Foto Cover: BPMI Setpres
Klung.., Klung.., Klung.., begitulah suara alat musik tradisional bambu yang namanya diambil dari bunyinya. Angklung atau angklung – angkleungan merupakan instrumen musik dari masyarakat Sunda. Dalam sejarahnya, angklung tradisional biasa digunakan dalam upacara penyembahan kepada Nyai Sri Pohaci (Dewi Padi) dan Seren Taun untuk keberkahan padi dan menghormati hasil panen. Namun, kini angklung digunakan secara luas sebagai hiburan dan tidak terbatas pada ritual tertentu saja.
Daeng Sutigna seorang guru musik berhasil berinovasi mengubah tangga nada angklung dari pentatonis menjadi diatonis chromatik, yang memungkinkan alat musik ini dapat memainkan berbagai lagu dan menjadi populer di masyarakat. Muridnya, Udjo Ngalegena, melanjutkan kepopuleran angklung dengan mendirikan Saung Udjo di Bandung, menjadi pusat kreativitas untuk alat musik angklung. Saung Udjo sering diundang ke berbagai acara di dalam dan luar negeri, mendorong penyebaran budaya angklung secara internasional.
Foto:Daeng Sutigna/Sumber: Collectie Tropenmuseum
Kedua hal ini merupakan proses diplomasi budaya untuk memperkenalkan dan melestarikan kesenian tradisional Indonesia, khususnya seni Sunda. Pengenalan tersebut tidak hanya melibatkan fisik dan bunyi dari Angklung, tetapi juga nilai-nilai, filosofi, dan makna budaya dan masyarakat Sunda yang terkandung dalam Angklung. Dalam Ilmu Hubungan Internasional, diplomasi budaya merupakan upaya negara untuk mencapai kepentingannya melalui bidang kebudayaan, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, olahraga, pendidikan, atau propaganda (Warsito & Kartikasari, 2007).
Pada akhirnya, angklung dapat membangun pemahaman, identitas, dan merek (branding) negara Indonesia. Kemudian menarik para masyarakat luar untuk dapat berkunjung ke Indonesia, khususnya tempat angklung berasal yaitu Jawa Barat. Selain itu, mengajak khalayak luar untuk mengembangkan instrumen musik angklung tanpa menghilangkan kekhasannya.
Thailand menjadi salah satu keberhasilan dimana angklung menjadi daya tarik masyarakat luar. Hal ini terjadi ketika Keluarga Kerajaan Thailand, Raja Rama V, tertarik dengan alat musik angklung saat mendengarnya. Raja pun membawa angklung ke Thailand dan meletakkannya di ruang anak-anak di Istana Bangkok. Raja Thailand tersebut bahkan telah mengunjungi Indonesia sebanyak tiga kali pada tahun 1870, 1896, dan 1910.
Pada tahun 1908, pangeran Bhanu-Rangsri-Sawangwong, adik Raja Rama V, datang ke Indonesia bersama Jawang Sorn Silapa-Bunleng, seorang musisi yang tertarik dengan angklung. Mereka ingin mempelajari angklung, karena tidak ada yang bisa mengajarkan angklung dengan baik di Istana. Akhirnya, mereka membawa satu set 10 buah angklung ke Thailand dan pertama kali memperdengarkannya di Istana Burapa di Bangkok.
Foto: Siswa – Siswi memainkan angklung/Sumber: thai-blog.com
Angklung telah diajarkan di sekolah-sekolah oleh guru musik Thailand seiring berjalannya waktu. Hal ini mendorong minat untuk membuat angklung secara handmade di rumah. Salah satu contohnya adalah Phol Kit-Khan, seorang guru musik yang membuat angklung untuk anak-anak sekolah dan membentuk kelompok pemain musik angklung. Bahkan, kebun pohon duriannya yang terkenal diganti dengan tumbuhan bambu. Akhirnya, "angklung Thailand" atau angkalung, dikenal luas di tengah masyarakat Thailand dari berbagai kalangan.
Demikianlah, angklung alat musik tradisional bambu, berhasil menarik perhatian masyarakat luar, termasuk keluarga Kerajaan Thailand. Hal ini menjadi penting bagi bangsa Indonesia karena alat musik ini dapat dilestarikan tanpa kehilangan asal muasalnya. Ini juga sesuai dengan semangat melestarikan alat musik angklung sebagai warisan budaya dunia yang diakui oleh UNESCO.
Referensi
Amatyakul, P. 2019. Century of the Angklung Journey and Its Establishment in Thailand. International Journal of Creative and Arts Studies Vol. 6 No. 1
Kemendikbud. 2015. Angklung. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/angklung/#:~:text=Kata%20Angklung%20berasal%20dari%20Bahasa%20Sunda%20%E2%80%9Cangkleung-angkleungan%E2%80%9D%20yaitu,yang%20berarti%20nada%20dan%20%E2%80%9Clung%E2%80%9D%20yang%20berarti%20pecah.
Rosyadi. 2012. Angklung: Dari Angklung Tradisional ke Angklung Modern. Patanjala Vol. 4 No. 1
Warsito, T & Kartikasari, W. 2007. Diplomasi Kebudayaan Konsep dan Relevansi Bagi Negara Berkembang: Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Ombak
Penulis : Muhamad Fikri Asy'ari
Pekerjaan/Profesi : Independent Researcher
Instansi : PRIMALI Berdaya