Bila dibandingkan dengan istana - istana kepresidenan yang berada di tengah kota besar yang sibuk atau di pinggir jalan raya yang ramai di Pulau Jawa, Istana Tampaksiring tampak istimewa. Ia bukan hanya terpencil sendiri di Pulau Bali, tapi juga seakan-akan mengawasi seluruh kedamaian lanskap pulau itu. Memandang ke arah selatan dari salah satu sudut Istana, akan tampaklah jalan yang raya yang menghubungkan pantai barat dengan Singaraja di pantai timur. Ke arah utara pada pagi hari cerah, terlihat Gunung Batur, dan sedikit ke arah timur, Gunung Agung menjulang.
Istana Tampaksiring istimewa karena ia adalah satu-satunya Istana yang dibangun pada masa kemerdekaan. Agaknya, Presiden Soekarno telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan bentangan tanah di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar itu. Matahari yang terbit dari belakang Gunung Agung, Pura Tirta Empul dengan kolam pemandiannya, hamparan teras sawah nun di bawah sana, juga suara sayup-sayup tetabuhan gamelan yang dibawa desir angina - semua itu telah menarik hati Bung Karno sejak menjejakkan kaki di sana.
Bung Karno menggagas pendirian sebuah kediaman presiden di Tampaksiring karena dengan semakin eratnya perhubungan dengan dunia - Indonesia mulai menerima banyak tamu negara yang banyak pula di antaranya yang menyatakan minat untuk mengunjungi Bali.
Sang presiden memang piawai memilih tempat-tempat yang akan dipakainya sebagai rumah hunian atau rumah tetirah. Untuk menentukan lokasi tanah bagi rumah kediaman pribadinya di kawasan Batutulis, Bogor, misalnya, ia menggunakan helikopter untuk memilih hamparan tanah yang mempunyai hadapan terbaik ke arah Gunung Salak. Namun Bung Karno tidak lagi memerlukan helikopter pada saat memilih lokasi tapak di Tampaksiring itu sebagai tempat untuk membangun Istana Kepresidenan. Dalam beberapa kali kunjungannya ke Bali sebelum 1955, ia sudah sering bermalam di rumah tetirah milik Raja Gianyar di Tampaksiring. Pada masa Raja Gianyar V dan VI, pesanggrahan itu banyak dimanfaatkan oleh para tamu asing, khususnya pejabat pemerintah Hindia - Belanda. Para orang tua di desa itu masih ingat bagaimana pesanggrahan itu tiba-tiba bersinar terang dengan cahaya lampu petromaks bila Bung Karno datang ke sana. Pada masa-masa awal kunjungannya ke Tampaksiring, selain ketiadaan listrik, Bung Karno juga masih menyaksikan betapa sulitnya orang memikul air mendaki lereng terjal untuk mencukupi kebutuhan di pesanggrahan.
Dari depan pesanggrahan itu, kolam pemandian Pura Tirta Empul hanya terpisahkan oleh tebing curam setinggi 50 meter. Dinding-dinding bukit seperti itulah yang barangkali merupakan asal nama Tampaksiring - dalam bahasa Bali berarti "telapak yang miring:' Menurut hikayat yang tercatat pada lontar Usana, Tampaksiring bermula dengan kisah Raja Mayadenawa yang sakti. Sifatnya yang angkara murka membuat Batara Indra mengirim balatentara untuk menangkapnya. Mayadenawa pun lari ke hutan dengan memiringkan telapak kakinya agar tidak dikenali jejaknya. la juga menciptakan sumber air beracun yang menyebabkan kematian balatentara pengejamya. Batara Indra kemudian menciptakan mata air lain sebagai penawar racun, yang kemudian dikenal sebagai Tirta Empul - berarti air umbul-umbul - yang hingga kini dianggap sebagai tempat suci bagi umat Hindu Bali. Hikayat itu dilukiskan dalam relief batu paras yang menghiasi salah satu dinding Istana Tampaksiring.
Bung Karno juga menyukai beberapa pura yang terlihat magis di sekitar pesanggrahan Tampaksiring. Selain Pura Tirta yang berada di Tirta Empul, persis di bawah pesanggrahan terdapat Pura Tegeh dan Pura Puca di tengah hutan di belakang Tirta Empul, serta Pura Gunung Kawi yang tidak seberapa jauh dari pesanggrahan.
Kecintaan Bung Karno kepada pesanggrahan Tampaksiring membuat Raja Gianyar kemudian menyerahkan lahan pesanggrahan itu kepada negara. Pada 1955, Presiden Soekarno memerintahkan arsitek R.M. Soedarsono membuat rancang-bangun untuk Istana Kepresidenan di sana.
Pembangunan Istana Tampaksiring dipersiapkan pada 1956 oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Soedarsono sendiri adalah seorang arsitek di jawatan itu. Bangunan Wisma Merdeka mulai didirikan pada 1957 - di atas lahan pesanggrahan Raja Gianyar yang dirobohkan - di bawah pengawasan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Seksi Gianyar, Tjokorda Gde Raka.
Berbeda dengan bangunan-bangunan Istana Kepresidenan yang dibangun pada masa penjajahan Belanda, Istana Tampaksiring menonjolkan ciri keindonesiaan yang hangat. Tidak ada pilar-pilar besar yang menampilkan kesan keagungan dan kekuasaan duniawi. Rancang-bangunnya sangat fungsional, menonjolkan kesederhanaan dan fungsinya sebagai wisma peristirahatan. Batu-batu alam dan batubata halus khas Bali sengaja ditonjolkan untuk menciptakan corak kedaerahan. Ukiran batu paras dan tiang-tiang kayu gaya Bali teras a padu dalam konsep arsitektumya, bukan sebagai elemen tambahan yang ditempelkan.
Konstruksi beton digunakan untuk menerjemahkan rancang-bangun yang menuntut bentangan-bentangan lebar. Semua bahan kayu jati serta bahan-bahan bangunan lainnya - kecuali pasir dan batubata - didatangkan dari Jawa. Adapun elemen artistiknya - ukiran kayu dan batu-dikerjakan oleh para seniman Bali.
Bung Karno sendiri memberi banyak masukan pada rancang-bangun Istana Tampaksiring yang cirinya kemudian menjadi unsur pengikat bagi bangunan-bangunan kepresidenan yang dibangun pada masanya. Paduan wama oranye muda - versi lembut dari wama natural batubata - dan abu-abu yang dipilih Bung Karno juga merupakan elemen kesamaan yang seakan tidak lekang oleh zaman. Beberapa bangunan yang mempunyai ciri arsitektur serupa adalah rumah pribadi Bung Karno di Batutulis, Bogor; Pesanggrahan Pelabuhan Ratu; dan Wisma Dyah Bayurini di kompleks Istana Bogor.
Salah satu dari arsitektur dari bangunan-bangunan Istana karya Soedarsono adalah penggunaan pipa-pipa sebagai susuran (railing) di beberapa teras. Sekilas tampak seperti susuran kapal, sebetulnya pipa-pipa itu juga berfungsi sebagai saluran air.
Pembangunan Istana Tampaksiring juga mempertimbangkan kondisi sosial lingkungan sekitar. Sebelum bangunan Istana didirikan, dibuatlah sebuah pusat kesehatan masyarakat dan pos polisi di Desa Manukaya. Unit pembangkit listrik yang dibangun khusus untuk Istana pun ikut dinikmati oleh masyarakat sekitar.
Tidak hanya terlibat dalam rancang-bangun, Bung Karno yang insinyur sipil itu juga banyak ikut serta dalam pelaksanaan konstruksi. Ia beberapa kali berkunjung ke Bali untuk melihat kemajuan pembangunan Istana Tampaksiring. Misalnya, ia cepat melihat ketika sebuah papan lis sepanjang 25 meter temyata tidak lurus terpasang. Kadang-kadang ia juga melakukan sejumlah perubahan kecil terhadap rancang-bangun secara langsung di lokasi.
Wisma Merdeka adalah bagian Istana yang merupakan hunian bagi Presiden dan keluarganya. Bangunan yang sangat luas ini mempunyai sebuah ruang tidur utama yang tidak seberapa luas, serta beberapa ruang tidur bagi anggota keluarga dan dokter pribadi Presiden. Ruang makan dan ruang tamu adalah bagian - bagian yang terluas di Wisma Merdeka ini.
Di belakang Wisma Merdeka berdiri bangunan yang lebih besar, yaitu Wisma Negara. Kedua Wisma ini terpisah oleh lembah yang dihubungkan dengan sebuah jembatan yang membentang sekitar 20 meter di atas lembah. Jembatan berarsitektur khas ini merupakan salah satu sisi fotogenik di lingkungan Istana Tampaksiring. Jembatan dengan konstruksi beton lengkung yang cantik ini diberi nama Jembatan Persahabatan karena menghubungkan Wisma Merdeka yang dihuni oleh Presiden Republik Indonesia dan Wisma Negara yang diperuntukkan para kepala negara sahabat.
Wisma Merdeka dan Wisma Negara merupakan dua bangunan di kompleks Istana Tampaksiring yang paling banyak menampilkan ciri arsitektur Bali. Beberapa bagian kedua wisma itu memakai dinding teterawangan, yaitu tembok dengan ukiran timbul dan berlubang khas Bali. Juga banyak dijumpai elemen arsitektur dari ukiran kayu yang dicat dengan nuansa wama biru dan emas. Sedangkan atapnya terbuat dari sirap dengan pasangan biasa seperti pada perumahan kota - tanpa anjungan yang megah tetapi bukan pula seperti bubungan atap rumah Bali.
Suasana khas Bali meliputi setiap tamu negara yang memasuki halaman. Berbeda dari penyambutan tamu agung di Istana Merdeka yang biasanya disertai dengan kemegahan upacara militer di dekat tangga istana, tamu negara di Istana Tampaksiring disambut dengan upacara kebesaran tradisional setelah mobilnya memasuki Candi Bentar. Sang tamu biasanya disambut dengan tari pendet - ucapan selamat datang dengan gerak-gerak lincah enam gadis penari - yang kemudian diikuti dengan taburan bunga ke arah sang tamu dan jalan yang hendak dilaluinya.
Salah seorang tamu negara pada 1957, Raja Thailand Bhumibol Adulyadey dan permaisurinya, Ratu Sirikit, yang berkunjung ke Bali terpaksa menginap di Wisma Merdeka yang belum sepenuhnya rampung ketika itu. Wisma Negara, bagian untuk tamu negara, baru dibangun pada tahap kedua dan selesai pada 1963. Sejak itu, berbagai kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara sahabat tercatat pemah bertetirah di Istana Tampaksiring. Mereka antara lain adalah Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Presiden Ho Chi Minh (Vietnam), Perdana Menteri Jawaharlal Nehru (India), Perdana Menteri Nikita Kruschev (Uni Soviet), Ratu Juliana dan Pangeran Bemhard (Belanda), Putra Mahkota Akihito dan Putri Michiko (Jepang), Presiden Ne Win (Birma), Pangeran Norodom Sihanouk (Kamboja), clan Sekretaris Jenderal PBB Javier Perez de Cuellar.
Untuk melayani Presiden dan tamu-tamu negara secara memuaskan, pada awalnya penyelenggaraan layanan untuk Istana Tampaksiring dilaksanakan melalui kerja sama dengan Bali Beach Hotel, hotel bertaraf internasional pertama di Bali. Di kemudian hari, pelayanan di semua Istana Kepresidenan dilaksanakan sendiri oleh pegawai Rumah Tangga Kepresidenan yang kemudian berubah nama menjadi Sekretariat Presiden. Dari semua Istana Presiden, Istana Tampaksiring kini mempunyai fasilitas dapur dan laundry yang setara dengan hotel berbintang lima.
Agak jauh terpisah dari kedua Wisma ini adalah Wisma Yudhistira untuk para menteri dan pejabat tinggi negara, serta Wisma Bima untuk para pengawal dan petugas keamanan.
Salah satu bangunan yang tidak sempat diselesaikan pada masa Presiden Sukarno adalah Balai Wantilan atau pendapa yang sepenuhnya dibangun mengikuti arsitektur tradisional Bali. Bangunan ini beratap ilalang, dan tiang-tiangnya dari batang kelapa. Sesuai dengan perkembangan zaman dan pertimbangan keamanan, tiang-tiang dari batang kelapa ini kemudian diganti dengan tiang beton yang mirip dengan bentuk batang kelapa. Dinding bagian belakangnya dihiasi dengan relief batu paras, yang menggambarkan kisah Ramayana. Balai Wantilan ini difungsikan sebagai tempat untuk pergelaran kesenian. Panggungnya dihiasi dengan latar belakang Candi Bentar dan dua patung kayu Garuda Wisnu.
Sebuah lapangan pendaratan helikopter juga dibangun di seberang Wisma Merdeka, sesuai dengan kegemaran Bung Karno menggunakan helikopter setiap kali berkunjung ke Tampaksiring. Sebagai penyayang tanaman, Bung Karno dulu selalu meminta agar beberapa staf Istana memegangi pohon-pohon bougainville yang ditanam di dekat tempat pendaratan agar tidak rusak didera angin pusaran dari baling-baling helikopter.
Sentuhan pribadi Bung Karno juga sangat kental terasa pada berbagai elemen keindahan Istana Tampaksiring. Beberapa petugas Istana masih ingat betul betapa Bung Karno sangat terlibat dalam memilih jenis pohon yang akan ditanam serta di mana tepatnya pohon itu ditempatkan. Petugas-petugas taman diminta untuk memancangkan tiang bambu di tempat sebuah pohon akan ditanam. Bung Karno mengamati letak tiang bambu itu dari berbagai penjuru. Kadang-kadang, ia memerlukan waktu beberapa hari sebelum menyetujui letak pohon baru yang akan ditanam. Sebagai seorang insinyur, ia juga selalu memperhitungkan letakan pohon berdasar proyeksi ketika nantinya tumbuh menjadi besar.
Demikian pula ketika jika akan membuat kolam, Bung Karno biasanya meminta seutas tali panjang yang dipakainya untuk membentuk garis tepi kolam yang akan dibangun. Dengan tali itu ia membentuk kolam-kolam yang hingga kini menghiasi Istana Tampaksiring. Penempatan lukisan dan patung pun tidak lepas dari campur tangan Bung Karno.
Di hamparan pekarangan Istana Tampaksiring terdapat banyak pohon-pohon rindang, terutama beringin dan leci. Tiap bulan Desember, pohon-pohon leci di Istana Tampaksiring seperti juga pohon-pohon leci lainnya di Pulau Bali-menyuguhkan buahnya yang lebat dan lezat.
Bung Karno pun sering membawa bibit pohon bila pulang dari perjalanan muhibahnya ke luar negeri atau daerah-daerah Indonesia lainnya. Bibit pohon kembang saputangan yang ditanam di depan Wisma Merdeka dibawa oleh Bung Karno ketika berkunjung ke Istana Malacanang di Filipina. Begitu cintanya Bung Karno pada tumbuh-tumbuhan sehingga pada masa itu ada ketentuan untuk membuat berita acara bila ada pohon yang tumbang atau rusak di lingkungan Istana Kepresidenan.
Beberapa pohon lain di Istana Tampaksiring juga merupakan oleh-oleh dari para pejabat negara. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Ahmad Yani, misalnya, membawa bibit tiga pohon cemara dari Irian Barat yang ditanam di dekat jembatan lengkung. Pohon itu untuk mengenang Operasi Trikora membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda.
Sejak pertengahan 1990-an, di hamparan hijau yang luas itu juga tampak beberapa ekor rusa merumput. Rusa-rusa ini didatangkan khusus dari Istana Bogor untuk menambah semarak Istana Tampaksiring.
Bung Karno jugalah yang secara pribadi mengisi Istana Tampaksiring dengan koleksi lukisan dan benda seni yang sangat kaya. Koleksi benda-benda seni itu antara lain diwakili oleh karya-karya pematung Bali yang terkenal, Cokot, serta pelukis-pelukis kenamaan seperti Le Mayeur, Rudolf Bonnet, Dullah, Sudarso, dan Agus Djaja. Di Istana Tampaksiring juga ditemui sebuah karya langka Rudolf Bonnet berupa lukisan pemandangan. Bonnet biasanya melukis sosok manusia.
Kecintaan Bung Karno kepada Bali, khususnya Istana Tampaksiring yang merupakan buah gagasannya, barangkali tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa ia sendiri. mempunyai garis darah Bali. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang didatangkan dari Jawa oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk mengajar di Bali. Pada saat berdinas di Banjar Bale Agung, Buleleng, itulah Soekemi jatuh hati pada Nyoman Rai Sarimben. Dari pasangan ini, lahirlah Sukarno pada 6 Juni 1901.
Bung Karno sendiri memang selalu dikenal mudah akrab dengan siapa saja khususnya dengan orang-orang di sekitarnya. Di Istana Bogor atau di Istana Cipanas misalnya, ia sengaja berbahasa Sunda dengan para staf Istana untuk menciptakan suasana keakraban. Bung Kamo yang lama tinggal di Bandung semasa mahasiswa, dan pernah menikah dengan putri Parahiangan Ibu Inggit Garnasih, tentu saja cukup fasih berbahasa Sunda. Dengan masyarakat di sekitar Istana TampaKsiring pun Bung Karno terkenal sangat akrab. Pernah pada suatu hari ia turun ke Tirta Empul dan membagi-bagi sabun mandi kepada semua orang yang sedang mandi di sana. Bung Karno juga sering duduk minum kopi sambil menikmati jajanan yang disuguhkan masyarakat
Desa Manukaya setiap kali ia berkunjung ke rumah-rumah penduduk. Dalam kunjungan
informal seperti itu ia selalu membawa sesedikit mungkin pengawal.
Istana Tampaksiring pada masa Bung Karno merupakan tempat yang terbuka bagi masyarakat. Di dekat pintu masuk, misalnya, Bung Karno mengizinkan lapangannya dipakai oleh masyarakat desa untuk bermain sepak bola. Masyarakat pun bebas melintasi kompleks Istana menuju ke Tirta Empul untuk melakukan ibadah dan upacara-upacara keagamaan. Sekarang bahkan dibuatkan koridor yang merupakan jalan pintas khusus menyusuri lembah bagi masyarakat Desa Manukaya untuk meneapai Tirta Empul.
Tak urung Bung Karno selalu merasa berada di rumah sendiri setiap kali ia bertetirah di Tampaksiring. Suasana itu pula yang agaknya membuat Bung karno kemudian melakukan tradisi menulis naskah-naskah pidato kenegaraan di Istana Tampaksiring. Pada tahun-tahun terakhir kedudukannya sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno selalu membawa "pekerjaan rumah" menulis pidato kenegaraan ke Tampaksiring. Kadang-kadang ia mengucilkan dirinya dan menyendiri selama berhari-hari di ruang kerjanya yang keeil untuk mencari ilham dan merumuskan pikirannya.
Beberapa staf Istana Tampaksiring masih ingat betapa mudahnya melayani Bung Karno dalam proses kreatif semaeam itu. Mereka cukup menyediakan minuman dan jajanan di meja.
Untuk makan siang dan malam, Bung Karno sudah puas dengan hidangan sederhana sayur lodeh singkong dan belut goreng. Beberapa dari mereka juga ingat Bung Karno mengatakan bahwa kamar kerjanya yang sempit di Istana Tampaksiring mengingatkannya pada sel di penjara Sukamiskin dulu, tempat ia juga produktif menulis dokumen-dokumen politik.
Renovasi interior yang dilakukan pada tahun 2003 telah meningkatkan kenyamanan Istana Tampaksiring sesuai dengan gaya hidup modern tanpa meninggalkan konsep desain aslinya. Semua kamar mandi di Wisma Merdeka dan Wisma Negara, misalnya, diubah agar sesuai dengan standar kamar mandi hotel berbintang lima. Tetapi, mebel bergaya art deco yang dihadirkan Bung Kamo di Istana Tampaksiring - dan sempat digudangkan pada masa Presiden Soeharto - sekarang kembali menghiasi Istana Tampaksiring.
Tatanan di ruang tidur utama di Wisma Merdeka, hingga kini masih belum berubah. Di kepala tempat tidur masih tergantung lukisan Dullah - yang menggambarkan pemandangan Gunung Batur - yang dulu ditempatkan sendiri oleh Bung Karno. Mebel-mebel di kamar itu pun masih sesuai dengan aslinya, kecuali dipan pijat di kamar mandi yang dulu dipakai Bung Karno - sekarang telah dikeluarkan.
Ruang kerja kecil di sebelah ruang tidur Presiden pun dikembalikan pada bentuk aslinya ketika digunakan Bung Karno untuk menulis pidato-pidato kenegaraan. Di situ tergantung lukisan Agus Djaja yang menggambarkan seorang putri sedang dilayani dayang-dayangnya.
Istana Tampaksiring adalah rumah tetirah kepresidenan yang juga dipakai untuk pertemuan-pertemuan informal bernuansa politik, ataupun yang kemudian menghasilkan keputusan-keputusan politik. Di Istana ini, Presiden Ne Win dari Burma melakukan perundingan dengan Presiden Soeharto pada 1982. Pertemuan informal antara Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Presiden Taiwan Lee Teng-hui pernah pula terjadi di sini untuk membicarakan berbagai isu strategis hubungan Indonesia-Taiwan.
Pada masa Presiden Megawati didirikan gedung konferensi yang diberi nama Graha Bung Karno. Mengejar penyelenggaraan KTT ASEAN pada tahun 2003, pembangunannya dikerjakan siang-malam oleh 500 tenaga kerja selama kurang lebih enam bulan. Desainnya dibuat oleh Kris Danubrata, dengan relief wajah Bung Karno dari samping pada dinding utama. Di gedung yang dapat menampung 300 undangan jamuan santap inilah para pemimpin ASEAN itu menghasilkan Bali Accord.
Bila Balai Wantilan yang baru selesai dibangun di sisi Gedung Konferensi, Gedung Wantilan lama akan dibongkar, sehingga tidak lagi menghalangi tampak depan Gedung Konferensi. Di bekas lahan itu akan didirikan patung Bung Karno, sesuai dengan penamaan gedung itu sebagai Graha Bung Karno.
Penyelenggaraan KTT ASEAN pada 2003 itu pula yang mendorong percepatan renovasi interior di hampir seluruh bagian Istana Tampaksiring. Selain itu juga dilakukan penataan ulang lukisan -lukisan dan benda-benda seni di kompleks Istana.
Lukisan-Iukisan terbaik Ida Bagus Made Poleng yang sempat dibawa keluar Istana Tampaksiring, misalnya, sekarang telah kembali ke tempat asalnya.
Seluruh pekerjaan renovasi Istana semasa Presiden Megawati ini dilaksanakan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah dan dipimpin langsung oleh Menteri Ir. Sunarno. Hal ini bagaikan mengulangi sejarah-hampir setengah abad sebelumnya, pembangunan Istana Tampaksiring dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
Istana Tampaksiring juga merupakan Istana yang paling dicintai Presiden Megawati. Ia bisa menghabiskan waktu seharian penuh melampiaskan kesukaannya berkebun di halaman Istana yang luas. Ketika mengetahui bahwa beberapa pohon kamboja tua di Bali yang sudah berusia seratus tahun lebih mulai diincar oleh pembeli dari mancanegara, ia segera berusaha mencegahnya dengan cara membelinya. Pohon-pohon kamboja yang batangnya sebesar pelukan orang dewasa sekarang sudah menghiasi halaman belakang Istana Tampaksiring.
Hampir dalam setiap kunjungannya, Presiden Megawati membawa berbagai pohon buah-buahan dari Jakarta untuk ditanam di Tampaksiring. Untuk membantunya merancang lanskap Istana Tampaksiring, Ibu Mega juga mempekerjakan seorang ahli lanskap dari Jerman. Ini mengulangi pengalaman masa lalu akan kehadiran non-birokrat untuk melaksanakan penataan Istana Presiden Republik Indonesia yang dulu pernah dilakukan Bung Karno ketika mempekerjakan tiga orang pelukis Istana - Dullah, Lee Man Pong, dan Lim Wa Sim. Demikian pula, Presiden Megawati menunjuk seorang non-birokrat, Kris Danubrata ke dalam lingkungan Istana Presiden untuk menata ulang seluruh interior istana dan melakukan pembenahan aset -aset seni yang sangat berharga.
Ciri yang menonjol di kompleks Istana Tampaksiring ini adalah ruang-ruang antara sangat Iuas yang memisahkan bangunan satu dengan lainnya. Bentangan luas lahan yang berbukit itu benar-benar dimanfaatkan secara penuh untuk menampilkan keasrian Tampaksiring dan keanggunan Istana Kepresidenan.
Adapun jalan aspal di bawah Jembatan Persahabatan dipergunakan oleh masyarakat untuk mencapai kolam Tirta Empul Setiap tahun ribuan penduduk datang untuk menyucikan diri di sana. Kolam utama Tirta Empul sendiri tidak boleh dipakai untuk mandi dan hanya bisa diziarahi oleh orang yang berpakaian adat Bali. Di tengah air kolam yang jernih itu terlihat pasir mengepul, yang terdorong oleh pancaran dari sumber air. Sedangkan sebuah pemandian yang terletak beberapa meter dari kolam utama selalu dipergunakan masyarakat setiap hari, tetapi puncaknya adalah hari raya Galungan (Hari Kemenangan Kebenaran) dan Saraswati (Hari Pendidikan). Dengan menuruni lebih dari seratus anak tangga, kompleks Tirta Empul dapat dicapai langsung dari Wisma Merdeka.
Masyarakat boleh juga melewati jalan di pekarangan utara Istana ketika ada upacara adat
di Tirta Empul, yaitu ketika iring-iringan yang menjunjung persembahan itu tidak boleh lewat di bawah Jembatan agar tak dilangkahi orang yang lewat di situ. Ini adalah juga ciri khas Istana Tampaksiring yang berbeda dari kelima istana yang lain: yaitu bahwa Istana ini bukanlah lambang kekuasaan melainkan eratnya hubungan antara rakyat dengan sang Presiden.
Pada malam bulan purnama kedamaian terasa mencapai puncaknya di lingkungan Istana Tampaksiring. Bulan bundar di langit bersih dan angin sepoi membawa alunan seruling dan gamelan dari upacara keagamaan di Pura Tirta Empul.