

Secercah Harapan

Adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi memberikan sebuah harapan kepada korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Akibat maraknya kekerasan seksual yang terjadi, perguruan tinggi wajib untuk memberikan modul mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia kepada seluruh civitas akademika.

 

Selain itu, bentuk pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan berupa pembatasan pertemuan antara mahasiswa dengan tenaga pendidik di luar jam kampus. Satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kampus juga dibentuk dengan beranggotakan mahasiswa dan tenaga pendidik dengan syarat tidak pernah terjaring kasus kekerasan seksual dan berperan aktif dalam melindungi kepentingan dan hak korban kekerasan seksual.

 

Penanganan Korban Kekerasan Seksual

Penanganan korban kekerasan seksual diatur dalam Pasal 10-19 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang terdiri dari:

  1. Pendampingan berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan bimbingan sosial dan rohani berdasarkan persetujuan korban. Apabila tidak ada persetujuan dari korban, maka dihadirkan orang tua atau pendamping.
  2. Perlindungan terhadap korban dalam menjalani pendidikan di perguruan tinggi, perlindungan dari ancaman kepada korban, penyediaan rumah aman, serta perlindungan dari gugatan pidana atau perdata.

 

Sudah sepantasnya, segala hal yang berkaitan dengan korban baik kerahasiaan identitas maupun informasi harus dilindungi. Penanganan trauma yang timbul akibat kekerasan seksual membutuhkan waktu yang cukup lama. Korban memerlukan tempat yang aman dan nyaman selama masa pemulihan. Dalam proses penanganannya juga, sebaiknya tidak terlalu mengungkit-ungkit kasus yang sedang dialami agar tidak menimbulkan beban psikologis yang justru dapat menghambat korban untuk sembuh dari rasa trauma.

 


Foto: https://www.freepik.com/author/scphotograph

 

Suara Korban

Kini, terdapat peraturan Menteri yang mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Korban tidak perlu takut lagi bersuara untuk mendapatkan keadilan atas kekerasan seksual yang dialami dan terhadap segala ancaman yang diberikan oleh pelaku. Korban dapat mencari dan mendatangi satuan tugas pencegahan dan penanganan kampus untuk meminta perlindungan dan penanganan yang tepat. Korban juga dapat memberikan informasi secara detail mengenai kronologis dan informasi pelaku perbuatan kekerasan seksual agar dapat ditindaklanjuti.

 

Apabila penanganan dari kampus masih kurang memadai, kini ada sosial media yang dapat digunakan sebagai media bersuara. Efek dari suara di sosial media sangat luar biasa. Proses perpindahan informasi sangat cepat diterima oleh masyarakat digital atau netizen. Tidak ada salahnya untuk bersuara di sosial media selama kebenaran informasi mengenai kronologis peristiwa dijelaskan sejujur-jujurnya. Walaupun tanpa menggunakan identitas pribadi yang benar, tidak apa-apa! Yang penting adalah isi dari postingan memuat kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan. Jangan pernah sekali-kali membiarkan pelaku masih hidup bebas tanpa adanya pertanggungjawaban serta iktikad baik dari pelaku. Sekali lagi, korban tidak perlu takut terhadap pelaku dengan latar belakang apapun, karena yakinlah kebenaran akan selalu menang sekalipun terdapat rintangan yang dihadapi.

 

Kolaborasi Civitas Akademika

Kekerasan seksual di kampus merupakan salah satu kejahatan yang harus diberantas. Diperlukan keterlibatan seluruh pihak untuk turut melakukan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Adanya kesadaran dari dalam diri masing-masing mengenai dampak yang ditimbulkan sangat diperlukan agar angka kekerasan seksual di lingkungan kampus dapat menurun atau bahkan tidak ada lagi. Mewujudkan lingkungan kampus yang aman dan nyaman untuk menuntut ilmu menjadi tujuan seluruh civitas akademika agar Indonesia dapat menjadi negara yang memiliki sumber daya manusia yang unggul dan bermoral.

 


 

IDENTITAS PENULIS

Penulis : Muhammad Haryo Pambudi

Profesi : Mahasiswa Ilmu Hukum

Instansi/Universitas: Universitas Terbuka

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
91           20           2           4           8