Sambutan dan Dialog Presiden - Pencanangan Kampung Keluarga Berencana, Cirebon,14 Januari 2016

 
bagikan berita ke :

Kamis, 14 Januari 2016
Di baca 1683 kali

SAMBUTAN DAN DIALOG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PENCANANGAN KAMPUNG KELUARGA BERENCANA (KB)
TPI MINA WALUYA BONDET, DESA MERTASINGA, CIREBON
14 JANUARI 2016




Presiden:
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbilalamin. Washalatu wassalamu ala asrofil ambiyai wal mursalin, sayyidina wahabibina wasyafi’ina wamaulana Muhammadin, wa’alaalihi washahbihi ajmain. Amma ba’du.


Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,

Saya panas enggak apa-apa. Meskipun kurus, masih kuat. Kepanasan aja kok rame tadi.

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja,
Yang saya hormati Gubernur Jawa Barat, Bupati Cirebon, Wali Kota Cirebon beserta seluruh jajaran,
Yang saya hormati Kepala BKKBN,
Seluruh Masyarakat, Hadirin, Tamu Undangan yang berbahagia, utamanya Warga Desa Mertasinga yang pada siang hari ini hadir,

Saya tadi kaget. Ada pertanyaan dari Dokter Surya tadi, “Yang sudah KB berapa?” Enggak ada yang tunjuk jari. Hanya tiga tadi saya hitung, hanya tiga. Ribuan banyaknya di sini, yang ikut KB hanya tiga, coba. Benar enggak?

Tapi tadi saya seneng waktu Pak Gubernur menyampaikan, “Penduduk di Jawa Barat sekarang 46 juta.” Diam semuanya. Enggak ada yang tepuk tangan. Bener itu. Penduduk di Provinsi Jawa Barat adalah memang yang terbanyak di Indonesia. Jadi, kalo di Desa Mertasinga ini kita gerakkan sebagai desa pertama, sebagai kampung pertama Kampung KB, saya kira enggak keliru.

Yang pertama, saya ingin titip bahwa penduduk kita, Indonesia—ini data terakhir yang saya terima—252 juta. 252 juta itu butuh makan. Artinya, kalo makannya beras, butuh beras, ya kan? Pertama, masalah makan.

Yang kedua, masalah yang berkaitan dengan sandang. Kan juga dibutuhkan.

Yang ketiga, yang berkaitan dengan kesehatan kalo sakit. Kalo sehat semuanya, alhamdulillah. Tapi, kalo sakit? Nah. Iya kalo ada tabungan, masih alhamdulillah. Kalo ndak ada?

Itu masalah kesehatan. Belum nanti kalo anaknya sudah gede-gede. Kalo SD, masih bisa. SMP, masih mampu. Begitu masuk SMA/SMK, sudah mulai doyong-doyong. Ingin anaknya pinter, masuk universitas, perguruan tinggi, nah.

Oleh sebab itu, yang namanya keluarga itu direncanakan, diatur, “Oh saya pingin anak saya satu, anak saya dua karena saya ingin anak saya ini dua-duanya sekolah sampe perguruan tinggi. Entah gimana caranya, saya akan lakukan.” Dihitung, “Oh, kalo masuk perguruan tinggi, itu butuh uang katakanlah 3 juta. Berarti saya harus siapkan, kalo dua orang, 6 juta. Nyiapkannya dari mana? Ya kan?”

Kumaha, damang? Sampurasun? Saya bisanya hanya dua itu.

Jadi laju pertumbuhan penduduk di Indonesia—saya bicara Indonesia ya—itu 1,3%. Artinya apa? Setiap tahun itu ada tambahan 3 juta, setiap tahun. Bayangkan 3 juta, dan nantinya itu setiap tahun harus membuka lapangan pekerjaan, ya kan? Setiap tahun ada tambahan seperti itu.

Oleh sebab itu, kenapa KB kita galakkan lagi? Karena sekarang juga persaingan antarnegara itu sangat ketat sekali, kompetisi antarnegara sangat ketat sekali, saling bersaing untuk merebutkan ekonomi. Agar apa? Semuanya ingin menyejahterakan rakyatnya. Tidak hanya di Indonesia, negara-negara lain inginnya rakyatnya juga sejahtera. Semuanya ini bersaing.

Tapi, kalo setiap tahun ada tambahan-tambahan 3 juta-3 juta-3 juta—masalah yang satu belum selesai, tambah lagi 3 juta; yang 3 juta belum selesai, nambah lagi 3 juta—bayangkan, Bapak/Ibu, coba bayangkan. 3 juta tambahannya.

Jadi, data saya, rata-rata tingkat kelahiran per perempuan, per ibu, ini 2010-2015 itu sebanyak 2,4 anak. Artinya per perempuan itu memiliki 2-3 anak. Dan nantinya, kurang lebih pada tahun 2020-2030, artinya 5 tahun sampai 15 tahun yang akan datang, kita mempunyai penduduk dengan umur produktif yang sangat besar sekali. Artinya harus menyiapkan lapangan pekerjaan pada tahun 2020-2030. Jumlah yang lanjut usia itu sangat sedikit. Yang di bawah, masih anak-anak, juga sedikit. Tapi yang usia produktif sangat besar sekali. Ini tantangan kita semuanya.

Sekarang saya mau tanya lagi. Tadi yang KB siapa, yang sudah KB? Kok banyak? Tadi yang gini hanya tiga. Ini kok banyak sekali? Tadi yang tanya Pak Dokter Surya tadi, saya hitung hanya tiga. Yang tanya saya, banyak.

Yang sudah KB berapa? Sekarang tunjuk jari. Nah, nah banyak banget. Bentar. Coba tunjuk jari lagi. Saya mau lihat. Kok banyak ya?

Coba, Bu. Sini, Bu, lewat sini.  Diperkenalkan. Namanya siapa?

Warga 1:
Terima kasih atas kesempatan yang berbahagia ini. Perkenalkan, nama saya Dewi Sri.

Presiden:
Bu Dewi, putranya berapa?

Warga 1:
Putranya satu, Pak.

Presiden:
Satu. Bener berarti. Tapi sudah sejak tahun berapa?

Warga 1:
Sudah tiga tahunan, Ppak.

Presiden:
Kenapa ikut KB?

Warga 1:
Karena saya pribadi dan keluarga mencanangkan bahwa yang mana untuk ber-KB itu kami ingin menyejahterakan keluarga kami. Dengan KB, kami berencana, Pak, untuk ke depannya yang mana supaya kami ada planning ke depan untuk semua bahagia gitu, Pak, sejahtera, anaknya sehat.

Presiden:
Bahagia itu kayak apa sih?

Warga 1:
Bahagia, sejahtera ya secara pribadi, Dewi sendiri ya punya angan-angan, Pak, cita-cita gitu. Kelak kalau anak Dewi itu besar, yang mana insya Allah bisa menjadi seperti Bapak.

Presiden:
Punya cita-cita itu boleh. Punya mimpi itu juga boleh. Siapa sangka? Saya dulu lahir di pinggir kali, jadi Presiden. Enggak ada.

Temen-temen saya banyak. Yang jadi pedagang kaki lima ada, temen saya. Temen-temen sekelas di kampung. Jadi supir, ada. Jadi pedagang di pasar, ada.

Tapi cita-cita boleh. Ditepuktangani lagi. Cita-cita seorang ibu itu boleh.

Udah itu aja, Bu Dewi.

Warga 1:
Makasih, Bapak.

Presiden:
Ambil itu sepeda satu. Saya tanya bagi semuanya. Ini memberi semangat yang lain, bener ndak? Udah dipilih aja. Yang lain biar pengen.

Coba, Pak, maju. Diperkenalkan namanya.

Warga 2:
Pak Rasani.

Presiden:
Anaknya berapa?

Warga 2:
Anaknya tiga, Pak.

Presiden:
Yang pertama sekolah di mana?

Warga 2:
Apanya?

Presiden:
Atau udah kerja?

Warga 2:
Nelayan, Pak.

Presiden:
Nelayan. Yang kedua?

Warga 2:
Yang kedua nelayan juga.

Presiden:
Nelayan. Yang ketiga?

Warga 2:
Yang ketiga masih belom usaha, Pak.

Presiden:
Belom usaha. Oh iya.

Pandangan Pak Rasani, KB itu gimana sih? Setuju ndak?

Warga 2:
Ya, kalo KB itu, Pak, ya mudah-mudahan sejahtera karo rakyat, karo masyarakat, sehat walafiat ya, Pak.

Presiden:
Ya udah. Baik, Pak Rasani, biar sehat semuanya, sekeluarga ini ya.

Mau ke sana itu mau ngapain? Wong belom diperintah, kok ke sana? Udah diambil sepedanya satu.

Tadi bener yang disampaikan. Jadi, kalo keluarga itu, ya kesehatan itu penting. Kalo Bapak-Ibu punya anak banyak, kemudian sakit-sakiten semuanya, kan jadi enggak sekolah, juga income keluarga menjadi berkurang.

Ini kok liat ke sana semua apa toh? Udah pulang langsung aja, Pak.

Yang KB lagi. Ibu-ibu mana? Ayo, coba ibu-ibu tunjuk-tunjuk dulu. Ya coba, sama putranya. Ayo putranya diajak. Ini putrinya?

Kita ini memiliki keluarga ini kan bukan banyak dan tidak banyak anak kan? Kualitas keluarga, ketahanan keluarga, anak-anak kan juga perlu Bapak-Ibu semuanya bimbing, kawal agar punya budi pekerti yang baik, ya ndak? Punya karakter yang baik. Jangan dilepas begitu saja.

Sekarang ini yang memengaruhi karakter anak, yang memengaruhi mental anak, yang memengaruhi moralitas anak tidak hanya di keluarga saja, tidak hanya di sekolah saja, tapi ada yang lain, lingkungan. Apa itu? TV, bener? Itu memengaruhi. Yang kedua, ada yang punya gadget, HP yang gede, yang bisa lihat apa-apa. Itu memengaruhi jiwa anak.

Hati-hati, hati-hati. Sekarang ini kekerasan terhadap anak juga banyak karena hal-hal yang tadi saya sampaikan. Oleh sebab itu, saya titip pendidikan budi pekerti, pendidikan karakter, pendidikan mental-moralitas anak itu didahulukan, dikedepankan, baru yang lain-lainnya.

Diperkenalkan dulu, Bu. Menghadap sana.

Warga 3:
Nama saya Ibu Ida.

Presiden:
Ibu Ida. Anaknya berapa?

Warga 3:
Anaknya dua.

Presiden:
Dua. Ya udah, kalo dua, langsung ambil sepeda aja dah. Ndak usah saya tanya. Dua udah. Dua kan cukup.

Jadi kita ingin meningkatkan kualitas hidup keluarga-keluarga yang ada di seluruh tanah air. Ini harus dimulai lagi. Jangan lupa. Banyak masyarakat yang lupa mengenai ini. Ini perlu. Kita ingin mengajak, mengingatkan kembali karena bangsa yang kuat, bangsa yang sejahtera, itu jika keluarga-keluarganya yang ada di tanah air ini sehat dan sejahtera.

Ini, Bu Ida ini mau ke mana? Lo tempat duduknya kan di sana? Ini pamer aja lewat depan.

Ada yang penggerak PKK ndak? Penggerak PKK dulu. Coba maju, Bu.

Lo Ibu-ibu kok enggak PKK? Ini kan banyak ikut juga, berpartisipasi: posyandu, di tempat-tempat yang lain. Jangan lupa.

Nama?

Warga 4:
Perkenalkan, nama saya Ibu Neni Karpi, dari Desa Mertasinga, Pak.
   
Presiden:
Ya. Apa sih yang telah dilakukan oleh tim penggerak PKK di desa ini untuk keluarga-keluarga yang ada di Desa Mertasinga?

Warga 4:
Mengajak masyarakat ikut dalam ber-KB, Pak, memotivasi gitu.

Presiden:
Caranya?

Warga 4:
Caranya, memotivasi orang, masyarakat yang belum mau ber-KB gitu, Pak, mengajak.

Presiden:
Diajak?

Warga 4:
Iya.

Presiden:
Kalo enggak mau, diapain?

Warga 4:
Ya dibujuk, Pak, dirayu gitu.

Presiden:
Gimana cara merayunya?

Warga 4:
Biar anaknya, jangkanya jangan terlalu dekat gitu, jangka kelahirannya, Pak.

Presiden:
Diberi tahu?

Warga 4:
Ya.

Presiden:
Gimana? Cara memberitahunya gimana sih? “Buu,” gitu? Yang halus atau dibentak, “Bu!” Gimana?

Warga 4:
“Bu, Ibu tuh anaknya sudah banyak ya? Sekarang yuk ikut KB.”

Presiden:
“Enggak mau.” Terus gimana? Dijawab gimana?

Warga 4:
Ya nanti, Pak, diulang-ulang, nanti dikasih tahu lagi.

Presiden:
Oh diulang-ulang sampai mau ya?

Warga 4:
Ya sampai mau.

Presiden:
Oh ya. Terima kasih. Bagus.
Pokoknya, jangan pantang menyerah. “Enggak mau.” Bujuk lagi gitu.
Makasih.

Warga 4:
Makasih, Pak.

Presiden:
Ya.
Mbok kalo mau berjalan ke sana itu, tanya saya dulu, “Pak, dapet sepeda ndak sih?” gitu. Udah mau ke sana. Ya kalo saya beri. Silakan diambil, Bu.
Ini yang apa? Bentar. Oh yang sekolah ya, yang GenRe. Sini coba.
Nama?

Warga 5:
Perkenalkan, nama saya Risma Febyanti, dari SMPN 1 Gunung Jati.

Presiden:
Itu kok rame sekali. Siapa itu? Teman-temannya? Sana enggak dapet sepeda.

Ya gimana? Mengenai apa? GenRe ini gimana? Kegiatannya apa?

Warga 5:
kegiatannya, jadi kita itu organisasi yang.

Presiden:
Yang apa? Organisasi di sekolah?

Warga 5:
Ya.

Presiden:
Ya ngajak teman-temanmu atau memberi tahu teman-temanmu mengenai apa?

Warga 5:
Tentang remaja yang baik.

Presiden:
Oh tentang remaja yang baik.

Warga 5:
Ya.

Presiden:
Remaja yang baik itu yang seperti apa?

Warga 5:
Remaja yang baik itu remaja yang terbebas dari, yang pertama, napza; yang kedua, seks bebas.

Presiden:
Apa tuh? Napza tuh apa? Beri tahu. Iya apa?

Warga 5:
Napza itu narkoba, zat psikotropika, dan zat adiktif.

Presiden:
Oh ya pinter.

Terus apa lagi? “Enggak boleh...”

Warga 5:
Yang kedua, seks bebas.

Presiden:
Enggak boleh. Terus?

Warga 5:
Dan yang ketiga, HIV/AIDS.

Presiden:
Ya. Terus?

Warga 5:
Jadi remaja yang baik itu harus terhindar dari kasus, yang pertama, napza; yang kedua, seks bebas; dan HIV/AIDS.

Presiden:
Kamu memberitahu teman-temannya?

Warga 5:
Ya.

Presiden:
Menggerakkan teman-temannya, semuanya agar tidak mendekati tiga tadi,
betul? Iya?

Warga 5:
Ya.

Presiden:
Ada enggak sih di—siapa tadi namanya?

Warga 5:
Risma.

Presiden:
Di sekolah Risma, yang kena narkoba ada enggak?

Warga 5:
Enggak ada.

Presiden:
Alhamdulillah. Saya senang sekali.
Ya udah, tadi kan udah cerita tiga yang bagus. Diambil sepedanya.

Warga 5:
Makasih, Pak.

Presiden:
Masih banyak banget toh sepedanya? Masih lima?
Bentar, yang belakang-belakang itu. Coba bapak itu, yang sana itu, yang malah sembunyi. Ditunjuk, malah sembunyi gini. Itu, depannya, yang duduk, yang duduk ini lo. Ya.
Ini keliatannya enggak KB ini? Coba aja tanya?
Pak siapa?

Warga 6:
Pak Warman.

Warga 6:
Pak Parman.

Warga 6:
Warman.

Presiden:
Oh Warman, Pak Warman.

Putranya berapa, Pak? Anaknya berapa?

Warga 6:
Umurnya?


Presiden:
Anak?

Warga 6:
Anaknya empat.

Presiden:
Empat. Bener kan? Saya sudah tebak tadi, pasti lebih dari dua. Anaknya empat.
Udah balik. Bener mau balik ke sana? Masak enggak ngomong, hanya gini aja. Pak Warman, sama Presiden lo ini. Masak gini-gini. Masya Allah.
Udah diambil. Enggak saya tanya wong anaknya empat. Gimana saya tanya? Ya enggak apa-apa, udah diberi sepeda. 
Sebentar. Ini coba. Pak Warman, ke mana itu? Tempat duduknya di sana, kok ke situ?
 
Presiden:
Nama?

Warga 7:
Nama saya Bapak Muro.

Presiden:
Bapak Muro?

Warga 7:
Iya.

Presiden:
Pak Muro, anaknya berapa, Pak?

Warga 7:
Hah?

Presiden:
Anak?

Warga 7:
Anak dua.

Presiden:
Anak dua. Saya tanya kalo dua. Tepuk tangan dulu. Anaknya dua.

Kok anaknya dua? Kok enggak empat?

Warga 7:
hehehe.

Presiden:
Kok tertawa? Gimana sih?

Sini. Kok anaknya dua? Kok tidak empat? Kenapa?

Warga 7:
Karena saya menyusun ekonomi.

Presiden:
Nah bener ini, “Karena menyusun ekonomi,” bener. Ya kan? Jangan anaknya lima-enam tapi ekonominya morat-marit. Kan kasihan anaknya, kan?
Udah jawabannya satu aja bener. Diambil sepeda udah. Bener, “Menyusun ekonomi” bener. Udah, enggak usah. Pertanyaannya kan gampang-gampang.
Masih berapa tuh sepedanya? Tiga? Ini yang jauh-jauh, ibu yang bawa anak kecil itu. Sini.
Ini, kecilan saya dulu kayak ini, ya digendong gini.
Siapa, Bu, namanya? Namanya siapa?

Warga 8:
Nama saya Ibu Uni.

Presiden:
Putranya berapa? Anaknya berapa?

Warga 8:
Dua.

Presiden:
Dua. Wah sini, tanya kalo anaknya dua. Yang satu? Yang satu?

Warga 8:
Yang satu kelas 3 SD.

Presiden:
Kelas 3 SD. Ini?

Warga 8:
Yang ini masih 21 bulan.

Presiden:
Berarti terpaut berapa tahun?

Warga 8:
Mungkin lima ya?

Presiden:
Lima tahun. Nah itu namanya bagus, direncanakan.

Kenapa dua?

Warga 8:
Dua aja cukup, Pak.

Presiden:
“Dua cukup, Pak.” Ya alasannya? Dua kenapa? Ada ndak alasannya?

Warga 8:
Ya alasannya, cukup dua aja.

Presiden:
“Cukup dua aja?” Ya udah, ambil sepeda.

Ini malah tegas ini, “Pokoknya dua, udah.” Enggak apa-apa, udah bener.

Ternyata banyak yang KB. Tadi kok enggak tunjuk jari tadi, hanya tiga orang. Ternyata.

Pak Camat kok nganter? Gimana sih? Sayang kepada rakyatnya.

Lagi. Yang urusan KB-KB tadi. Ya coba satu, pos KB. Coba Ibu.

Nama?

Warga 9:
Bismillahi,
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Presiden:
Waalaikumsalam.

Warga 9:
Perkenalkan, nama saya Ibu Asti.

Presiden:
Ibu Asti.

Warga 9:
Insya Allah akan mengganti pos KB yang lama, dan sekarang saya akan menggantikan ibu pos KB yang lamanya, Pak. Saya yang baru. Tapi insya Allah saya akan berusaha untuk lebih baik.

Presiden:
Lebih baik yang seperti apa?

Warga 9:
Lebih baik itu kalo kita mau berusaha dan terus berusaha, Pak. Insya Allah akan jadi lebih baik kalo kita mau belajar.

Intinya, kita semangat, ya untuk membantu desa kita, Pak, dari Kampung KB atau dari ini tentang KB.

Presiden:
Kegiatannya apa sih nantinya?

Warga 9:
Cari ibu-ibu yang akan ber-KB agar mau, nurut untuk melaksanakan kegiatan
Kampung KB.

Presiden:
Terus setiap hari muter, gitu?

Warga 9:
Enggak juga sih pak.”

Presiden:
Lha gimana?

Warga 9:
Ya tergantung penyuluh ada kegiatan, atau ya misalnya ada pembukaan KB. Kita cari sasarannya.

Presiden:
Cari?

Warga 9:
Iya.

Presiden:
Biasanya gimana tuh, nyarinya gimana, ke RT-RT didatangin gitu? Terus ibunya diajak?

Warga 9:
Iya.

Presiden:
Gampang enggak sih cari-cari gitu?

Warga 9:
Insya Allah, Pak, kalo kita sabar, pasti gampang asal kita jangan putus asa untuk mengajak ibu-ibu itu.

Presiden:
Udah dapet berapa?

Warga 9:
Yang ikut KB  tiga yang hari ini, Pak.

Presiden:
Hari ini tiga, sehari tiga? Jadi setahun bisa 1.000 ya, tiga kali 360.

Warga 9:
Tapi kan dapet, Pak.

Presiden:
Oke, selamat bertugas.

Warga 9:
Makasih ya, Pak.

Presiden:
Oke makasih.

Ini belum dapet persetujuan lo. “Saya dapet ya?”, langsung ngambil. Saya belum ngomong ‘ya’. Tadi bukan ‘ya’. Aduh aduh aduh aduh.

Coba ibu-ibu yang sepuh mana ya? Bentar. Coba ini ibu, sini. Saya mau tanya ibu-ibu yang sepuh ini putranya berapa, karena sering banyak, putranya banyak.

Namanya siapa, Bu.

Warga 10:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Presiden:
Waalaikumsalam.

Warga 10:
Namanya Ibu Sutiyah.

Presiden:
Bu Sutiyah, putranya berapa?

Presiden:
Putranya dua.

Presiden:
Dua. Pikiran saya tadi, kalo orang-orang lama, kan anaknya ada 6, 8, 9, ternyata dua.

Ya udah, Buk, diambil sepeda langsung ajalah. Enggak usah ditanya udah. Untuk contoh, udah. Meskipun beliau ini sudah sepuh, tapi memberi contoh, anaknya dua.

Sekali lagi, saya ingin tegaskan bahwa bangsa kita akan menjadi bangsa kuat dan sejahtera jika keluarga-keluarga kita juga kuat dan sejahtera. Untuk itu, kita semua harus bergerak bersama sama, bergotong royong membangun keluarga Indonesia yang berkualitas.

Akhir kata, dengan mengucap ‘Bismillahirrahmanirrahim’, saya resmikan Program Kampung KB (Kampung Keluarga Berencana) di Desa Mertasinga. Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.


*****


Biro Pers, Media dan Informasi
Sekretariat Presiden