Refleksi Pemilu 2024: Posisi Tawar Penyandang Disabilitas dalam Kontestasi Pemilu

 
bagikan berita ke :

Senin, 27 Mei 2024
Di baca 434 kali

Foto: www.rri.co.id


 

Eksistensi penyandang disabilitas (disabilitas) turut mengisi ruang kontestasi politik dalam bingkai pemilihan umum (pemilu) 2024. Merujuk beberapa fakta kampanye politik dari tiga kandidat pasangan Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud, posisi tawar disabilitas tampak samar-samar mulai diperhitungkan. Berdasarkan visi-misi pasangan calon, program kerja menyasar pemenuhan hak kelompok disabilitas dan melibatkan penyandang disabilitas di barisan tim sukses. Namun, kemunculan isu disabilitas dalam momen pemilu biasanya seperti makanan penutup atau dikenal dessert. Dilirik maupun tidak, rencana menyantap makanan utama tetap jadi. Meskipun isu disabilitas dipandang ada, belum tentu itu menjadi pilihan, sedangkan agenda utama kepentingan elit politik tetap berjalan sesuai ambisi. Lalu, sejauh mana keberadaan isu disabilitas memberikan pengaruh pada pesta demokrasi lima tahunan ini? Pertanyaan reflektif ini menjadi upaya kritis untuk memastikan bahwa keberadaan kelompok disabilitas tidak hanya menjadi atribut pemanis partai politik untuk mendulang suara. Jauh lebih penting lagi, keberadaannya perlu didorong sebagai aktor penggerak dalam menghadirkan inklusivitas dan pemenuhan hak bagi seluruh ragam disabilitas. 

 

Refleksi Isu Disabilitas di Pemilu

 

Dalam dua dekade ini, isu disabilitas tak pernah terlewatkan pada substansi pembahasan pelayanan publik bagi kelompok rentan dalam setiap masa kampanye pemilu. Hal yang melatarbelakangi adalah adanya momentum politik pada 2014 yaitu kesepakatan Piagam Suharso. Para aktor organisasi disabilitas memprakarsai kontrak politik dengan Presiden Jokowi untuk menandatangani piagam yang berisi tiga poin utama sebagai upaya pemenuhan hak disabilitas yaitu memperjuangkan pengakuan, pemenuhan, dan pelindungan hak disabilitas. Komitmen ini kemudian dimanifestasikan melalui terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Meski implementasi kebijakannya perlu dievaluasi, pengaturannya mengakomodasi berbagai hak sipil dan hak politik untuk menjadi agenda prioritas pemerintah Indonesia dalam pemenuhan hak disabilitas. Oleh karena itu, gagasan dan program setiap pemimpin terpilih harus berpihak dalam mewujudkan pelindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak disabilitas secara berkelanjutan. 

 

Menilik dinamika kampanye pemilu 2024, refleksi atas sekuel debat kelima calon presiden (capres) Pemilu 2024 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2 Februari 2024, sesungguhnya membongkar realita yang telah menjadi rahasia umum bahwa isu disabilitas belum seutuhnya dipahami oleh sebagian masyarakat. Hal ini dapat ditelisik melalui pernyataan-pernyataan saat debat yang tidak sesuai dengan perspektif hak asasi manusia dan kesetaraan dalam pemenuhan hak disabilitas. Diksi tersebut tak hanya diskriminatif dan terpinggirkan, akan tetapi juga melanggengkan stigma bahwa kelompok disabilitas adalah warga negara kelas dua. 

 

Peminggiran melalui terminologi ini sudah terjadi sejak pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, untuk melabeli kelompok disabilitas dengan “cacat” dan “tidak normal” di masyarakat yang kini sudah tidak berlaku. Sedangkan, normal sendiri tidak memiliki definisi tunggal dan hanyalah konstruksi sosial yang sangat subjektif akan kebenarannya. Seyogyanya, pemilihan terminologi yang humanis seperti “penyandang disabilitas” dan “difabel” lebih tepat digunakan karena tak hanya menunjukkan keberpihakan, akan tetapi juga mencerminkan adanya rasa adil sejak dalam pikiran untuk merumuskan sebuah kebijakan publik dan memandang disabilitas sebagai sesama manusia.

 

Lebih lanjut mengenai topik kebijakan konsesi, nihilnya pembahasan tentang kebijakan tersebut menunjukkan rendahnya pengetahuan dan keberpihakan pada pemenuhan kebutuhan disabilitas akan kebutuhan keunikannya. Kebijakan konsesi telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang bertujuan mengakomodasi aksesibilitas dengan pemberian insentif untuk mengakses pelayanan publik seperti adanya potongan biaya kesehatan dan transportasi umum. 

 

Kebijakan konsesi diperlukan sebagai “kompensasi” atas belum optimalnya pemerintah dalam menghadirkan inklusivitas pada ruang-ruang publik dan kesempatan kerja yang ramah disabilitas. Pada tataran praktik, kebijakan ini bertujuan meringankan beban yang dihadapi penyandang disabilitas atas konsekuensi dari kondisi tiap ragam disabilitas maupun keluarga yang merawat anak disabilitas. Sebagai ilustrasi, seorang Ibu yang merawat anak cerebral palsy harus menanggung beban biaya lebih untuk fisioterapi dan biaya akomodasi ke rumah sakit. Dalam keadaan terpaksa, ia harus meninggalkan pekerjaan utama demi bisa merawat anaknya setiap hari. Oleh sebab itu, ia mengalami beban ekonomi ganda. Seyogyanya ruang perdebatan lalu menjadi momentum untuk menegaskan bahwa pemberian insentif dilakukan bukan atas dasar karitas (charity) melainkan pemenuhan atas dasar hak asasi manusia.  

 

Tantangan dan Peluang

 

Demi mendukung pengarusutamaan hak disabilitas, kelompok disabilitas perlu turut serta mengawal pemenuhan hak disabilitas melalui partisipasi politik. Pemenuhan hak politik bagi disabilitas yaitu hak dipilih dan hak memilih. Secara konstitusi, hak politik disabilitas dilindungi dan diakui keberadaannya melalui ketentuan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Berikut halnya diperkuat melalui Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pengaturan ini menjadi pintu pembuka dan sekaligus ruang demokratis untuk memperjuangkan hak-hak disabilitas melalui partisipasi aktif sebagai sebagai pemilih dan menjadi representasi di parlemen dalam ajang elektoral.

 

Dalam halnya sebagai pemilih, merujuk data KPU yang tersaji pada tabel menyatakan bahwa jumlah pemilih disabilitas mengalami peningkatan dari Pemilu 2019 dan 2014. 

 

 


 

Meningkatnya jumlah pemilih perlu menjadi perhatian bagi seluruh pihak penyelenggara pemilu untuk memberikan pendidikan politik dan memastikan aksesibilitas bagi pemilih disabilitas. Sebagaimana telah diatur pada ketentuan teknis UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU wajib menyediakan aksesibilitas informasi dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) bagi setiap ragam disabilitas. Aksesibilitas adalah kemudahan yang diberikan kepada disabilitas sesuai kebutuhannya. 

 

Dalam halnya pemilu, kebutuhan aksesibilitas yang diperlukan adalah seluruh instrumen yang digunakan pada proses pemberian suara oleh penyandang disabilitas, misalnya topografi TPS, bentuk bilik suara, dan alat bantu pemberian suara (Pasaribu & Sadikin, 2015:9-10). KPU wajib memberikan informasi tentang pemilu yang mudah diakses oleh seluruh ragam disabilitas. Kedua, petugas KPU perlu memastikan kemudahan mobilitas dan ketinggian TPS dengan keterjangkauan pengguna kursi roda, menyediakan surat suara dengan braille untuk disabilitas netra, dan Juru Bahasa Isyarat atau menugaskan pegawai yang memiliki kemampuan bahasa isyarat untuk pemilih Tuli pada saat kegiatan pencoblosan. Jika tidak, pemilih Tuli akan kesulitan mengakses informasi apabila pemanggilan untuk mencoblos hanya dengan pengeras suara. Hal esensial berikutnya adalah pendidikan politik. Peminggiran yang dialami disabilitas telah menjauhkan mereka dari realitas kehidupan. Akibatnya, seringkali mereka mengalami kesulitan saat mengakses informasi tentang pendidikan politik. Tanpa adanya edukasi, pemilih disabilitas rawan dimobilisasi dan dimanfaatkan suaranya secara ugal-ugalan untuk kepentingan partai tertentu. Pada level ini, seluruh partai politik memiliki kewajiban untuk menyediakan pendidikan politik dengan memerhatikan aksesibilitas seluruh ragam disabilitas yang menjadi konstituen agar haknya tidak terabaikan.  

 

Melihat data di atas, selain menjadi pemilih, disabilitas juga memiliki peluang menjadi wakil rakyat. Pada Pemilu 2019 sebanyak 35 disabilitas menjadi calon legislatif (caleg) di parlemen. Pada tahun ini, terdapat 9 bakal caleg disabilitas yang ikut bertarung memperebutkan kursi parlemen pada Pemilu 2024. Salah satunya adalah Surya Tjandra, seorang politisi disabilitas kaki yang pernah menjabat Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (25 Oktober 2019 – 15 Juni 2022) melalui jalur politik. Keberhasilannya menduduki posisi strategis memberi harapan bagi caleg disabilitas lainnya untuk ambil bagian dalam advokasi hak kelompok disabilitas pada tataran pengambilan keputusan kebijakan publik. 

 

Namun, perlu disadari bahwa keterlibatan disabilitas di dalam politik praktis sangat rentan adanya tokenisme. Menguatnya isu disabilitas dalam isu kebijakan publik dipandang “seksi” bagi partai politik untuk merekrut disabilitas. Alih-alih memberikan kesempatan untuk bersuara, partisipasi yang diberikan hanya menjadi kepentingan untuk mendongkrak citra yang seolah-olah peduli dan berpihak terhadap kelompok disabilitas. Seyogyanya, seluruh partai politik dapat menggunakan perspektif kesetaraan dalam merekrut kader politisi disabilitas sehingga proses perekrutannya berdasarkan merit bukan karena rasa belas kasihan. Selanjutnya, adanya lingkungan inklusif dan aksesibilitas bagi seluruh kader disabilitas menjadi elemen penting dalam proses kaderisasi. Begitu pula dengan politisi Indonesia, agar tidak menjadi komoditas politik semata, para calon legislatif disabilitas perlu memiliki kapasitas mumpuni baik dari segi pendidikan, pengalaman, jejaring politik, dan keberpihakan yang solid terhadap pemenuhan hak disabilitas. 

 

Merefleksikan kiprah Mar Galcerán, seorang politisi dengan down syndrom asal Spanyol, ia berkarir di dunia politik selama 20 tahun dengan mengabdi sebagai pegawai negeri sipil untuk berkontribusi pada pembuatan kebijakan inklusif dan menyuarakan hak disabilitas down syndrom melalui organisasi filantropi. Kerja-kerja intelektualnya tidak hanya mendobrak status quo disabilitas mental yang dipandang rendah dalam memecahkan masalah, akan tetap juga memberikan dampak nyata dalam pemenuhan hak disabilitas di negaranya. 

 

Seiring dengan adanya hambatan struktural dan sosial, isu disabilitas dalam percaturan politik masih digunakan untuk memikat hati konstituen meski ujung-ujungnya terlupakan seiring berjalannya waktu sebagaimana makanan penutup bisa menjadi daya tarik, namun kerap dikesampingkan saat sudah kenyang. Terlepas tantangan yang ada, upaya keterlibatan disabilitas di arena politik berkontribusi untuk mengikis stigma apolitis dan menjadi katalisator untuk menyalurkan aspirasi kepentingan kelompok disabilitas. Di alam demokrasi ini, para pemilih disabilitas dan caleg disabilitas dapat memberikan sumbangsihnya untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadilan.  

 

REFERENSI

 

Jurnal

Rengganis, dkk., 2021, “PROBLEMATIKA PARTISIPASI PEMILIH PENYANDANG DISABILITAS DALAM PEMILIHAN SERENTAK LANJUTAN 2020”, Electoral Governance:Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 3 No. 1, November 2021 diakses melalui https://journal.kpu.go.id/index.php/TKP/article/view/355/125

 

Peraturan 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

 

Media

Data Pemilih Disabilitas, Komisi Pemilihan Umum, diakses melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/04/11-juta-penyandang-disabilitas-sudah-tercatat-di-dpt-pemilu-202

 

Data Pemilih Disabilitas, Kata Data, diakses melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/04/11-juta-penyandang-disabilitas-sudah-tercatat-di-dpt-pemilu-2024

 

Data Caleg Disabilitas Pemilu 2019, Perludem, diakses melalui http://perludem.org/wp-content/uploads/2019/02/20190203-DAFTAR-CALEG-DISABILITAS-PEMILU-2019.pdf


 

Penulis    : Destry Indra Wibawa 

Profesi.   : Analis Kebijakan

Institusi : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
3           1           1           1           0