Pertarungan Terbuka Menjadi Yang Terbaik

 
bagikan berita ke :

Senin, 06 Agustus 2018
Di baca 1921 kali

Bagaimanakah tindakan hakim dalam conflict of interest? Pertayaan dari salah satu Panitia Seleksi (Pansel), Sukma Violetta membuat calon hakim konstitusi, Prof. Anna Erliyana bergetar. Tak terkecuali semua calon hakim konstitusi. Bagaimana tidak? Penegakan hukum di Indonesia masih sangat tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Maka dibutuhkan calon hakim konstitusi yang memiliki integritas dan mampu adil serta jujur. Untuk itu, ada sembilan kandidat calon hakim konstitusi yang siap bersaing menjadi yang terbaik dalam Seleksi Calon Hakim Konstitusi Yang Diajukan Oleh Presiden.

Bertempat di Aula Serbaguna Gedung III Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Senin (30/07) dan Selasa (31/07), Pansel Calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan wawancara secara terbuka terhadap sembilan kandidat Calon Hakim Konstitusi Yang Diajukan Oleh Presiden.

Tepat pukul 09.00 WIB, lengkap dihadiri oleh kesembilan Pansel, wawancara untuk menjadi yang terbaik pun dimulai. Dibuka oleh Harjono selaku Ketua Pansel untuk menjelaskan beberapa peraturan kemudian berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan sulit dari semua Pansel secara bertahap. Ketegangan terlihat jelas di wajah para calon hakim konstitusi. Beberapa pertanyaan terkait kasus-kasus terkini seakan menguras pikiran mereka.

Kasus yang menjadi bahan pembahasan penting dalam proses wawancara tersebut ialah kasus penyuapan yang dialami oleh Patrialis Akbar selaku mantan Hakim MK. Melihat kasus itu, Pansel merasa membutuhkan sosok calon hakim konstitusi yang memiliki integritas tinggi.

Diwawancarai oleh Tim Humas Kemensetneg terkait integritas, Prof. Enny Nurbaningsih secara tegas berpendapat bahwa, “Integritas adalah salah satu bagian dari Sapta Karsa Hutama, integritas itu harus tegak lurus menjadi satu antara hati dan pikiran dan diwujudkan dalam berbicara, bersikap, dan bertindak. Akan sangat berbahaya apabila seorang Hakim tidak memiliki integritas, karena seorang Hakim berbicara terkait hukum dan keadilan," tandasnya.

Tidak hanya integritas, kehadiran Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, juga memberikan pertanyaan menarik terkait hukum dan keadilan dalam negeri.

“Tidak dipungkiri bahwa ketidakadilan di negeri ini sangat terasa terutama dalam permasalahan hukum. Apa yang membuat ketidakadilan di negeri ini begitu kuat terasa? Apakah hukum yang salah ataukah ada hal lainnya?” tanya Komaruddin Hidayat seraya menatap tajam kearah salah satu calon  yakni Prof. Ni’matul Huda.

Prof. Ni’matul Huda pun menjawab dengan tenang, “Pada suatu sisi, hukum sangat jelas dan baik. Yang membuat ketidakdilan itu ada, bagi saya adalah karena sosok penyeleksian individu yang tidak terbuka dan membuat masyarakat tidak bisa menilai. Sehingga saat ini kita dihadapkan dengan individu-individu yang mungkin kurang memiliki kapasitas dalam akhlak dan kemampuan dalam bidang yang ia ambil," katanya.

Pembahasan pun menyinggung artian sesungguhnya dari konstitusi, Zainal Arifin Mochtar, salah satu Pansel, terus menekankan pertanyaan mengenai sejauh apa pandangan semua calon hakim konstitusi mengenai konstitusi itu sendiri. Jawaban menarik terlontar dari Susi Dwi Harijanti. Susi dengan tegas dan yakin berpendapat, “Konstitusi adalah dokumen sejarah bangsa, dalam artian yang lebih luas dari artian dokumen hukum, maka hakim seharusnya menjadikan konstitusi sebagai living constitution, sebagai konstitusi yang hidup di tengah masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan rasa keadilan masyarakat. Abraham Lincoln berkata bahwa the constitution is made for men, not men for constitution," pungkasnya(BAY, GIE – Humas Kemensetneg)

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           3           0           0           0