Darul Mitsaq, Wujud Legitimasi Hubungan Islam terhadap Ideologi dan NKRI

 
bagikan berita ke :

Senin, 07 Juni 2021
Di baca 1690 kali

Jakarta, wapresri.go.id – Hubungan antara Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada dasarnya sudah selesai diperdebatkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yang di antaranya adalah ulama dan tokoh Islam. Pada saat itu pun para tokoh Islam sudah memberikan argumentasi tentang penerimaan mereka terhadap NKRI yang berideologi Pancasila ini. Untuk memperkuat penjelasan tersebut, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin mengeluarkan gagasan Darul Mitsaq (negara kesepakatan) sebagai legitimasi hubungan antara Islam dan NKRI.

 

“Gagasan saya tentang Darul Mitsaq memang didorong untuk memberikan legitimasi keagamaan (Islam) terhadap ideologi dan sistem NKRI, karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim,” tegas Wapres pada acara Bedah Buku Dārul Mịṡāq: Indonesia Negara Kesepakatan, Pandangan K.H. Ma’ruf Amin, melalui konferensi video di Kediaman Resmi Wapres, Jl. Diponegoro No. 2, Jakarta Pusat, Senin (07/06/2021).

 

Dalam acara yang merupakan rangkaian kegiatan Dies Natalis Ke-57 UNJ tersebut, lebih jauh Wapres mengungkapkan bahwa umat Islam saat ini masih perlu mendapatkan penjelasan tentang hubungan antara Islam dan NKRI sebagai bentuk legitimasi keagamaan terhadap negara ini. Hal ini dilakukan agar gerakan-gerakan intoleran dapat dihindari.

 

Oleh sebab itu, pendekatan terpenting untuk menangkal gerakan ini, kata Wapres, adalah pendekatan wasathiyyah, yakni konsep Islam moderat yang mengandung arti jalan tengah di antara dua sisi atau dua bentuk pemahaman. Menurutnya, pemahaman Islam wasathiyyah adalah pemahaman yang  tidak tekstual dan tidak pula liberal, tidak berlebihan (ifrâth) tetapi juga tidak gegabah (tafrîth), dan tidak pula memperberat (tasyaddud) tetapi juga tidak mempermudah (tasâhul).

 

Adapun implentasi wasathiyyah atau moderasi beragama dalam bingkai Darul Mitsaq di Indonesia, menurut Wapres meliputi empat hal, yakni: toleransi, anti­kekerasan, komitmen kebangsaan, dan akomodatif terhadap budaya lokal dan perkembangan zaman.

 

“Pertama, toleransi adalah sikap dan perilaku seseorang yang menerima, menghargai keberadaan orang lain dan tidak mengganggu mereka, termasuk hak untuk berkeyakinan dan mengekspresikan keyakinan agama mereka, meskipun keyakinan mereka berbeda dengan keyakinan dirinya,” sebutnya.

 

Yang kedua, sambung Wapres, moderasi beragama tidak membenarkan tindak kekerasan, termasuk penggunaan cara-cara kekerasan atas nama agama untuk melakukan perubahan, baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik.

 

“Ketiga, komitmen kebangsaan terutama berbentuk pada penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, UUD 1945 sebagai konstitusi, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai pilihan bentuk Negara Indonesia. Keempat, pemahaman dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal atau konteks Indonesia yang multikultural dan multiagama serta perkembangan zaman yang semakin maju,” jelasnya.

 

Terakhir, Wapres menyimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa, tidak bertentangan dengan Islam, karena kelima sila di dalamnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bahkan secara eksplisit menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang beragama dan menghormati keberadaan agama.

 

“Oleh karena itu, kita tidak boleh mempertentangkan Pancasila dan agama, atau perintah memilih Pancasila atau Al-Qur’an,” tegasnya.

 

Sebelumnya, Rektor UNJ Komarudin dalam sambutannya menyampaikan bahwa Buku Dārul Mịṡāq: Indonesia Negara Kesepakatan, Pandangan K.H. Ma’ruf Amin ini merupakan ikhtiar untuk merawat mozaik kebhinekaan dan NKRI yang dilakukan oleh para akademisi baik itu dosen, peneliti, maupun alumni dari Universitas Negeri Jakarta.

 

“Buku ini merupakan oase dan sekaligus solusi dalam mengatasi problematika ikatan kebangsaan kita yang tengah menghadapi tantangan besar pada era disrupsi dengan segala derivasinya,” ujarnya.

 

Konsepsi Darul Mitsaq yang digagas oleh Wapres Ma’ruf Amin, menurut Komarudin, tidak hanya secara detail menjelaskan Darul Mitsaq dalam konteks sosial politik, tetapi juga membahas secara mendasar Darul Mitsaq dalam bingkai teologis, sosio politik, pendidikan, dan kebangsaan.

 

“Dalam konteks bidang pendidikan, konsepsi Darul Mitsaq menjadi diskursus penting yang relevan dan solutif di tengah problematika pendidikan nasional yang semakin minus dan hampa kesadaran kebangsaan pada era disrupsi saat ini,” ungkapnya.

 

Hadir dalam acara tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam, Staf Khusus Wapres Masykuri Abdillah selaku Pengantar Diskusi, Ketua Tim Penulis Rahmat Edi Irawan selaku Penyaji, dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNJ M. Fakhruddin selaku Moderator. Adapun yang bertindak sebagai Pembahas yakni Direktur Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Sahlan, Pakar Pendidikan Azyumardi Azra, Dosen Filsafat Ketuhanan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Simon Petrus Lili Tjahjadi, dan Direktur Pascasarjana UNJ Nadiroh.

 

Sementara, Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar serta Staf Khusus Wapres Bambang Widianto dan Masduki Baidlowi. (EP/SK-BPMI, Setwapres)

Kategori :
Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
5           0           0           0           0