Indonesia Sarankan Pendekatan Agama dan Budaya untuk Atasi Terorisme

 
bagikan berita ke :

Senin, 22 Mei 2017
Di baca 798 kali

Oleh karenanya, Indonesia meyakini pentingnya menyeimbangkan pendekatan hard power dengan pendekatan soft power. Selain pendekatan hard power, Indonesia juga mengutamakan pendekatan soft power melalui pendekatan agama dan budaya.

 

“Untuk program deradikalisasi, misalnya, otoritas Indonesia melibatkan masyarakat; keluarga, termasuk keluarga mantan nara pidana terorisme yang sudah sadar; dan organisasi masyarakat,” kata Presiden, sebagaimana dilansir dari siaran pers Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi, Sekretariat Presiden.

 

Untuk kontra radikalisasi, Presiden menyampaikan antara lain dengan merekrut para netizen muda dengan follower yang banyak untuk menyebarkan pesan-pesan damai.

 

“Kita juga melibatkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk terus mensyiarkan Islam yang damai dan toleran,” tutur Presiden.

 

Pesan-pesan damailah yang harus diperbanyak bukan pesan-pesan kekerasan. Setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru.

 

Dalam kesempatan itu, Presiden mengatakan bahwa pertemuan ini memiliki makna yang penting untuk mengirimkan pesan kemitraan dunia Islam dengan Amerika Serikat dan menghilangkan persepsi bahwa Amerika Serikat melihat Islam sebagai musuh.

 

“Yang lebih penting lagi pertemuan ini harus mampu meningkatkan kerja sama pemberantasan terorisme dan sekaligus mengirimkan pesan perdamaian kepada dunia,” ujar Presiden.

 

Presiden mengatakan bahwa ancaman radikalisme dan terorisme terjadi di mana-mana. Indonesia adalah salah satu korban aksi terorisme, serangan di Bali terjadi tahun 2002 dan 2005 dan serangan di Jakarta terjadi di Januari 2016.

 

"Dunia marah dan berduka melihat jatuhnya korban serangan terorisme di berbagai belahan dunia di Perancis, Belgia, Inggris, Australia dan lain-lain," ucap Kepala Negara.

 

Dunia seharusnya juga sangat prihatin terhadap jatuhnya lebih banyak korban jiwa akibat konflik dan aksi terorisme di beberapa negara seperti Irak, Yaman, Suriah, dan Libya.

 

“Umat Islam adalah korban terbanyak dari konflik dan radikalisme terorisme,” kata Presiden.

 

Lebih lanjut Presiden mengatakan bahwa jutaan saudara-saudara kita harus keluar dari negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jutaan generasi muda kehilangan harapan masa depannya.

 

“Kondisi ini membuat anak-anak muda frustasi dan marah. Rasa marah dan frustasi ini dapat berakhir dengan muculnya bibit-bibit baru ektremisme dan radikalisme,” kata Presiden.

 

Empat Pemikiran Jokowi untuk Para Pemimpin Dunia

 

Dalam penutupnya, Presiden menyampaikan empat pemikirannya. Pertama, umat Islam se-dunia harus bersatu untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah. “Persatuan umat Islam merupakan kunci untuk keberhasilan memberantas terorisme; janganlah energi kita habis untuk saling bermusuhan,” ujar Presiden.

 

Kedua, kerja sama pemberantasan radikalisme dan terorisme harus ditingkatkan, termasuk pertukaran informasi intelijen, pertukaran penanganan FTF (Foreign Terrorist Fighters), dan peningkatan kapasitas.

 

“Semua sumber pendanaan harus dihentikan. Kita semua tahu banyaknya dana yang mengalir sampai ke akar rumput di banyak negara dalam rangka penyebaran ideologi ekstrem dan radikal. Semua aliran dana harus dihentikan,” tutur Presiden.

 

Ketiga, upaya menyelesaikan akar masalah harus ditingkatkan, ketimpangan dan ketidakadilan harus diakhiri, dan pemberdayaan ekonomi yang inklusif  harus diperkuat

 

“Terakhir, saya berharap bahwa setiap dari kita harus berani menjadi “part of solution” dan bukan “part of problem” dari upaya pemberantasan terorisme. Setiap dari kita harus dapat menjadi bagian upaya penciptaan perdamaian dunia,” ujar Presiden mengakhiri sambutannya. (Humas Kemensetneg)

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           0           0           0           0