Foto: BPMI Setpres
Saat ini salah satu proses menangani permasalahan hukum yaitu dengan membentuk peraturan perundang-undangan. Artinya baru bisa dieksekusi ketika diundangkan. Tetapi semuanya menjadi semu ketika kecerdasan buatan muncul. Sejak COVID-19 kecerdasan buatan mulai mendapatkan perhatian karena dapat mengubah paradigma bernegara.
Kecerdasan buatan menjadikan negara harus berpacu bagaimana meresponsnya. Kecerdasan buatan tidak dapat dilarang karena ia merupakan hasil pemikiran seseorang yang dipandu dengan teknologi. Negara hanya dapat melakukan pengawasan terhadap teknologi ini agar ciri khas Indonesia dengan nilai-nilai Pancasila tetap ada selamanya. Misalnya, seseorang mengerjakan tugas menggunakan kecerdasan buatan tanpa melakukan pengecekan ulang sehingga esensi manusia yang berpikir pun menjadi hilang.
Legalisasi rancangan undang-undang kecerdasan buatan yang paling utama adalah pemberian definisinya agar muncul kepastian hukum. Mengapa bukan keadilan hukum yang utama seperti tujuan hukum ortodoks? Karena kepastian hukum akan memberikan rasa aman dahulu dan itu menjadikan kehidupan bermasyarakat baik. Hal lain yang harus diatur mengenai batasan penggunaan kecerdasan buatan dalam memutus kebijakan atau sanksi terkait. Artinya kebijakan bisa menggunakan kecerdasan buatan sebagai gambaran atau data yang ada namun harus ada validasi. Kecerdasan buatan dapat menjadi ideologi baru dalam bernegara yang berpusat pada pemikiran seseorang.
Foto: Ditjen Aptika Kominfo
Dalam ilmu negara yang diajarkan di fakultas hukum, ideologi mengandung ajaran-ajaran yang baik secara tertulis namun menjalankannya tergantung pikiran pencetusnya. Ideologi dalam praktik menjadi bebas seperti Kitab Merah Mao Tse Tung. Seperti di awal, Pancasila harus tetap ada dalam keadaan apapun sehingga batasan akan kecerdasan buatan merupakan cara paling sederhana dilakukan. Tetapi harus juga dipikirkan bagaimana kecerdasan buatan bisa menyempurnakan pelaksanaan ideologi Pancasila untuk mendunia.
Walaupun nanti ada undang-undang yang mengatur namun keberadaannya tidak bisa menebak pasti das sollen. Dukungan lainnya yaitu kembali ada penguatan moral dalam kehidupan masyarakat. Misalnya membuat tema penelitian atau pengabdian kepada masyarakat oleh negara melalui dana hibahnya kepada perguruan tinggi. Tema kecerdasan buatan yang bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat. Contoh lainnya, bagaimana kecerdasan buatan bisa meningkatkan literasi akan pencegahan kekerasan seksual.
Jalan akhir yaitu menjadikan kecerdasan buatan sebagai subjek hukum nasional. Seperti halnya dalam hukum internasional yang memperbolehkan sungai sebagai subjek hukum. Hal ini penting karena ketidaktahuan dan ketahuan akan hukum menjadi lebih baik lagi. Kecerdasan selangkah lebih maju namun untuk saat dalam hal moral belum menyamai pemikiran manusia. Ketika menjadi subjek hukum akan mengikat siapapun untuk bertanggung jawab.
Stanley Greenstein mengatakan bahwa “the rule of law is dependent on natural language in order to be comprehended. This is not necessarily the case for all areas of law, where some legal processes are easier to automate”. Daripada itu kecerdasan buatan adalah pemikiran manusia yang merupakan kehendak alami dari dirinya sendiri dan dapat melepaskan atau menggabungkan Tuhan di dalamnya. Jika sudah demikian maka akan ada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yang bersumber pada kecerdasan buatan.
Penulis : Tomy Michael
Profesi : Dosen Fakultas Hukum
Instansi : Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya