Oleh: Eddy Cahyono Sugiarto
(Asisten Deputi Hubungan Masyarakat)
“It is not the strongest of the species that survives nor the most intelligent. It is the one most adaptable to change “ Charles Darwin
Dalam perkembangan konstelasi dunia global dewasa ini, sejatinya kita tengah menghadapi fenomena disruption (disrupsi), situasi di mana telah terjadi perubahan yang sangat cepat, mengubah “cara-cara lama” dengan “cara-cara baru” , yang berimbas pada perubahan fundamental pada berbagai sendi kehidupan, mengacak-acak pola tatanan lama menuju pada tatanan baru.
Disrupsi telah menginisiasi lahirnya cara “baru” dengan model bisnis proses yang baru pula, dengan pengarusutamaan pada strategi yang lebih inovatif, kreatif dan disruptif. Cakupan perubahannya membentang tanpa mengenal sekat ruang dan waktu.
Disrupsi bak virus mewabah dan meluas secara cepat, mulai pada dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat dan hubungan kemasyarakatan, disrupsi hanya menyisakan 2 pilihan, berubah atau punah.
Merujuk pada pemikiran Rhenald Kasali dalam karya terbarunya, Self Disruption 2018, kita dibawa untuk lebih dalam melihat dampak disruption pada dunia industri. Mereka yang berada di dalam bisnis high-tech telah menjadi Digital Master. Demikian pula, walaupun tak setinggi high-tech company, sektor retail dan perbankan juga self-disruption.
Kita kini menyaksikan industri tengah dipimpin pemain-pemain baru yang bekerja dengan inovasi dan kreatifitas serta cara-cara baru, hal ini selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi kita, untuk menjawab pertanyaan faktor yang menyebabkan sektor retail Indonesia mengalami guncangan yang besar sepanjang tahun 2017–2018.
Fenomena disrupsi telah membawa keunggulan kompetitif bagi kalangan yang adaktif dan memiliki visi digital, yang berkembang menjadi digital leadership, yang mampu mengarahkan seluruh sumber daya organisasi memenangkan persaingan, dengan menerjemahkan visi kedalam berbagai rencana aksi kongkrit yang kekinian dan adaktif terhadap perubahan.
Lalu bagaimana dampak fenomena disrupsi dengan dunia kehumasan khususnya di pemerintahan? Adagium berubah atau punah tampaknya juga berlaku didunia kehumasan pemerintahan, sebagai imbas dari fenomena desrupsi, oleh karena itu kalangan humas harus segera melakukan self disruption.
Self Disruption merupakan salah satu kata kunci “bertahan hidup” pada masa mendatang, karena ketika dampak disrupsi semakin nyata, kita masih melihat pola pikir yang berkembang, bahwa hal tersebut terjadi “di luar sana” dan “masih jauh”. Masih banyak dari kita yang hanya terpaku pada “faktor eksternal”, bukan melihat ke dalam diri (faktor internal), lalu melakukan self-disruption.
Kalangan kehumasan pemerintah harus segera melakukan Self Disruption! Be disruptive, or you will be disrupted, begitu kira-kira benang merahnya, untuk itu diperlukan kesadaran kolektif dari kalangan humas pemerintah untuk terus dapat terus mengembangkan inovasi dan kreatifitas dalam membangun kepercayaan dan reputasi terhadap organisasi kerjanya.
Perbaikan terus menerus (continuous improvement) melalui branding dengan mengoptimalkan diseminasi digital perlu terus ditingkatkan sehingga apa yang telah, sedang dan akan dikerjakan organisasi kerja terglorifikasi kepada masyarakat, sekaligus membangun engangement masyarakat terhadap bisnis proses suatu kebijakan yang dapat dijadikan umpan balik dalam peningkatan kinerja pada berbagai K/L pemerintah.
Disrupsi semakin mendapatkan tempat di era revolusi Industri 4.0 kini, meskipun kita ketahui bersama bahwa bukan pertama kali era industri dunia berevolusi, di akhir abad ke-18, kita telah mengenal Industri 1.0 dengan hadirnya alat tenun mekanis pertama pada tahun 1784.
Kala itu, industri diperkenalkan dengan fasilitas produksi mekanis menggunakan tenaga air dan uap, Industri 2.0 adalah era revolusi produksi massa, era industri 3.0 adalah era penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi.
Namun dalam era Revolusi Industri 4.0, kita kini disajikan dengan sophistikasi teknologi dari Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial Intelligence, human-machine interface, Cloud, Computer Quantum, robot, 3D printing, Augmented Reality and Virtual Reality (AR/VR) hingga Mixed Reality yang kesemuanya mewarnai transformasi cepat di berbagai bidang kehidupan termasuk kehumasan.
Humas Pemerintah 4.0
Revolusi Industri 4.0 dengan perkembangan Teknologi informasi dan komunikasi, utamanya dengan semakin masifnya penetrasi internet dalam berbagai kanal komunikasi yang berbasis digital, telah mewarnai perubahan drastis dalam tata kelola humas dan pola komunikasi masyarakat.
Pemahaman konvensional yang tertanam tentang humas pemerintah sebagai profesi yang berkutat dengan pembuatan pers rilis, peliputan dokumentasi, penerbitan majalah internal dan monitoring dan analisis pemberitaan serta aktivitas trutin lainnya dengan pola-pola konvensional harus segera ditinggalkan.
Pemanfaatan media sosial sebagai inovasi teknologi pada era kini sudah menjadi suatu keniscayaan, sebagai kanal yang berperan dalam mengoptimalkan diseminasi yang perlu terus diikuti dengan dengan konten-konten yang kreatif ditengah transformasi pola komunikasi.
Transformasi pola komunikasi dari pola komunikasi linier menjadi pola komunikasi simetris, real time sebagaimana ciri fase interactive communication era (katagorisasi Everett M Rogers), menjadikan tuntutan engangement masyarakat meningkat sehingga peran strategis pemanfaatan media sosial oleh humas pemerintah menjadi jawabannya.
Disruption era dengan penggunaan internet sebagai media baru (new media), membawa konsekuensi pergeseran karakter khalayak menjadi audience, khalayak tidak lagi obyek pasif, namun dapat berperan menjadi produsen informasi (Prosumer), masyarakat sebagai khalayak tidak lagi pada posisi obyek yang dideterminasi media massa arus utama, tetapi lebih jauh dapat berperan memproduksi berita dan membentuk opini publik via platform media sosial.
Melalui media sosial memungkinkan pengguna berinteraksi, berbagi dan berkomunikasi yang membentuk ikatan sosial secara virtual dalam masyarakat jejaring (networking society) yang ditandai dengan munculnya jurnalisme warga (citizen journalism), fenomena ini menempatkan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru sekaligus berperan membentuk opini publik.
Revolusi Industri 4.0 yang diikuti dengan masifnya pemanfaatan Internet of Things (IoT ) dan fenomena digital twin antara domain digital dan fisikal (cyber-physical system), menuntut keterlibatan aktif dalam domain digital sehingga tidak lagi domain fisik semata, terbangun sistem informasi yang mengotomatisasi berbagai kegiatan rutin manusia, sehingga kalangan humas pemerintah dapat lebih fokus pada kegiatan yang strategis dan humanis.
Sosok humas pemerintah di era disruption harus memiliki keahlian yang lebih kompleks, dengan terus mengupgrade soft skill dan hard skill serta penajaman konten-konten yang dihasilkan, dengan mempertimbangkan spesifikasi mikro targeting audiense, dan pemanfaatan secara optimal berbagai kanal media sosial kekinian yang dimiliki.
Humas Pemerintah 4.0 perlu terus bertransformasi dalam menghasilkan konten pemberitaan yang kekinian, berevolusi dengan menekankan pada konten-konten visual, foto, animasi dibandingkan dengan pendekatan tekstual, hal ini agar informasi dapat terserap lebih cepat.
Bentuk publikasi yang bersifat formal dan kegiatan seremonial kini tidak lagi menarik perhatian masyarakat, yang kini lebih menuntut akan konten-konten yang menarik dan shareable pendekatan humanisme lebih menjadi sesuatu daya tarik tersendiri.
Kalangan Humas Pemerintah 4.0 perlu terus meningkatkan engangement masyarakat melalui aktivitas-aktivitas yang menarik dengan mengedepankan interaksi, seperti kuis, infografis dan videografis atau film berdurasi pendek. Demikian pula dengan pemilihan narasumber dapat dipertimbangkan pemanfaatan Endorsers Millennial jadi tidak lagi semata-mata para pejabat dalam kemasan formal seremonial.
Pemahaman yang komprehensif terhadap media sosial sebagai kanal diseminasi perlu terus ditumbuhkembangkan agar optimal dalam membangun reputasi dan kepercayaan masyarakat, dengan terus mengembangkan konten kreatif berbekal kecakapan dan kreatifitas dalam menghasilkan konten-konten yang sederhana, menarik, singkat dan unik dengan mengedepankan design grafis dan visual menggantikan pola-pola lama narasi teks, didato, surat edaran dan lainnya yang terkesan membosankan.
Optimalisasi diseminasi berbagai kerja-kerja pemerintah, apa yang telah sedang dan akan dilakukan perlu terus ditingkatkan kecepatan diseminasinya, dengan membangun kolaborasi pada jejaring kehumasan pemerintah lainnya serta menjadikan seluruh SDM yang ada dalam organisasi pemerintah sebagai humas pemerintah, karena sesungguhnya seluruh SDM dapat berperan sebagai Humas.
Langkah Strategis
Trasnformasi komunikasi pemerintah sebagai langkah strategis dapat dilakukan dengan menata ulang rencana komunikasi strategis (strategic communication plan), sebagai peta jalan perubahan dengan pola kekinian, melakukan market intelejen sehingga strategi komunikasi publik disesuaikan dengan penerima pesan.
Untuk itu Humas Pemerintah 4.0 dituntut untuk terus mengembangkan kompetensi dan mengubah mindset bekerja dari pelayanan teknis semata menjadi praktisi komunikasi publik yang visioner (think ahead) dan bekerja dalam ritme inovatif dan kreatif, berpikir holistik dan lintas sektor(think across) sehingga terjadi transformasi menuju kinerja pemerintahan yang mampu beradaptasi dengan perkembangan lingkungan strategis (dynamic government).
Hal ini sangat diperlukan dalam mendukung optimalisasi diseminasi agenda-agenda kerja pemerintah, strategisnya positioning SDM sebagai praktisi humas, PR atau pengelola informasi publik dipertegas dalam riset, Sallot dan Johnson (2006), yang melakukan survei terhadap pers di Amerika Serikat (AS), yang menemukan bahwa 44 persen media berita di AS dipengaruhi oleh praktisi humas, yang menjadikan output pekerjaan praktisi humas sebagai agenda setting. Bahkan, surat kabar bergengsi seperti the Washington Post dan New York Times mendapatkan lebih dari setengah konten mereka berasal dari siaran dan konferensi pers.
Oleh karena itu diperlukan rencana aksi kongkrit dalam mendukung suksesnya diseminasi informasi dan capaian kerja organisasi pemerintah dengan terus memperbaiki penyiapan konten yang berkualitas (content is the King), mengedepankan kreatifitas dan data yang akurat sebagai narasi tunggal , sekaligus materi agenda setting terkait kerja kerja pemerintah guna mendapatkan dukungan dan kepercayaan publik.
Humas Pemerintah 4.0 seyogyanya terus mentransformasi mindset dari bekerja secara linier dan business as usual menjadi visioner (think ahead) dan kreatif serta inovatif, berpikir holistik dan lintas sektor (think across), harus memiliki kompetensi layaknya seorang chief editor atau newsroom head, utamanya dalam meningkatkan kemampuan menghasilkan konten komunikasi publik yang menarik, lebih padat, berisi, inovatif dan kreatif dengan mengoptimalkan pemanfaatan media sosial dalam mengakselerasi diseminasinya.
Membangun kolaborasi pada jejaring humas pemerintah menjadi salah satu katakunci dalam menjawab tantangan optimalisasi diseminasi komunikasi pemerintah dengan menjadikan masing-masing humas pemerintah sebagai partikel-partikel kecil yang saling terhubung dan berenergi positip dalam menyukseskan kerja kerja pemerintah.
Langkah strategis yang dapat dilakukan adalah membangun kolaborasi antara K/L dan mengoptimalkan kegiatan pra kondisi sehingga tidak lagi berperan sebagai “pemadam kebakaran”, utamanya dalam memfasilitasi data dan informasi kepada publik, mengkomunikasikan kebijakan pemerintah, kontra issue dengan membangun manajemen krisis dan tim reaksi cepat.
Humas Pemrerintah 4.0 perlu terus didorong untuk berperan aktif memberantas hoaks dan false news dan hate speech dengan pemanfaatan optimal media sosial, mengingat hasil survei daring Mastel yang diikuti oleh 1.116 responden pada tahun 2017 yang baru lalu, membuktikan bahwa media sosial, aplikasi komunikasi, dan situs menjadi saluran tertinggi penyebaran hoaks dalam bentuk tulisan, gambar, dan video.
Fokus pada manajemen komunikasi media sosial tampaknya menjadi skala prioritas yang perlu dilakukan Humas Pemerintah 4.0 mengingat peran media sosial melalui algoritma secara tidak langsung juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam membentuk masyarakat post-truth.
Algoritma media sosial berperan dalam menciptakan kondisi yang disebut echo-chamber. Echo-chamber (ruang gema) adalah kondisi di mana seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan yang homogen secara terus-menerus, sedangkan pandangan lain tidak masuk dalam ‘ruang’ tersebut.
Algoritma seolah-olah menjadi “filter buble”. Algoritma filter buble mengkondisikan pengguna mendapat informasi sesuai dengan riwayat penggunaannya, secara perlahan tapi pasti informasi yang dipasok disesuaikan dengan dengan preferensi yang dikehendaki, sedangkan yang tidak sesuai akan tersortir secara otomatis.
Eksternalitas dari algoritma tersebut tak dibayangkan adalah masyarakat akan hanya mendapat informasi yang bersifat banal dan parsial. Dampaknya adalah penguatan identitas dan polarisari masyarakat yang semakin tajam dan berpotensi memantik konflik yang berkepanjangan, disinilah peran aktif Humas Pemerintah 4.0 menjadi sangat strategis sebagai faktor ”penyeimbang” dengan memenuhi ruang publik dengan informasi positip guna membangun optimisme masyarakat sekaligus sebagai katalisator literasi digital.
Percepatan literasi digital yang digagas akan sangat berguna dalam memberikan pencerahan terkait dengan hak digital (digital rights), kecerdasan emosional digital (digital emotional intelligence) dan penggunaan penggunaan digital (digital use) yang “sehat” dan berkontribusi positip dalam menyongsong perubahan positip membangun optimisme bangsa.
Peran serta Humas Pemerintah 4.0 dalam akselerasi literasi digital masyarakat akan mampu mendorong masyarakat untuk berpikir kritis (critical thinking), yaitu kemampuan untuk membedakan antara informasi nyata dan bohong, konten baik dan berbahaya, dan kontak online yang dapat dipercaya maupun yang diragukan.
Di era disruption, Humas Pemerintah 4.0 tidak cukup hanya menyampaikan informasi saja, cara-cara penyajian dan kemasan komunikasi publik harus mengacu pada kemasan kekinian yang menjadi trend dan mudah dicerna, tanpa mengurangi makna subtansial dari pesan, model-model penyajian melalui infografis, vblog, animasi serta modeling analisis berita dengan coding teknologi secara realtime dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan.
Kemasan komunikasi publik i harus dikelola secara terintegrasi dengan membangun kolaborasi dengan K/L terkait data dan informasi kebijakan dan program lintas sektor, untuk itu dashboard komunikasi pemerintah yang terintegrasi antar K/L, perlu terus dikembangkan melalui interface data sebagai one big data yang dapat menjadi rujukan bersama sebagai materi diseminasi komunikasi pemerintah sekaligus sebagai alat kendali pimpinan dalam melakukan perubahan dibelakang panggung (manufacturing quality) dan depan panggung (service quality).
Perubahan mindset dari owning economy menjadi sharing economy terkait dengan konten komunikasi publik dan beragam aktivitas kehumasan perlu terus digelorakan, konsep berbagi konten, kolaborasi kegiatan, kolaborasi SDM untuk mendapatkan narasi tunggal menjadi satu keniscayaan, hilangkan belenggu dengan pola pikir konvensional,dan sektoral gunakan pola-pola baru dengan inovasi dan kreatifitas sehingga efektifitas dan efesiensi komunikasi publik dapat dicapai.
Ibarat sebuah paduan suara dan simfoni orkestra, harmonisasi pengelolaan komunikasi pemerintah sangatlah penting, mengingat banyak topik, agenda dan kegiatan yang memerlukan pengelolaan yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik, kecepatan dan kreatifitas serta konsistensi dan kejelasan dalam agenda setting serta narasi tunggal menjadi isu strategis yang perlu terus ditangani secara profesional, sehingga dapat berkonstribusi dalam membangun image positif tentang kinerja pemerintah .
Kita tentunya berharap dengan paradigma baru Humas Pemerintah 4.0 akan semakin meningkatkan kualitas dan responsif komunikasi pemerintah dalam mendiseminasikan kerja-kerja pemerintah secara efektif, guna menciptakan persepsi positip dalam membangun kepercayaan (trust) dari masyarakat, sehingga efektifitas agenda-agenda pembangunan yang tersebar di berbagai K/L pemerintah dapat terus didesiminasikan secara optimal untuk membangun optimisme bangsa menuju Indonesia Emas 2045. Semoga.